Aku Seorang Santri

Aku Seorang Santri

Prolog

Aku bernama Silfia, berusia 12 tahun. Terlahir dari keluarga sederhana ,ayah yang hanya petani dan bekerja bangunan, anak tengah dari tiga bersaudara. Tinggal ditempat yang sederhana, desa terpencil diprofinsi Bengkulu,berbatasan dengan Sumatra barat, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Kata orang aku anak pendiam tak pernah membantah perintah orangtua dan memang tak suka dibentak. Rada susah mencari teman,suka membaca buku apapun, dan susah fokus pada suatu hal. Namun aku punya teman yang cukup akrab dari kelas satu SD, namanya Lisa.

Lisa anak periang mudah bergaul dan yang paling penting dia cantik. Banyak sekali murid lain yang dekat dengannya. Tidak kayak aku yang hanya bergabung dengan orang-orang yang sudah dikenal atau kawan sekelas aja, tak suka bergabung dengan orang baru.

Namun, Lisa hanya teman sekolah dan mengaji, jadi hanya berjumpa waktu belajar. Jauhnya jarak yang memisahkan membuatku jarang sekali main kerumahnya, hingga membuatku dan dia jarang bertemu diluar jam sekolah. Ditambah tak pandainya aku naik motor dan jalan yang naik-turun bagai perbukitan, jadi susah ditempuh dengan sepeda kecil yang kumiliki. Malah capek mendorong sepeda ditanjakan akhirnya.

Dirumah aku punya teman main yang lebih dewasa. Karna aku nggk punya teman seumuran didaerah. Kalo nggk lebih kecil ya lebih dewasa.

Mbk Ulfa, mbk Nur dan mbk Rahma adalah kawan sekolah kakak laki-lakiku. Tiga sekawan yang aku ikut bergabung didalamnya menjadi anak kecil sendiri. Lebih lebih sama mbk Ulfa kemana-mana aku ikut, dari kemushola bareng, kewarung bareng mandi di sumur juga bareng.

Maklum, listrik belum masuk ke kampung kami. Hanya ada penerangan lampu dari diesel musholla sebagai daya listrik . Itupun hanya sampai jam sebelas malam dan hidup sebelum waktu magrib, setelah itu gelap. Dan selama lampu nyala tidak boleh ada yang menghidupkan alat elektronik lain selain lampu dan televisi. Jadi tak ada kamar mandi dirumah, mandi selalu ke bilik belakang menuruni lereng curam. Hanya itu sumur yang bisa diambil oleh anak-anak seperti kami, karna sumurnya yang tak terlalu dalam. Sebenarnya ada sumur didekat rumah yang lebih sering dipakai untuk air masak ,dan yang mengambil ibu-ibu dan bapak-bapak atau orang dewasa lainnya, karna sangat dalam dan dipasang kerekan katrol dengan dipasang ember yang sedang. Terlalu berat untuk kami anak 12 tahun. Jadi kami lebih memilih jalan menurun kebelakang untuk mengambil air mandi.

Kini setelah sholat isya dimushola kami duduk dibangku halaman musholla yang lumayan luas. Mbk Ulfa,mbk Rahma dan juga mbk Nur melihat bulan purnama diatas sana, dan bintang-bintang yang menyebar memenuhi angkasa.

Indah sekali. Melihatnya menenangkan jiwa.Selalu bahagaia.

Dulu saat aku masih kecil. Jika mulai muncul bulan sabit selalu bahagia. Ramai halaman musholla ini untuk main kejar-kejaran, petak umpet, congklak ,atau sekedar bernyanyi bersama. Kini yang lain sudah tumbuh dewasa. Seperti mbak-mbak ini, sudah mau lulus sekolah menengah pertama, sedangkan aku akan lulus sekolah dasar. Mereka sudah tak mau lagi main kejar-kejaran , lebih memilih main gitar dan bernyanyi dengan para bujang yang lain. Aku yang kecil sendiri selalu tersisihkan tak dianggap. Hanya sebagai obat nyamuk.

Tapi entah kenapa aku tak pernah protes atau mengeluh. Apalagi jika mbk Ulfa yang memang selalu dekat denganku meminta ditemani untuk bertemu dengan cowak A, cowak B, ataupun cowok C, aku tak pernah menolak. Aku tak paham mana yang diseriusin. Ah itu terlalu sulit kupahami. Akupun tak paham apa yang mereka bahas jika bertemu, karna mbk Ulfa selalu mencarikan ku komik atau novel jika memintaku menemaninya. Yang membuatku sibuk sendiri. Karna aku bukan tipe orang pandai yang bisa baca novel sambil mencuri dengar pembahasan orang pacaran. Aku kalo sudah membaca,jika ingin paham apa yang aku baca aku harus fokus dan mengabaikan suara apa yang ada disekitar. Jika ingin mendengar suara lain, alur cerita yang ada dibuku jadi tak paham.

Disini karena belum ada PLN, jadi belum banyak orang yang punya televisi, hanya beberapa orang yang punya karna hidup pun hanya malam hari sebelum diesel musholla mati. Begitupun denganku. Kami tak ada televisi dirumah. Setelah isya kami lebih memilih duduk berkelompok diteras musholla atau dihalaman. Ibu-ibu dan bapak-bapak bikin kelompok sendiri didalam musholla. Bercerita tentang ilmu agama atau tentang perkembangan tanaman diladang, atau membahas pupuk dan obat hama untuk tanamannya.

Kami anak-anak lebih memilih bercerita dihalaman. Ada yang hanya duduk bersenda gurau , ada juga yang berlarian dihalaman, ada juga yang main rumah-rumahan dengan membentangkan kain dan dibentuk seperti tenda. Ramai sekali . Bahagia sekali hidup rukun dengan para tetangga sekitar , saling bahu membahu, tolong menolong disemua keadaan, dan saling menasehati jika ada tetangga yang menurutnya melakukan kesalahan.

Meskipun hidup terpencil di pedesaan aku bahagia. Meskipun tanpa listrik dan media elektronik lainnya kami tetap bisa tertawa.

Di waktu sore hari sambil menunggu waktu magrib tiba, para ibu-ibu berkumpul ngerumpi sambil mendengarkan radio usang milik ibunya mbk Ulfa. Mendengarkan ceramah atau sholawat meskipun sambil bicara banyak hal, dari yang penting hingga yang tak penting.

Sedangkan anak-anak terkadang bermain lari-larian. Yang membuat badan bau dan lengket karna keringat, padahal sudah mandi sore.

Namun akhir-akhir ini aku hanya sebagai penonton anak-anak main. Sambil membaca buku komik atau majalah anak-anak. Malas juga jika harus ikut nimbrung pembahasan ibu-ibu, tentang pertumbuhan anak-anak nya, atau harga bahan sembako yang naik semua, atau tanaman diladang nya. Tak paham.

beberapa hari lalu aku sudah mendaftar untuk melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sekolah tempat kakakku dan mbk Ulfa dulu sekolah. Aku kesana mengisi formulir bersama para kakak dan mbk, sedangkan ibu dan ayah tak setuju aku melanjutkan sekolah disitu. Ayah menginginkan aku melanjutkan sekolah di pondok pesantren salaf yang jauh di desa Penarik. Sedangkan aku tak mau. Menolak dengan keras jika sekolah disana sendirian tak ada orang barengan dari desa. Mbk Ulfa dan mbk Rahma aja pernah masuk MTs disana hanya bertahan satu tahun. Kemudian pindah ke MTs negri tempat kakaku sekolah.

"Bukankah di Tirta Makmur ada pesantren baru buka?" Tanya bapak pada ibu saat sedang ngobrol.

Ya Tirta Makmur adalah desa yang tak jauh dari sini. Hanya terpisah oleh satu desa dengan desa Selagan Jaya tempatku berada. Disana ada keluarga budeku, kakak pertama ibuku. Aku tahu disana ada pesantren baru buka dan belum banyak muridnya. Namun setiap hari Ahad mengadakan pengajian untuk para penduduk desa sekitar, termasuk adek ibuku yang masih bujang ikut mengaji disana.

Terpopuler

Comments

bunda syifa

bunda syifa

baca pembuka nya jadi kangen masa kecil Thor, dulu masa kecil q masih seperti itu keadaan d kampung q, klo nonton TV masih d tetangga yg lebih mampu, lampu juga masih pakai aqi besar yg harus d cas karena kebetulan rumah q tempat ngaji jadi ada aqi buat penerangan anak" ngaji, dn memang paling bahagia klo udah bulan purnama karena habis ngaji bisa main sepuasnya dengan d terangi bulan

2023-07-13

0

😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎

😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎

50

2021-09-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!