Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Madrid, kota eksentrik yang baru dinikmati pertama kalinya oleh Lucia. Dia menginjakan kaki di pasar tradisional, di mana setiap pendagang menyuarakan barang dagangannya memanggil pembeli. Begitu ramai, penuh oleh aroma makanan yang enak dan tentu saja turis.
Setidaknya tugasnya kali ini dinikmati dengan senang hati, membeli bahan makanan diharuskan untuk keluar. Bukan saja menikmati kota Madrid, tapi juga Lucia bisa pergi ke telpon umum untuk menghubungi anaknya.
Itu yang membuatnya tidak sabar menyelesaikan semua list belanjaan di tangannya. “Gracias,” ucapnya menerima sekeranjang sayuran segar.
Kembalian uang koin dari pedagang, Lucia berikan pada anak yang duduk dengan mangkuk di depannya. Lucia berjongkok di sana ketika menyadari anak laki-laki itu memiliki mata yang sama dengan Louisa. Dia mengeluarkan uang lembaran dari saku dan memberikannya pada tangan si anak.
“Gracias, Señorita.”
“Sí.”
“You have a big future,” ucap anak itu membuat Lucia tertarik, dia kembali berjongkok untuk mendengarkan.
“Sí?”
Anak yang usianya kira-kira 10 tahun itu tersenyum, memegang tangan Lucia dan membuka telapaknya. Mengusapnya lembut mengikuti garis tangan. “Kebahagiaanmu harus dilewati dengan tangisan.”
“Apa kau peramal?” Lucia mulai meragukan.
“Sí, nenekku pembaca teh, membuatku bisa untuk membaca tangan.”
Lucia menarik tangannya. “Lalu kenapa kau tidak membaca keberuntungan orang daripada mengemis?”
“Aku tidak mengemis.”
Jawaban yang membuat Lucia mengerutkan kening.
“Aku mencari manusia baik yang memberi tanpa pamrih, lalu aku membalasnya dengan ramalanku.”
“Oh, sepertinya ramalanmu membuatku merasa buruk.”
Anak yang memiliki bekas luka sayatan di pipi kirinya itu menggeleng. “Tangisan itu disebabkan oleh dirimu sendiri, oleh egomu.”
“Benarkah?” Lucia mengangkat alis.
Dia kembali menelusuri garis tangan Lucia. “Aku melihat akhir yang tidak jelas, antara kau dan pria bermata hitam, dan anak kalian.”
Lucia kembali menarik tangannya, kini tidak ada lagi tatapan jahil. Lucia berdiri setelah memberikan lembaran uang lainnya. “Belilah makanan,” ucapnya menuju telpon umum.
Sesekali pandangannya teralihkan pada anak yang menggoyangkan mangkuk di tangan, hatinya bertanya, ‘Apa aku bisa pulang pada Louisa?’
“Rani?”
‘Lucia? Kau kah itu?’
“Astaga…” Menghela napas lega. “Aku ingin bicara dengan Louisa.”
‘Tentang itu….,’ ucapan ragunya membuat Lucia tidak sabaran.
“Apa?”
‘Sebentar, akan aku panggil dia.’
Menunggu Rani yang memanggil anaknya, Lucia menggigit kuku telunjuknya merasa tidak sabaran mendengar suara putri kecilnya. Dan saat dia mendengar suara langkah mendekat, senyum Lucia mengembang.
“Louisa?”
‘Maaf, Lucy, dia tidak ingin bicara denganmu.’
Senyumannya memudar. “Rani? Apa yang terjadi? Di mana Louisa?”
‘Dia… dia baik-baik saja, dia hanya sedang tidak ingin bicara denganmu.’
“Rani apa yang terjadi?”
‘Louisa marah padamu sejak pulang dari perkemahan kemarin.’
“Perkemahan? Tuhan! Kau membawanya ke sana? Sudah kubilang jangan bawa Louisa ke sana, dia lebih baik berlibur musim panas di rumah,” ucapnya berapi-api, matanya berair membuktikan betapa emosionalnya dirinya. Bukan tanpa alasan Louisa tidak boleh datang ke sana, itu adalah perkemahan keluarga, yang membuat Louisa selalu menjadi paling beda.
Rani mendesah penuh penyesalan. ‘Maafkan aku, dia yang meminta.’
“Semuanya tidak berjalan baik ‘kan?”
‘Louisa menunjukan gambar Louis dari potongan majalah yang kau berikan, dan tentu saja teman-temannya memberikannya pada ibu mereka.’
“Tuhan…” Lucia mengusap keningnya, dia bersandar di dinding kaca. “Apa yang sedang dilakukannya sekarang?”
‘Dia sedang menari, kau tahu, dia ingat perkataanmu kalau Louisa berhasil dengan gerakan baletnya dan membanggakan semua orang, maka dia bisa meminta apapun pada Tuhan. Dan yang Louisa minta adalah kehadiran Louis.’
Air mata Lucia semakin mengenang, dia melihat anak yang mengemis menatapnya sambil tersenyum. Segera dia menutup telponnya, lalu mendekat pada anak itu. Lucia mengeluarkan beberapa lembar uang, menyerahkannya langsung pada telapak anak itu. “Katakan, bagaimana caranya aku bisa ke Palma?”
“Aku bukan ahli dalam strategi, Señorita.”
“Katakan saja padakku bagaimana caranya aku menemui anakku, atau, bagaimana dan kapan aku akan bahagia?”
Anak itu tersenyum. “Saat kau menyingkirkan bebanmu untuk sesaat.”
***
“Ini barang yang kau minta, Naomi.”
“Thanks, Lucia,” ucap wanita berkulit hitam tanpa mengalihkan pandang dari jemari kuku, memilih salah satu untuk menggunting pendek kuku.
Lucia berpaling begitu dia melihat Monica berjalan ke arahnya. Berniat untuk tidak melihat dan bicara, wanita itu malah menahan lengannya. “Sepertinya kita harus banyak bicara, saling mengenal satu sama lainnya.”
“Kita tidak perlu melakukan itu.” Lucia mencoba melepaskan tangan Monica yang menahannya.
Seakan sengaja, wanita itu meremas kuat hingga Lucia merasakan sakit. “Lepaskan aku.”
“Bagaimana kau bisa tahu tentang Señor Louis? Apa yang kau tahu darinya?”
“Aku tidak tahu apa yang kau maksud.”
“Insiden Hyo-in, kau pikir aku bodoh, pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan.”
“Tidak ada yang aku sembunyikan.” Mencoba melepaskan cekalan tangan Monica, wanita itu seakan senang dengan penderitaan Lucia.
Tanpa sopan santun, Monica menghapus foundation dan bedak yang menutupi pipi dan leher Lucia, dia terkekeh mendapati apa yang dipikirkannya. “Sudah aku duga kau mendapat luka, apa Nona Amelia yang melakukan ini?”
“Lepaskan aku.” Lucia mendorongnya kuat hingga Monica hampir jatuh, beruntung punggungnya membentur pantry.
Tangan putih itu menutupi luka pada leher dan wajahnya, Lucia pergi begitu saja dengan wajahnya yang menahan kesal. Dia mengunci pintu kamar, menarik napas dalam sebelum bercermin.
‘Ada apa dengan ketertiban di sini? Kenapa mereka begitu menyebalkan,’ gerutunya dalam hati, Lucia membalurkan foundation pada bekas luka yang diberikan Louis dan Amelia. Mereka pasangan menyebalkan, Lucia berharap ada petir yang menyambar keduanya, dan juga Monica. Mereka punya dosa padanya, masing-masing membekas dalam ingatan.
Lucia menatap pantulan dirinya dalam cermin, seragam pelayan masih melekat pada tubuhnya. Dia menyelipkan anak rambut ke belakang, rambutnya digelung rapi dengan konde bertuliskan aksara jepang. Pemilik manik biru itu keluar dari kamarnya, yang langsung disambut tatapan kirang menyenangkan dari Monica dan Salma.
Tanpa menghiraukan keberadaan dua orang itu, Lucia mendekati Naomi yang memanggilnya. “Ada apa?”
“Bawakan ini ke lantai atas, Tuan Louis ada di perpustakaan.”
“Sí,” ucapnya mengambil alih baki berisi es kopi capucinno, dari jaraknya sekarang, Lumina mencium aroma rempah lebih dari sekedar kopi.
Ketika Lucia membuka pintu kayu, dia mendengar suara yang membuatnya berhenti melangkah, membuat keningnya berkerut hingga Lucia menampilkan ekspresi aneh.
Itu suara wanita yang sedang merayu, berucap dengan desahan-desahan anehnya.
Sadar jika kopi itu harus dia berikan, Lucia kembali melangkah. Melewati tiap rak buku yang dua kali lebih tinggi darinya. Hingga matanya membulat, menunduk seketika saat melihat sepasang manusia tengah berciuman. Sang wanita terlihat terjepit diantara rak dan tubuh Louis.
“Maaf, Señor,” ucap Lucia saat keduanya menyadari kehadiran dirinya.
Sang wanita yang berlipstik merah maroon terlihat kesal, dia mengeratkan rangkulan pada leher si pria. “Ayo kita lanjutkan, Sayang.”
Dari bayangan, Lucia melihat Louis mengusap bibirnya sendiri dan bergerak menjauhi tubuh wanita yang mendambakannya. “Simpan itu di meja.”
“Sí.” Tanpa melihat keduanya, Lucia segera pergi dari sana.
Napsu Amelia belum terobati, dia memeluk Louis dari belakang. “Kau ingin bermalam di tempatku?”
Sebagai jawaban penolakan, Louis melepaskan tangan yang memeluknya, dia fokus memilih buku untuk dibacanya.
“Louis, apa kau gay?”
“Berpikirlah semaumu, sekarang pergi.”
Amelia menghentakan kaki. “Apa yang terjadi dengan dirimu? Tidakkah kau menyukai tubuhku, Louis? Dadaku? Bokongku? Apa ini kurang menggairahkan bagimu?”
Louis membalikan badan, menatap mata yang dilapisi softlenss abu-abu tua. Dengan penuh penekanan dia berkata, “Pergi, Amelia.”
Wanita itu berdehem, dia mengambil tasnya dari kursi yang ada di dekat jendela. Menggerutu sepanjang langkah kakinya. Dan ketika dia melihat Lucia berjalan di lorong, Amelia berlari kecil, dia menjambaknya seketika.
“Aaaa!” Jerit Lucia saat kepalanya dibenturkan pada ujung meja. “Señorita?”
“Ini semua gara-gara dirimu. Karena kau aku kehilangan kesempatan bersama Louis!” teriaknya berapi-api. Tanpa kasihan, Amelia menendang perut Lucia dan meninggalkan perempuan yang merintih kesakitan.
***
Malam yang sunyi, ini waktunya bagi pemilik mata biru untuk terjaga dan menyelesaikan beberapa buku untuk disalin. Menatap dirinya sendiri yang dibalut kaos putih polos dan rok selutut. Seharusnya dia terlelap di jam ini, tapi tugas menunggunya. Setidaknya setimpal, Lucia mendapatkan uang cukup banyak.
Hanya saja, luka yang didapatkannya juga setimpal. Pelayan lain membencinya tanpa alasan, Amelia sering melampiaskan amarahnya pada Lucia, dan juga luka yang pasti akan dia dapatkan dari kekecewaan putrinya. Tidak mungkin jika dirinya membawa Louis ke sana, hal mustahil yang mungkin akan terjadi jika langit runtuh.
Sebelum naik ke lantai atas, Lucia mengambil beberapa apel untuk dimakannya sembari menulis. Dua apel merah menjadi pilihannya, dia naik ke lantai dua ditemani suara langkah kakinya yang menggema.
Hingga suara langkah itu dikalahkan oleh suara lain. Terdengar sebuah alunan indah yang diciptakan jemari gemulai, menari diatas tuts piano. Nada-nada yang dimainkannya, mengingatkan Lucia pada perasaan yang seharusnya tidak dia tanamkan.
Setelah sekian lama, akhirnya Lucia mendengar lagi melodi indah yang diciptakan jemari Louis. Dengan berani, Louisa berjalan ke arah suara, menempelkan tubuhnya di dinding dan mengintip Louis yang memejamkan mata menghayati musik indah.
Tidak dapat ditahan, Lucia yang memiliki mimpi sebagai penari itu menggerakan tubuh. Dengan lihai, gemulai dia mengikuti nada yang dimainkan. Matanya terpejam, mengikuti perasaan untuk menari dalam kesendirian.
Disaat mata Louis terbuka, dia melihat bayangan seorang perempuan sedang menari. Awalnya dia heran, hingga akhirnya mengerti bahwa tarian itu untuk mengiringi melodinya.
Seakan memiliki dorongan semangat, Louis memainkannya semakin cepat, seirama dengan bayangan Lucia yang memutar mengikuti.
Saat nadanya mulai memelan, hingga akhirnya hilang, Louis bisa melihat bayangan itu tersenyum sebelum melangkah pergi.
Suara pintu perpustakaan yang terbuka membuatnya tersenyum miring. Louis menghubungi seseorang.
“Siapkan kamar hotel untukku di tengah kota Madrid.”
---
Love,
ig : @Alzena2108
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Sandisalbiah
Lucia.. bunga yg terlahir utk menderita
2024-11-01
0
asri handaya
zee aku kangen banget.....
2024-01-29
1
asri handaya
aku baca ulang.. gak pernah bosen.... keren banget novel ini
2024-01-29
1