Di cafe

Jam kuliah tak dapat ia hindari, terlalu banyak absen kosong yang telah ia lewati. Jika terus menerus tak diisi, bisa saja jadwal kuliahnya makin lama lagi. Ia sudah bosan duduk bangku kuliah, ingin segera lulus tanpa memikirkan beban. Bahkan jadwal wisudanya harus tertunda sebab ia tak dapat menyelesaikan tugas. Kali ini ia harus fokus dan bersungguh.

Kuliah siang telah usai, ia dan Arta ingin segera pergi ke tempat santai untuk mendinginkan isi kepala yang terasa panas.

"Si Max, belum masuk juga," ucap Arta.

"Bodo' amat. Memang dia lebih parah dari gue." Gibran menanggapi. Pria itu tersenyum miring. "Kira-kira paket yang gue kirim udah nyampek belum, ya?" Senyuman Gibran berubah menjadi tawa lebar.

"Paket? Lu ngirim paket apa?" tanya Arta mengerutkan dahi sebagai tanda pria itu sedang bingung.

"Gue kirim paket rok sama paket kosmetik abal-abalan buat dia ganti gender. Haha ...."

"Wah, parah lu, Gib!" sentak Arta, satu detik kemudian pria itu ikut tertawa lebar. "Gue gak bayangin bagaimana reaksi cecunguk itu, ya? Pasti keluar tanduk."

"Jelas. Gue cuma bales ucapan dia aja. Kalau gue kalah, dia bakal ngirim paket serupa buat gue. Nah, sekarang gue balikin ucapan dia."

Dua pria itu terus melangkah menuju parkiran.

"Lu yang nyetir, tangan gue masih agak kram!" Gibran melempar kunci mobil ke arah Arta, membuat pria itu gelagapan menerimanya.

"Mau kemana kita?"

"Nongkrong di cafe, enak kayaknya," kata Gibran.

"Let's go ...."

Cafe Reziox, tempat favorit Gibran sering menghabiskan waktu selain di kelab malam. Cafe yang lumayan besar dengan pemandangan outdor yang memanjakan mata.

"Pesen kek biasanya."

"Iya."

Arta menyebutkan pesanan mereka pada waiters, sedangkan Gibran sibuk bermain game dari fitur ponselnya.

"Kok gak ada cewek yang bening, buat di godain, ya?" celetuk Arta.

"Nyari cewek di cafe gini, kebanyakan cewek yang udah ada cowoknya."

Arta mengedar sekeliling, memang benar, hampir semua yang datang berpasang-pasangan.

Arta melebarkan bola mata, fokus pada satu orang yang membuatnya terkejut. "Gib ... Gib, lu tadi gak ngimpi. Mata lu juga gak rabun," seru Arta, membuat Gibran beralih menatap temannya itu.

"Sekarang gantian lu yang ngomongnya seperti orang kesurupan!" desis Gibran dengan pandangan jengah. Menilai Arta berlebihan tanpa menoleh pada titik fokus pandangan Arta.

"Liat meja yang onoh! Raina, Gib. Bener yang lu bilang, Raina kembali ke sini!"

Gibran langsung menoleh, tetapi bukan Gibran saja karena perempuan bernama Raina juga ikut mengalihkan pandangan. Arta terlalu keras bersuara, hingga di dengar yang lainnya.

Deg ....

Gibran dan Raina terpaku, terpaut pandangan lekat satu sama lain. Jarak mereka hanya terhalang satu meja lain saja.

Sedangkan Arta melihat dua orang terpisah itu secara bergantian. "Awas, biji mata lu coplok!" kelakar Arta.

Gibran tersadar dan mengalihkan pandangannya dari Raina. Pria itu tidak menanggapi kelakar Arta. Saat ini batin dan pikirannya terfokus pada Rainanya, perempuan yang dulu sangat didambanya.

"Hay ...." Tiba-tiba seseorang telah berdiri disampingnya. Menyapa dengan senyum manis. Semanis madu.

"Eheem ... Hay, Raina." Arta membalas sapaan perempuan bernama Raina. Ya, Raina lah yang menghampiri meja Gibran.

"Boleh gabung?"

"Silahkan." Lagi-lagi Arta yang bersuara untuk menjawab Raina. Sedangkan Gibran terdiam tanpa mengalihkan netra dari meja di depannya.

Ketiganya digelayuti rasa canggung. Keadaanya kini telah berubah, tidak seperti beberapa waktu lalu, saat mereka saling akrab.

"Eh, ntar, ya. Cintya telepon. Gue angkat dulu," pamit Arta.

"Angkat di sini aja kenapa," balas Gibran.

"Ntar ganggu kalian, gue gak mau jahat, masak mesra-mesraan di depan dua orang patah hati, kek gak punya hati," canda Arta.

"Bang*** lu, Ta!" pekik Gibran garang. Arta justru terbahak dan segera menyingkir dari hadapan temannya.

Raina tersenyum menyaksikan Arta pergi, ia hapal dengan teman mantan pacarnya itu yang memang suka bersenda gurau.

Setelah kepergian Arta, meja yang dipesan Gibran makin dilingkupi atmosfer dingin. Dua-duanya tak ada yang memulai percakapan, atau sekadar menanyakan kabar. Canggung dan dipenuhi pertanyaan, justru membuat keduanya saling mendiamkan.

"Kamu gak berubah ya, Gib. Masih sama, bersikap dingin," ucap Raina mengawali percakapan.

Pria itu mendekus dan tanpa mau memandang ke arah Raina. Manik matanya bergerak-gerak meneliti bangunan cafe untuk menghindari bertatapan dengan perempuan manis di depannya.

"Gue gak memang gak pernah berubah," sahut Gibran sinis. Panggilan 'gue' seolah menjadi tanda bahwa mereka sudah tak sedekat dulu. Mereka tak memiliki hubungan seperti dulu.

"Aku berharap hatimu begitu," cetus Raina.

"Untuk itu, hanya gue yang tau!"

"Gib, maafin aku." Perempuan itu memandang sendu ke arah Gibran yang masih enggan membalas pandangannya.

"Maaf untuk apa? Lu gak ada salah sama gue!"

"Gib, bicaralah dengan normal. Tatap aku," pinta Raina mengiba. Suaranya bergetar, bersamaan dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca.

Kali ini Gibran menuruti permintaan Raina, ia memandang lekat pada wajah perempuan yang ia rindu sekaligus ia benci. Entah, perasaan mana yang lebih dominan.

Saat menatap mata Raina, tak ada yang berubah, tetap memancarkan keindahan tersendiri baginya. Perempuan itu tak berubah sedikitpun, fisiknya. Tetapi entah dengan hatinya.

"Gue gak bisa bersikap normal, setelah semua yang terjadi."

"Sebenarnya aku gak ada muka buat muncul dan nyamperin kamu, tapi ...," ucapannya dibiarkan menggantung begitu saja. Membiarkan tak ada kejelasan.

"Aku ingin jelasin sesuatu," ucap Raina setelah mengembuskan napas panjang. Gibran bergeming.

"Kamu pasti tau apa yang terjadi di berita publik tentang skandal papaku dengan sekretarisnya. Lalu ...." Perempuan itu kembali menghentikan ucapan, kali ini mulai menangis dan dengan suara lirih, bergetar, ia kembali melanjutkan cerita, "Ibuku yang bunuh diri setelah over dosis obat tidur. Belum selesai di situ, akibat skandal itu perusahaan bangkrut yang mengharuskan aku pergi ke USA," terang Raina dengan tersedu sedan.

Melihat perempuan di depannya terisak membuat Gibran melunakkan tatapannya. Bagaimanapun perempuan itu pernah menjadi kekasihnya. Ia tak sampai hati harus mengabaikannya.

"Kenapa kamu gak datang padaku, Rain? Kamu memilih datang pada Bram dan minta bantuan padanya!" ucap Gibran masih ada sisa kemarahan dari balik ucapannya.

"Aku gak datang pada Bram. Siapa yang memfitnahku?" Raina terkejut.

"Max mengirimiku fotomu bersama Bram, dalam foto itu terlihat dia memberimu uang. Setelah itu kamu menghilang, bukankah uang itu untuk kepergianmu ke USA? Kamu juga tidak menjelaskan apapun, pergi begitu saja."

"Sudah aku bilang, aku malu sama kamu," kilah Raina. "Apa karna foto itu kamu membenciku? Padahal hatiku masih sama untukmu," ucap Raina dengan sendu.

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

mantan itu sesuatu yg udah d lepeh jangn d jilat lagi

2022-08-10

0

Apriyanti

Apriyanti

lanjut kak 🙏

2021-10-06

0

Bunga

Bunga

Gibran kenapa balik ke mantan kalo hujung"nya tetap pisah,noo ada Ais yg bisa bikin kamu bahagia apalagi keluarga Ais semua keluarga yg hangat😊...

mantan itu cuma sampah yg singgah sebentar lalu akn balik lgi keasalnya..

2021-10-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!