Kami bertiga memutuskan untuk kembali lagi kepondok. Tak jadi jalan-jalan menikmati udara pagi. Kami kembali dengan diam menormalkan detak jantung masing-masing, serta menenangkan diri.
Saat sampai. Rumah kepala sekolah yang kemaren roboh separo, kini sudah hancur rata dengan tanah. Dan beberapa wali santri sudah ada yang datang untuk menjemput putra putrinya.
"Pulang ,Nis?" Tanyaku pada salah satu kawan sekelas yang sudah dijemput oleh bapaknya.
"Iya. Udah dijemput. Kamu nggk pulang?" Jawabnya sambil bersiap-siap memasukkan sebagian bajunya.
"Belum telpon rumah aku. Tapi, emang libur ya?" Sebelum mengabari untuk dijemput , bukankah harus memastikan positifnya libur atau tidak? Daripada bolak balik antar jemput kan.
"Libur. Masuk lagi setelah lebaran." Katanya mengabari.
"Yakin? kok kamu tau? Siapa yang bilang?" Tanyaku antusias sekaligus tidak percaya, Mencari keyakinan.
"Kamu mah nggk percayaan. Tadi bapakku sudah tanya sama pak Kiyai." Jawabnya cemberut, tak suka kata-katanya tidak aku percayai. Dia sudah selesai beberes kemudian menggendong tas ranselnya.
"Aku pamit dulu. Kalo nggk percaya tanya sendiri sana." Pamitnya dengan mengulurkan tangan bersalaman, dan memelukku sebagai ucapan perpisahan sementara.
"Masa aku ditinggal." Cebikku. Tanpa diminta rasanya mataku memanas ingin menangis. Ku edarkan pandangan melihat orang-orang yang mulai sibuk berkemas.
" Mbk telpon yok. Minta dijemput. Yang lain udah pada pulang tu." Rengekku pada mbk Rahma dan mbk Ulfa yang masih duduk santai didepan asrama.
"Telpon lah. Signalnya Lo susah banget, dari tadi pada telpon nggk nyambung. " Jawab mbk Ulfa menjawab ketus. Mungkin dia sedih dan melas juga melihat yang lain sudah pada pulang.
"Iya. Sambungannya ada gangguan, mungkin ada yang rusak karna gempa." Ustdzah yang duduk dikursi tak jauh dariku ikut menimpali.
"Siap-siap aja dulu. Nanti jemputan datang kan tinggal pulang." Jawab mbk Rahma santai, masih duduk melantai diteras asrama. Tak berniat untuk beranjak untuk bersiap-siap, yang membuatku tambah sebal dan keki pada mbk-mbk ini. "Cuma mau pulang aja susah banget." Gerutuku dalam hati, dan masuk keasrama dengan menghentakkan kaki kasar karna sebal, meninggalkan mbk Rahma dan mbk Ulfa yang masih asik bercerita dengan para Ustdzah yang masih tinggal.
Aku masuk keasrama dan membuka lemari minimalis yang ku punya. Mengeluarkan tas ransel untuk tempat baju dan beberapa buku yang perlu dibawa pulang, dengan dada sesak siap menangis, mata yang membasah siap menumpahkan airnya.
Ku lipat kedua kakiku,dan kusembunyikan wajahku yang mulai berlinang air mata diantara lututku. Kupeluk kedua kakiku sendiri untuk menyamarkan getaran badanku karna menahan Isak tangis.
"Sil siap-siap, aku tadi sudah pesan sama oomnya Lisa untuk jemput." Suara mbk Nur memerintah. Ku lirik dari ekor mataku, dia baru selesai mandi. Aku tak berani mengangkat kepala, takut ketahuan lagi menangis. Tapi paling tidak kabar dari mbk Nur membuatku jadi lebih lega, dada yang dari tadi sesak sudah kembali plong dan normal. Ku hapus air mata dan mulai memilih barang yang akan dibawa.
"Lisa sudah pulang?" Tanyaku meyakinkan. Pantas saja dari tadi aku tak melihatnya, ternyata dia sudah pulang duluan? Tapi kapan? Aku nggk lihat oom nya dia jemput. Tapi terserahlah kapan dia pulang, yang penting tak lama lagi jemputan ku juga akan datang.
"Iya. Tapi katanya kakakmu belum pulang. Disana banyak orang mengungsi katanya. Jadi tempat pengungsian. Yang penting kan keluarga kita aman nggk ada yang cidera, semua sehat dan selamat." Jelasnya, menyampaikan kabar yang dibawa oleh saudara Lisa yang menjemput.
"Trus jemputan kita datangnya kapan?" Tanyaku tak yakin kalo hari ini akan dijemput. Sedangkan mbk Nur malah asik berdandan kemudian keluar dan bergabung dengan Ustdzah yang duduk dibawah pohon, mengabaikan pertanyaanku. Tikar dan kasur yang semalam digelar didepan rumah pak Kiyai, kini sudah pindah dibawah pohon yang teduh. Karna matahari sudah mulai meninggi.
Ku banting tas yang akan ku isi baju. Ingin marah tapi pada siapa? hanya bisa menangis sebagai pelampiasan. Disini semua orang sibuk dengan dirinya sendiri, toh sebenarnya bukan masalah besar karna belum dijemput pulang. Toh bukan cuma aku yang bernasib begini. Tapi entahlah, rasanya pengin memaki. Marah.
Ku ikut keluar bergabung dengan yang lain. Memilih berbaring dan memeluk guling yang dari semalam masih diluar. Daripada sendirian nanti akhirnya nangis lagi, nangis lagi. Kan lagi puasa, katanya kalo menangis mengurangi pahala puasa.hehe.
Waktu terus berlalu. Hari semakin sore. Aku semakin bosan dalam penantian,tapi sampai sore tak juga kunjung datang. Tinggal tujuh santri yang tinggal beserta Ustdzah. Dari tadi aku hanya diam ,malas ikut bergabung bercerita. Hanya diam menyimpan dongkol.
Banyak sekali orang hilir mudik melintasi jalanan, menjadi lebih ramai dari biasanya. Mungkin banyak orang yang rumahnya dekat pantai mau mengungsi ketempat yang lebih tinggi. Aku selalu memperhatikan semua kendaraan yang lewat, berharap salah satu orang yang lewat adalah keluarga atau bapak yang datang menjemput.
"Mbk. Mana jemputan kita?" Tanyaku pada mbk Nur yang tadi bilang sudah mengabari untuk menjemput.
"Mboh lah,sil." Jawabnya sebal. Bosan dari tadi siang sudah berkali-kali aku menanyakan pertanyaan yang sama.
"Disini dulu nemenin Ustdzah. Dirumah mau ngapain sih? Disini malah banyak kawan." Hibur Ustdzah yang sudah duduk berkumpul di bawah pohon rambutan menunggu waktu berbuka puasa. Setiap orang sudah mendapat gelas es dan kue untuk berbuka.
Mau tak mau aku harus bersedia menunggu besok. Karna hari sudah mulai gelap, sedangkan jalan yang akan ku tempuh untuk pulang melewati hutan dan kebun karet yang rimbun, gelap tanpa penerangan. Karna listrik belum masuk desa, baru ada rencana dan tiang-tiang listrik yang sudah didirikan, serta meteran yang mulai dipasang per rumah. Tapi belum bisa menyala.
"Tapi pengen pulang tau. Yang lain sudah pada pulang semua." Gerutuku pelan. Tahun pertama sekolah dipesantren harus merasakan gempa.
"Nggk semua. Ini masih banyak kawannya." Tunjuk Ustdzah beberapa santriwati yang masih bergabung menunggu Adzan.
Akhirnya Adzan magrib menghentikan semua obrolan. Asyik menikmati menu berbuka yang tak istimewa, ada juga yang berdoa. Bukankah salah satu waktu mustajab berdoa adalah setelah berbuka? Jadi gunakan dengan baik.
Malam ini aku kembali tidur diluar asrama. Namun tak lagi beratapkan bintang didepan rumah pak Kiyai, atau dipinggir jalan. Kini kasur masih ditempat yang sama dari siang tadi. Dibawah pohon rambutan yang rindang, sebagai tempat tidur kami malam hari. Dengan orang yang jumlahnya lebih sedikit. Pak Kiyai dan pak kepala sekolah juga ikutan tidur disini, menggelar tikar dekat anak dan istrinya masing-masing.
"Rasanya badanku sakit semua ex. Kenapa ya?" Keluhku saat bangun tidur. Rasanya badan capek semua, padahal dari kemaren cuma tiduran aja tanpa kerjaan.
"Karna kita tidur malam dibawah pohon." Jawab orang yang tidur disebelahku. Dia kawan sekelasnya mbk Rahma.
"Kenapa emang kalo kita tidur dibawah pohon?" Tanyaku tak paham alasannya.
"Daunkan kalo siang mengeluarkan oksigen dan menyerap karbondioksida, sedangkan kalo malam sebaliknya. Mengeluarkan karbondioksida dan menyerap oksigen. Sedangkan kita bernapas menghirup oksigen, jadi rebutan oksigen deh. Makanya badan rasanya nggk enak." Jalasnya tentang apa yang dia pahami. Perasaan aku pernah mendengar hal itu disekolah. Tapi tak terlalu paham.
"Begitulah? Pantas badan rasanya gimana gitu." Kami bangkit untuk melaksanakan sahur bersama.
"Iya. Kalo siang kita tiduran dibawah pohon enak, dingin. Kalo malam nggk baik sebenarnya tidur dibawah pohon." Lanjut Ukhti tadi sambil berjalan kedapur mengambil makan sahur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎
9 😃
2021-09-14
0