Bertamu

"Nak Gibran?" suara Umi Siti menghentikan Aisyah yang akan melanjutkan perdebatannya dengan pemuda bernama Gibran.

Ibu paruh baya itu muncul dari pagar rumah, baru pulang dari Masjid mendengarkan tausiah dari Abi Muhsin. Hari rabu memang jadwal Abi Muhsin memberi ceramah pada jamaah yang mengikuti shalat dzuhur hingga ba'da ashar.

"Iya Bu." Gibran memasang senyum palsu demi menghormati pemilik rumah.

"Mari Nak, masuk." Umi Siti mendahului Gibran dan melepas sendal disamping pintu. Meraih tangan Aisyah untuk dibantu masuk.

"Kalau dibuat jalan terus kaki mu pasti sakit, Aish jangan banyak gerak ya, Nak." Umi Siti berkata dengan lembut.

Gibran hanya mampu menyaksikan, tanpa bisa merasakan lagi kasih sayang yang diberikan Umi Siti pada Aisyah. Ia sampai lupa kapan terakhir kali mamanya memberikan kasih sayang. Itu juga yang menyebabkan seorang Gibran Aleidro Haidar menjadi seperti sekarang, menjadi pembangkang dan salah pergaulan.

"Nak Gibran duduk dulu. Abi masih di Masjid, sebentar lagi pulang." Umi Siti menoleh sebentar pada Gibran, lalu menuntun Aisyah kembali ke kamarnya.

Duduk disofa yang sudah tidak lagi nyaman untuk diduduki, Gibran terdiam meneliti pandangan rumah Aisyah. Rumah sederhana seperti penghuni rumahnya.

Diruang tamu hanya ada 1 foto keluarga. Sedangkan sisi dinding dipenuhi hiasan bertuliskan Arab, gambar sembilan Wali Songo, gambar para ulama lainnya, juga gambar Baitullah.

Wajar rumah itu terasa dingin dan sejuk, rumah penuh kehangatan. Tidak seperti kamarnya yang dipenuhi figura foto vulgar dari sang mantan kekasih. Ada juga foto dewasa yang disimpan di laci khusus untuk bahan dia bersolo karir. Otaknya sudah tercemar.

"Assalamualaikum," Gibran dikejutkan salam dari Arini, adik Aisyah yang rupanya baru pulang sekolah. Entah ada tugas apa hingga Arini pulang sampai sore hari.

Usai menata sepatu dirak, gadis itu masuk dan betapa terkejutnya melihat pemuda asing tengah duduk diruang tamu rumahnya.

Gadis tanggung itu mencoba tersenyum dan menundukkan kepalanya sebentar sambil berlalu, "Umi ... umi ... ?" Arini memanggil umi Siti.

"Loh ... anak gadis Umi kok teriak-teriak begitu sih Nak?" Umi Siti menyahut dari dalam kamar Aisyah. Lalu keluar menemui Arini.

Arini tersenyum lalu meraih punggung tangan uminya. "Maaf Umi. Tadi Arin udah salam tapi nggak dijawab."

"Itu siapa, Umi? temennya Kak Ais, ya?" Arini dibuat penasaran dengan sosok Gibran. Pemuda pertama kali yang datang ke rumah selain Faris.

"Iya. Udah kamu ganti baju dulu terus makan." Umi Siti mendorong pelan bahu Arini untuk diajak masuk ke kamarnya.

"Assalamu'alaikum." terdengar seseorang mengucap salam. Ternyata Abi Muhsin baru pulang.

"Wala'ikum salam ... " Gibran terpaksa menjawab salam karna tidak enak dengan Abi Muhsin. Itu pun lidahnya terasa kaku.

"Loh ... nak Gibran udah disini." Abi Muhsin terkejut melihat Gibran sudah duduk dikursi ruang tamu.

"Tadi didepan gerbang liat ada mobil, tapi nggak kepikiran itu mobilnya Nak Gibran." tambah Abi Muhsin. Kini duduk di kursi berhadapan dengan pemuda angkuh itu.

"Iya, Pak. Saya kesini karna disuruh papa."

"Nak Gibran mau belajar ngaji?" Abi Muhsin menebak. Seperti obrolannya terakhir kali bersama Haidar, meminta bantuannya untuk menuntun Gibran menjadi anak yang lebih baik.

"Kata papa sih, jadi." Gibran menjawab ragu.

"Loh, kok kata papa? yang mau belajar ngaji Nak Gibran, kan?" Abi Muhsin mengernyit.

"Iya. Tapi papa yang nyuruh. Gue, eh ... aku maksutnya. Aku sendiri sih nggak niat buat belajar ngaji. Udah ketuaan. Lagian, nggak pantes juga orang seperti ku belajar ngaji." pemuda itu menggaruk pinggiran dagu juga tersenyum kikuk.

Abi Muhsin tersenyum memandang Gibran. "Nak Gibran, namanya orang ngaji cari ilmu nggak ada kata ketuaan atau gak pantas. Seperti peribahasa 'Kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina, gapai lah ilmu dari buaian sampai liang lahat. Dari peribahasa itu disarankan belajar mencari ilmu dari kita kecil hingga tua atau sampai tutup usia. Dan, alangkah beruntungnya orang yang mampu menjajarkan tentang ilmu dunia juga akhirat. Untuk seorang taat agama, mungkin urusan dunia bahkan menjadi urusan terakhir, karna sejatinya akhirat lah yang perlu kita kejar. Hidup di dunia bisa kita hitung dengan angka, kita bisa prediksi dibawah umur seratus tahun seseorang pasti meninggalkan dunia. Tapi, di alam keabadian, menjanjikan kita kekal selamanya. Nak Gibran bisa pilih, masih tetap mengejar dunia atau mencoba mengejar akhirat?"

Gibran terdiam dalam lamunan, tapi pikirannya sedikit teracuni oleh perkataan Abi Muhsin. Berhadapan dengan Abi Muhsin membuatnya tegang, keringat mulai keluar dari pori-pori. Jika kalimat panjang yang mengandung nasehat itu keluar dari mulut ayahnya, bisa saja ia menyangkal dan akan berujung perdebatan. Tapi kali ini berbeda, ia berhadapan dengan orang tua yang entah kenapa membuatnya segan.

Melihat Gibran terdiam, Abi Muhsin kembali bersuara. "Kalau Nak Gibran belum siap gak apa, saya gak bisa maksa. Nanti biar saya yang bicara dengan Idar. Apapun yang dipaksakan dan bukan dari hati maka tidak akan baik."

"Tidak Pak, aku akan mencoba." seolah terucap tanpa kesadaran tiba-tiba saja kalimat itu keluar begitu saja. Gibran menatap Abi Muhsin yang masih tersenyum. Tak enak hati jika menarik kata-katanya kembali. Sedikit menyesal kenapa langsung menyetujui tanpa berpikir ulang. Bukankah itu kesempatan emas masih bisa bebas seperti hari-hari biasanya. Tanpa harus bersusah payah menjadi orang takut dosa?

Selama ini hidupnya bebas, pemuda itu tidak kenal dengan kata dosa. Bahkan semua hal yang dikatakan berdosa semakin giat ia lakukan. Sebagai bentuk pengalihan dari kekecewaan hati.

"Alhamdulillah jika Nak Gibran mau berusaha. Idar pasti sangat senang."

Umi Siti keluar dari balik pintu ruang tengah dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman juga satu toples kue kering. Menyuguhkannya diatas meja.

"Di minum teh nya, juga diicip rotinya, Nak Gibran." Umi Siti mempersilahkan.

"Terima kasih Bu,"

"Umi, Ais dimana?" Abi Muhsin menoleh pada Umi Siti.

"Dikamar, tadi Faris dan Della kesini jenguk Ais. Katanya."

Gibran memperhatikan interaksi Abi Muhsin dengan Umi Siti, begitu hangat dan penuh kasih sayang. Walau hidup dengan kesederhanaan tapi terasa bahagia.

Saat mengamati dua orang didepannya, Gibran dikejutkan dengan deringan ponsel pada saku celananya.

"Halo, Ta?"

"Lo dimana? ntar malam ada baliar di jalan xxx, Lo ditantang sama Max. Hadiah kali ini gratis ke bar selama satu bulan dan pastinya ada gratisan plusnya juga."

"Jam berapa stay disana?"

"Jam 10."

"Ntar gue kabari lagi."

"Lo dimana sih, tumben seharian gak nongol batang hidung Lo?"

"Gue lagi ada tugas dari papa."

"Eh ... tumben Lo nurut."

"Gak usah banyak bacot! ntar gue hubungi lagi."

Klik.

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

makin penasaran az

2022-08-10

0

Ferta Tonah

Ferta Tonah

kak Mei, kok sudah lama tidak up.... aku menunggu kelanjutannya☺☺☺

2021-08-29

1

🍒KURNI CACAH 🍒

🍒KURNI CACAH 🍒

akak yg ini di lanjut lagi dong

2021-08-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!