Tetap Tertahan

Aisyah nampak serius mengajari Gibran menghapal bacaan shalat. Gibran juga sedikit melunak tidak bersikap angkuh seperti tadi. Tetapi tak sepenuhnya membuat mereka akur. Perdebatan kecil masih sering terlibat kala Aisyah membenarkan bacaan Gibran yang kurang tepat.

"Bukan begitu bacaannya, Mas."

"Gimana? Capek gue," keluh Gibran mulai bosan. Hampir dua jam mereka mempelajari bacaan shalat.

Aisyah melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya, ternyata sudah hampir

maghrib. Keseriusan membuat keduanya melupakan waktu.

Sebenarnya Umi Siti akan menegur mereka, tetapi melihat keduanya sangat serius, maka ia urungkan untuk mengganggu mereka. Bahkan ibu dua anak itu sempat melarang Arini ketika gadis itu akan menganggu kakaknya. Bukan apa, hanya takut jika Gibran merasa tidak nyaman jika ada orang lain.

Kali ini Gibran mulai tidak fokus, pria itu mengeluarkan gawai dan terlihat sibuk mengetik sebuah pesan.

Aisyah menutup buku Tuntunan Shalat, lalu menatap Gibran.

"Jangan pantengin muka gue! Awas, lu bisa jatuh cinta," ucap Gibran tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya.

"Astagfirullah, percaya diri banget," sahut Aisyah menahan geram. Maksud hati melihat ke arah pemuda itu agar Gibran tersadar dan segera pulang. Tetapi disalah artikan. "Belajar ngajinya udah selesai. Mas, gak pulang?"

"Demen banget lu ngusir gue? Ntar lagi, gue nunggu Arta jemput."

"Lah, bukannya itu udah di tungguin?"

"Ck ... gue gak mau pulang!" sinis Gibran.

Gorden kusen pintu ruang tengah bergerak, ternyata Umi Siti yang muncul dari baliknya. "Udah selesai belajarnya?"

"Sudah Umi, tapi muridnya gak mau pulang," adu Aisyah.

"Hah?" Gibran terkejut. "Maaf, Bu. Sebentar lagi saya pulang, kok. Cuma nunggu seseorang."

"Mas Gibran tuh, mau ...," ucapan Aisyah terpotong dengan suara Gibran.

"Saya itu ... em, mau numpang ke belakang," sahut Gibran cepat dengan menyengir canggung.

"Oh ... silahkan saja. Kamar mandinya ada di samping dapur," jawab Umi Siti.

Gibran bangkit melewati Aisyah dan Umi Siti. Pemuda itu berniat kabur lewat pintu belakang, tapi kepergok dengan Arini yang baru keluar dari kamar mandi.

"Kakak mau kemana?"

"Bangkek, ngagetin gue aja!" umpat Gibran yang hampir sampai di pintu belakang.

"Ditanya baik-baik malah ngatain bangkek," sungut Arini.

"Ough ... sorry-sorry, gue kaget aja."

"Kakak mau kemana? Kenapa ke arah pintu belakang?"

"Mau ... mau liat aja suasana belakang rumah ini seperti apa." Gibran memberi jawaban ambigu.

"Aneh, liat suasana itu di depan, Kak, bagus. Kalau suasana di belakang rumah, mah, apa yang mau dinikmati? Air comberan?" Arini terkekeh kecil.

'Sial! Gue diledek anak ingusan begini!'

"Di belakang gak ada apa-apa, Kak."

"Ada pintu jalan keluar gak selain pintu samping?"

"Gak ada. Rumah ini udah dikelilingi pagar. Ada satu pintu tapi di gembok."

"Gemboknya tau gak?"

"Di simpen Umi. Nanti aku tanyain."

"Eh, gak usah. Huh, ribet."

"Nak Gibran malah ngobrol sama Arini? Masjid udah ke denger azan, ambil wudhu sekalian nanti tinggal shalat di Masjid." Umi Siti menyusul dan menyuruh pemuda itu untuk sekalian mengambil wudhu.

"Hah? Shalat? Kan, saya belum hapal bacaannya?"

"Yang penting niat. Di sana sudah ada imam yang akan memimpin shalat. Nak Gibran tinggal ngikutin aja."

"Kenapa lebih rumit begini?" desis Gibran tak terdengar. Tetapi, sedetik kemudian senyum liciknya terbit. "Baiklah, saya ambil wudhu dulu."

"Selesai shalat, kalau Nak Gibran mau nunggu abi datang, nanti kita makan malam bareng," tawar Umi Siti. Keluarga Aisyah selalu bersikap baik dan ramah saat menyambut siapapun tamu yang datang. Berbuat baik terhadap sesama merupakan sebagian dari iman.

"Malah ngerepotin, Bu. Setelah ini saya akan langsung pergi. Besok aja saya datang lagi buat ketemu Pak Kiai." Pemuda itu menolak, tapi hatinya sedikit memberontak. Merasakan masakan Umi Siti membuatnya mengingat almarhum ibunya, ada keinginan untuk merasakan kelezatan masakannya kembali, tetapi lebih menang rasa canggung yang dialami. Ia tak mungkin menerimanya. Untuk sekarangpun telah membuat janji dengan Arta dan menyuruh Arta untuk menunggu di ujung gang. Bagaimanapun caranya harus bisa kabur agar bisa pergi ke kelab atau bersenang-senang di tempat lain. Begitulah pemikiran seorang pemuda bernama Gibran Aleidro Haidar, sisi gelap masih melekat erat.

Sial. Affan benar-benar tak bisa dikelabui. Pria itu tetap mengawalnya sampai ke Masjid dan menyuruh dua orang lainnya untuk berjaga di luar.

"Ngapa sih, lu ngikutin gue mulu! Gak ada kerjaan lain apa?" Gibran berdiri di sisi teras.

"Kerjaan saya diperintahkan untuk mengawasi Tuan Muda. Kemanapun Tuan Muda pergi, saya akan ikuti."

"Cih ... makan gaji buta lu kayak gitu!"

"Papa senang liat kamu mau datang ke bangunan ini, Nak." Suara sangat familiar terdengar di telinga Gibran. Pemuda itu menoleh ke arah belakang.

"Papa?" Gibran sangat terkejut melihat papanya sudah ada di halaman masjid. Haidar mengembangkan senyum. Ada cahaya kebahagiaan yang terpancar. Bangga melihat Gibran mau menginjakan kaki di bangunan suci itu.

"Papa seneng banget," ulang Haidar berjalan mendekat. "Ayo kita shalat bareng." Haidar mengusap punggung lengan Gibran, namun tak bergeming. Semakin sulit kesempatannya untuk kabur.

Haidar mengajak Gibran untuk kembali ke rumah Aisyah, pria paruh baya itu ingin mengucap terima kasih juga berpamit pulang. Tetapi Gibran menolak. Ia ingin pulang lebih dulu.

"Gak sopan kalau tiba-tiba pulang gak pamitan sama mereka."

"Gibran udah pamitan."

"Ayo kita mampir sebentar saja."

Mau tidak mau kaki Gibran terpaksa mengikuti langkah papanya untuk kembali ke rumah Aisyah. Dari masjid ke rumah Aisyah hanya berjarak berapa meter dan di tempuh dengan berjalan kaki. Rombongan Gibran menjadi pusat perhatian orang-orang yang sama-sama pulang dari masjid.

Saat akan memasuki halaman rumah, ternyata bertepatan dengan Abi Muhsin yang baru datang.

"Usin," sapa Haidar.

"Assalamualaikum." Abi Muhsin membalas dengan mengucap salam. "Mari masuk," ajaknya.

"Pa, pulang aja," bisik Gibran. Tetapi tak di hiraukan, Haidar justru mengangguk dan senang hati mengikuti Abi Muhsin.

Tapi Gibran pelan-pelan beringsut memisah, ingin mencari kelengahan semua orang. Pemuda itu berjalan mundur dan ingin kabur tapi ....

"Saya tetap mengawasi Anda, Tuan Muda."

Gibran mendorong tubuh Affan dan mengambil langkah cepat untuk segera kabur. Dua orang anak buah yang berada di samping mobil segera mengejar tuan mudanya yang berusaha kabur. Gibran berusaha melawan, tapi kalah dengan dua orang anak buah papanya yang bertubuh kekar.

"Lepasin, bangsat!"

"Tuan Muda ...." Affan sudah menyusul.

"Awas lu, gue habisin!" geram Gibran yang lagi-lagi gagal untuk kabur.

"Gibran! Kamu mau kemana?"

"Gibran mau ke rumah Arta."

"Kamu boleh ke rumah Arta, tapi nanti. Kita pamitan dulu dengan keluarga Usin, gak sopan kalau langsung pulang."

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

mau kabur ga bisa

2022-08-10

0

Ferta Tonah

Ferta Tonah

lanjut akak

2021-10-03

0

Dewi Handayani

Dewi Handayani

sering² up kak mei, selalu ku tunggu up nya

2021-10-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!