Menjenguk

"Assalamu'alaikum ...." Aisyah mengucap salam ketika masuk ke ruang rawat Gibran.

Pria berwajah bengkak dan babak belur itu sedang bersandar di ranjang dan ditemani oleh Arta. Gibran dibuat terkejut dengan kedatangan Aisyah.

Siang ini, setelah selesai menemui anak-anak penderita kanker, Aisyah teringat akan perkataan Haidar yang menyuruhnya untuk menjenguk Gibran. Sedikit aneh memang ketika Haidar meminta permintaan itu, tapi Aisyah sendiri tidak memiliki prasangka apapun. Mungkin karena Haidar memang sibuk bekerja, hingga tidak bisa menemani anaknya. Dan, tak ada salahnya jika ia menjenguk barang sebentar.

Bukannya menjawab salam, Gibran justru memandang Asiyah dengan mengernyit bingung.

"Walaikum salam," jawab Arta tersenyum ramah.

Aisyah berdiri beku di depan pintu, merasa sungkan, ingin masuk tapi Gibran tidak mempersilahkannya.

"Ngapain lu ada di sini?" tanya Gibran dengan menahan sudut bibir yang terasa sakit.

"Wei ... Gib, galak amat lu!" sahut Arta, ia lalu mendekati Gibran dan berbisik. "Siapa dia? Baru ini liat lu deket sama perempuan ahli surga gini? Semakin ngeri gue, Gib."

"Siapa lagi ... dia yang gue katain sok suci," balas Gibran.

"Kalau Mas gak berkenan saya jenguk, ya sudah ... saya permisi," pamit Aisyah. Perempuan yang berjalan masih memakai alat penyangga itu akan berbalik. Dadanya bergemuruh ketika Gibran mengatakannya sok suci.

"Eh, Mbak ... tunggu! Gak apa, silahkan jenguk temen gue yang memang suka nyablak 'ngomong asal', dia mah memang gini, maklumi si Pangeran kegelapan gak bisa baik. Jangankan kita ... bokapnya aja dilawan," ucap Arta.

"Mulut lu, Ta ... emang ember!" sentak Gibran melirik sinis.

"Elah, Gib ... cewek begini lu tolak."

"Lu belum tau aja sikap sok sucinya dia, bikin muak," desis Gibran lirih di samping Arta.

"Eh, Mbak, tolong temenin sohib gue dulu, ya. Gue mau ke kantin bentar," pinta Arta, ia tak mengindahkan bisikan Gibran dan lirikan mautnya. Arta bangkit dan segera melesat keluar. Memberi kesempatan Aisyah untuk masuk dan menemani Gibran.

"Ta ...!"

"Eh, Mas ... saya mau pulang," seru Aisyah yang sudah tidak didengar Arta. Akhirnya Aisyah berjalan mendekat ke ranjang Gibran yang mengalihkan perhatian ke arah jendela. Tirai putih itu bergoyang terkena tiupan angin.

"Tau dari mana?" tanya Gibran tanpa mengalihkan netranya.

"Tadi pagi ketemu Om Haidar, bilang kamu di rawat di sini."

"Terus ngapain jenguk segala?"

Aisyah pun tak mau melihat ke arah Gibran, memilih meniti bangunan bercat putih dihadapannya. "Om yang nyuruh."

Gibran mendengus, ia berusaha mengambil air minum di atas meja, tetapi tangannya sulit untuk menjangkau. Aisyah yang melihat itu mencoba membantu. "Gak usah sungkan minta bantuan orang lain," ucapnya menyindir Gibran.

Selesai meneguk air putih, Gibran memberikan gelas itu pada Aisyah. "Lu masih sakit, ngotot juga buat keluyuran!" Gibran berganti mencibir.

"Meisya sakitnya kambuh, perawat memberitahuku dan aku datang untuk menjenguk Meisya," ujar Aisyah. Ia beralih meniti wajah pemuda dihadapannya, terdapat memar di sudut bibir, garis pelipis ditutup plester, begitu juga tulang hidungnya.

"Apa Mas sering seperti ini?"

"Bukan urusan lu!"

"Memang, cuma saya kasihan sama Om Haidar terlihat sedih."

"Lu cocok berbaur sama Affan! Kalian berdua sama!" desis Gibran terlihat kesal.

Aisyah membuang napas panjang. 'Benar-benar keras kepala,' batinnya.

"Saya tidak tau siapa Affan."

"Huh ....dimana-mana emang demen ceramah ya, lu! Orang yang deket sama lu pasti budek."

"Sepertinya kamu gak suka aku di sini," ucap Aisyah sedikit kesal. Sedari tadi pria di depannya itu berkata ketus, "saya berniat baik buat jenguk Mas! Kalau gak suka, saya bisa pulang."

"Gu-e ... malu aja," lirih Gibran.

Aisyah yang tadi telah bersiap mengangkat tongkat penyangganya kini kembali duduk dengan keheranan. "Malu?"

"Lu pasti nertawain gue!"

Aisyah berubah tersenyum tipis, pemuda angkuh seperti Gibran bisa berkata lirih dan terlihat canggung. Mengejutkan dan mengherankan.

"Kenapa nertawain?"

"Karna muka gue pasti aneh."

"Mas sakit tapi berpikiran seperti itu?" Aisyah menggeleng pelan. "Saya kesini buat jenguk, bukan buat nertawain orang sakit. Coba sekali-kali jangan suudzon dulu sama orang."

Gibran melirik senyum Aisyah, sejenak pandangan mereka bertemu. Namun Gibran beralih lebih dulu.

Ponsel yang tersimpan di dalam tas kecil mengalihkan perhatian Aisyah, tangan kanannya segera merogoh benda pipih itu. Tertera nama uminya, ia segera menekan tombol hijau. "Assalamualaikum, Umi."

"Walaikum salam, apa pekerjaanmu belum selesai, Nak? Kenapa belum pulang?" Pertanyaan Umi Siti mengandung kekhawatiran. Putrinya belum pulih, tetapi sudah harus ke rumah sakit demi anak kecil yang terus mencari keberadaan Aisyah.

"Udah Umi, Sebentar lagi Ais pulang. Ini lagi jenguk Mas Gibran."

"Gibran ...? Gibran anaknya temen abimu?"

"Iya, Umi. Mas Gibran di rawat karna terlibat perkelahian dengan temannya."

"Kenapa kudu laporan! Malu gue!" dengus Gibran melirik sinis. Aisyah belum merespon pria itu, ia masih sibuk berbicara dengan uminya.

"Ini Abi sudah mau jemput kamu."

"Ais bisa pesen ojek, Mi."

"Kalau kamu sehat, kami gak akan larang kamu naik ojek, Ais. Tapi, kakimu belum sembuh kami takut terjadi sesuatu lagi."

"Ya sudah, Ais tunggu Abi datang. Malah jadi ngerepotin Abi."

"Nanti abimu mau mampir jenguk Gibran juga, nanti biar telpon kamu lagi."

"Iya Umi. Ya sudah, Ais tutup telponnya. Assalamualaikum."

"Walaikum salam."

"Kan, bokap lu malah ikut jenguk gue!"

"Gak apalah, Mas. Jenguk orang sakit itu hukumnya wajib."

"Astaga ... kenapa semua-semua ada hukumnya!"

"Islam itu penuh dengan hukum, sunah, wajib dan itu juga dibagi menjadi beberapa macam—"

"Ah, iya ... gue ngerti," potong Gibran.

"Em, nanti biar Abi saja yang jelasin. Ntar, aku dikira sok tau."

Daun pintu terbuka, muncul Arta dengan membawa 3 cup minuman. "Tadi aja sok jaim. Gue tinggal bentar bisa deket gitu," cibir Arta.

"Lu dateng ngepasin aja. Dari tadi kita berantem mulu'!"

Arta tidak menggubris. Ia menuju Aisyah dan menyodorkan satu cup late coffe.

Aisyah menerimanya. "Makasih, Mas."

"Sama-sama. Kenalin, gue Arta, sohibnya Gibran." Arta berganti menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak Aisyah berjabat. Tapi, tentu saja Aisyah tidak menerima, perempuan itu segera mengatupkan kedua tangan di depan dada. Sebagai perwakilan perkenalan mereka. "Saya, Aisyah."

Arta menarik tangannya dengan canggung. Ia tak tahu Aisyah tidak mau bersentuhan dengan laki-laki.

Melihat itu Gibran tergelak, semenit kemudian ia meringis menahan sakit. "Gue bilang apa, Ta? Dia itu gadis sok suci. Jangankan elu, sentuhan sama gue aja kayak kena najis, apalagi sama lu." ejek Gibran.

"Sialan lu, Gib."

"Maaf ya, Mas Arta, saya hanya menjaga wudhu saya. Jadi gak bisa bersentuhan dengan bukan muhrim."

"Kalau gitu, gue siap loh, Mbak, jadi muhrim lu."

"Hah ...?"

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

lanjut

2022-08-10

0

ꪶꫝNOVI HI

ꪶꫝNOVI HI

masih sopan Arta daripada Gibran

2021-09-28

0

Ferta Tonah

Ferta Tonah

lanjut anak Mei,

2021-09-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!