Dua hari berada di rumah sakit, membuat Gibran merasa bosan, pria yang belum benar-benar sembuh sepenuhnya memaksa perawat untuk membolehkannya pulang. Perawat meminta pendapat dokter lalu atas kesepakatan bersama akhirnya pemuda angkuh itu diperbolehkan pulang.
Tak ada yang berbeda, bukan dijemput oleh sang ayah atau sanak saudara, pria itu mengurus semuanya sendiri. Ia memesan taksi online untuk mengantarkannya pulang. Namun, saat perjalanan pulang ia teringat sesuatu lalu menyuruh supir taksi untuk mengantarkannya ke suatu tempat.
Di sinilah Gibran berada, diatas batu nisan almarhum ibu yang telah melahirkannya. Pria berwajah pucat itu bersimpuh di depan makam. Belum ada suara yang keluar dari mulutnya. Namun, sudut mata yang berhasil menyiratkan perasaan dukanya.
"Ma, Iban datang," ucapnya lirih. Iban panggilan kesayangan mamanya untuk Gibran sewaktu kecil.
"Maafin Iban gak pernah jenguk mama. Iban merindukan mama. Kenapa Mama hanya sebentar nemenin Iban? Aku iri dengan anak-anak yang bisa dipeluk orang tuanya."
Awan mendung di angkasa seperti gambaran hati Gibran yang diselimuti gundah. Hingga rintik air turun dari langit tak membuat pria itu beranjak.
"Tuan Muda, hujan segera turun. Ayo kita segera pulang." Suara seseorang mengejutkan Gibran yang sedang menyelami kesedihannya. Tetapi, tanpa menolehpun ia tahu siapa yang berbicara barusan.
"Kepara*t! Ngapain lu ngikutin gue kesini, bo*doh!" sentaknya dengan kemarahan.
"Kita bahas itu nanti. Sekarang ayo kita pulang, kondisi anda belum stabil," ucap Affan. Pria yang barusan datang adalah Affan--tangan kanan Haidar--sewaktu di kantor, Haidar mendapat telpon dari pihak rumah sakit jika Gibran marah dan memaksa untuk pulang. Setelah itu Haidar menyuruh Affan untuk mengawasi Gibran, karena ia sendiri sedang menggelar rapat dengan para pemegang saham.
"Pergi!"
"Tuan Muda, saya diberi amanah oleh Tuan Besar untuk menjaga Anda. Jadi, jangan sampai saya memaksa Anda untuk pergi dari dari sini." Affan tidak gentar dengan pengusiran Gibran. Pria berumur 34 tahun itu sudah terbiasa menghadapi sikap Gibran yang menganggapnya seperti musuh.
Gibran yang tadinya bersimpuh kini bangkit dan menatap nyalang pada pria berpakaian rapi di sampingnya. "Siapa lu berani sama gue, hah? Karna bokap gue sayang sama lu, anggep lu anaknya, lu jadi ngelunjak gini!"
Affan bersikap tenang, semarah apapun Gibran padanya, ia bersabar dan tidak mau terpancing emosi.
"Pergi! Gak usah ngikutin gue!" pekik Gibran dengan napas tersengal menahan diri agar tidak melayangkan kepalan tangannya pada wajah Affan.
Affan bergeming, menatap Gibran dengan santai. Yang membuat Gibran semakin emosi, tak tahan lagi untuk memukul wajah Affan yang menyebalkan. Tetapi tangan Affan mampu menangkis dan mengunci tangan Gibran.
"Aakhh ...!" Gibran berteriak kesakitan. Tenaganya memang belum pulih, untuk itu tak membutuhkan kekuatan penuh untuk melumpuhkan Gibran.
Affan memaksa Gibran untuk pergi bersamanya, meskipun Gibran meronta tapi tak mampu melepaskan diri dari kuncian pria berperawakan atletis itu.
"Lepasin gue, breng*sek!"
"Tuan Muda, simpan tenaga Anda! Dan, maafkan saya, saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Besar."
"Ah ... persetan dengan tua bangka itu! Kalian memperlakukan gue seperti tahanan!"
"Tuan Muda, semua ini demi kebaikan Anda."
"Kebaikan macam apa yang lu maksut?!"
"Mengertilah, Tuan Besar sangat menyayangi Anda. Beliau mempertaruhkan kebahagiaannya demi Anda."
"Bulshit!"
Affan membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Gibran untuk dibawa masuk. Sebelumnya Affan telah menduga jika Gibran tidak akan pulang ke rumah, maka dari itu pria berpakaian formal itu membawa 2 orang lain untuk membantunya.
"Jalan, Pak."
"Baik."
Gibran membuang pandangan keluar jendela, ia tak bisa memberontak, seluruh badan masih terasa sakit.
Setelah diam cukup lama, Gibran bersuara. "Antar gue ke rumah Arta!"
"Tuan Besar tidak mengijinkan Anda pergi kemanapun. Anda harus di rumah sampai kondisi Anda sehat kembali."
"Anji**!!"
Kini berganti Affan menghembuskan napas kasar. Begitulah jika Gibran marah, semua kata tak pantas bisa di absen satu persatu.
•
Tubuh Gibran terduduk di ranjang king size miliknya. Gemuruh kemarahan tak berkurang, semakin membesar dan membenci apapun di sekelilingnya.
Tumbuh tanpa kasih sayang utuh membuat Gibran keras kepala dan pemarah. Tak ada tujuan hidup masa depan, yang ada hanya kesenangan sesaat. Setelah itu ia akan merasa sendiri lagi. Seperti itu yang dirasakan pemuda bernama Gibran. Terkekang akan masa lalu yang membuatnya tak menghargai orang-orang di sekitar, begitupun kasih sayang yang diberikan Haidar tak bisa dirasakannya. Semua tertutup kebencian dan kemarahan.
Satu jam berdiam dalam kamar, pemuda itu mencoba untuk pergi. Tetapi saat membuka pintu kamar, ternyata masih ada Affan dan dua orang lainnya yang sigap menjaga di depan pintu.
"Bener-bener kek tahanan!" desisnya penuh kekesalan. Namun Affan dan dua orang lainnya tak merespon.
"Gue mau ke rumah Arta!"
"Maaf, Tuan Besar tidak mengijinkan."
Gibran memutar bola mata ke atas, jengah mendengar jawaban Affan. Ia mencari jalan alternatif lain. 'Berpikir, Gibran!' Pria yang masih memiliki titik luka dibagian wajahnya itu mencoba memutar otak untuk mengelabui anak buah Haidar.
"Gue mau ke rumah Pak Kiai," pintanya. Ide kali ini pasti akan disetujui.
"Jika Anda ingin kesana, mari kita antar."
"Astaga ...," ucap Gibran yang tak habis pikir. Rupanya pengalihan itu tak bisa menyelamatkannya.
•
Gibran telah berada di dalam mobil, tentu saja bersama Affan dan 2 orang lainnya. Pemuda itu telah berucap, maka Affan telah menyetujui dan sekarang mereka akan mengantarkan Gibran ke rumah Aisyah, seperti permintaan Gibran sendiri.
Setelah sampai di halaman rumah Aisyah, tak lantas Affan pergi, pria itu tetap mendampingi Gibran sampai di depan pintu rumah Aisyah.
"Lu tau gak! Gue bukan tahanan, Affan bego'. Mending lu pulang, ntar gue pulang sendiri."
"Apa saya bisa mempercayai ucapan Anda?"
"Sialan! Terus mau nungguin gue sampek kapan?"
"Sampai Anda selesai."
Saat keduanya berdebat, pintu rumah Aisyah terbuka. "Nak Gibran?"
"Bu ...." Gibran menyapa canggung.
"Sudah sembuh? Mari masuk," ajak Umi Siti. Gibran mengikuti di belakang, sedangkan Affan tetap berdiri di depan pintu.
"Mas gak ikut masuk?" Umi Siti berbalik dan menanyai Affan.
"Tidak, Bu. Saya di sini saja."
"Bakal capek kalau berdiri saja, silahkan duduk."
Umi Siti beralih masuk dan duduk di sofa terpisah dengan Gibran. "Lukanya belum sembuh kok udah dipaksain datang? Besok-besok juga gak apa loh, Nak Gibran."
"Bosan aja Bu, cuma tiduran."
"Mau nemuin Abi, ya? Tapi maaf, hari ini Abi ada urusan di desa sebelah buat hadirin acara peresmian masjid baru. Abi gak tau kalau Nak Gibran mau kesini," ujar Umi Siti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
salsa
astaga lama kli up ny,,dh kutunggu2 up ny
2021-09-30
0
ꪶꫝNOVI HI
lanjut Thor
2021-09-28
0
Indah
lanjut
2021-09-28
0