Bab 2

Setelah kepulangan para orangtua, kami duduk kembali didalam ruangan yang nantinya akan menjadi kamar kami. Mendengarkan perkenalan orang baru yang datang, dan juga memperkenalkan diri pada yang lain yang baru ditemui.

Muridnya belum banyak. Ternyata rombongan kami angkatan kedua yang masuk Al-iman. Yang pertama ada empat santriwati yaitu ukhti Hanie, ukhti Yanti dan ukhti Dela. Yang satu lagi anak lua ,tapi dia jarang sekali mampir ke asrama, selalu pulang pergi.Kalo ukhti Dela dan ukhti Yanti rumahnya juga tak jauh dari area pondok, jadi sering pulang pergi bahkan saat ini katanya ukhti Dela lagi pulang kerumah. Tapi kalo malam sering menginap di pondok untuk belajar dan mengaji bersama.

"Sekarang siap-siap yuk. Bentar lagi adzan asar wudhu nya gantian dikamar mandi." Seru ukh Yanti riang dengan suara cempreng nya. "Kalo mau wudhu dimasjid boleh, ada kamar mandinya." Lanjutnya memberi tahu.

"Dimana masjidnya ukh?" Tanya mbk Ulfa. Karna ku lihat disekitar tak ada masjid.

"Disana dekat asrama putra." Jawabnya masih dengan riang. Kayaknya tak punya masalah atau beban. Lagian apa sih beban bagi anak-anak seperti kami? Aku dan yang lainnya hanya bengong, bingung tak paham arah dan tak tahu tempat asrama putra.

"Disitu Lo."Sambil menunjuk arah jalan." Setelah jalan ada sekolahan TK, dan ada beberapa pohon sawit, setelah itu sampai deh." Lanjutnya menjelaskan. Aku menganggukkan kepala aja, nanti kalo kesana juga tahu sendiri kan?.

Aku putuskan untuk ambil wudhu dikamar mandi belakang. Kamar mandi nya tidak menyatu dengan kamar kami, malahan letaknya dibelakang gedung tempat kami mendaftar tadi. Kamar mandi bisa dibilang kecil, dengan gentong tinggi penampung air berwarna biru. Susah untuk dijangkau oleh kami yang masih kecil, bahkan tingginya aja hampir sama dengan tinggi kami.Beberapa anak memilih menaiki kursi plastik agar bisa mengambil air didalamnya yang hanya terisi setengah. Beberapa anak juga ada yang mandi.

Di ujung kamar mandi ada kloset yang tertutup, sedangkan tempat mandi disini tertutup dinding keliling, mandi bersama dengan menggunakan kain basahan khusus untuk mandi , menutup aurat sesama wanita. Kalian paham bukan? sesama wanita juga ada batasan aurat yang harus tertutup. Jika ditempat umum atau ada lain jenis, aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.

"Ini gimana ambilnya coba?" keluhku protes saat melihat orang antri bahkan berebut mengambil air untuk wudhu.

"Wudhu di masjid aja yuk, kalo disana ada kran dan kamar mandi perempuan." Ajak Lisa yang dia sudah pernah kesini sebelumnya bersama orangtuanya.

"Ya udah ayok, disini susah ambil airnya."Setujuku dan mbak-mbak yang lain.

Kami mengambil mukenah dan berjalan mengikuti instruksi ukhti Yanti tadi, untuk menuju kemasjid dekat asrama putra melewati jalan , TK dan beberapa batang pohon sawit.

Kami sampai saat suara adzan berkumandang.Masjid yang lumayan besar,dengan pembangunan yang belum selesai namun sudah dipakai. Dari luar masih nampak dinding berbata merah belum diplester, dengan teras hanya tiangnya yang sudah berdiri, dan didepan masjid ada tempat wudhu khusus pria dan sebelah kiri untuk wanita. Disisi kiri masjid ada bangunan semi permanen yang memanjang dengan tiga pintu, berarti ada tiga ruang.

"Inikah asrama putra? lebih baguslah dari punya kita." Celetukku membandingkan.

"Iya masjidnya disini lagi." Imbuh mbk Rahma mengomentari. Kami berjalan kekamar mandi untuk wudhu.

"Kamar mandinya juga bagus." Kami masuk kamar mandi putra langsung disuguhkan kran wudhu berderet khas masjid, dengan diujung tempat kloset dan bak air berwarna merah terlihat karna pintu yang tidak tertutup.

"Iya. Gimana nanti kita mandi?" Keluhku.

"Dibelakang dekat sawah ada sumur, kadang kalo mati lampu kami mandi disana." Sahut suara ukhti Yanti yang baru datang.

"Belakang mana?" Tanyaku bingung.

Sepemahaman aku asrama kami menghadap ke jalan. Disamping kanan rumah tempat kami daftar yang menurut penjelasan ukhti Hanie rumah kepala sekolah sekaligus koordinator. Sedangkan sebelah kiri rumah pimpinan dan dapur pondok.Dibelakang asrama ruang kosong dengan tumpukan kayu, dan belakangnya lagi ada rumah warga dan balai desa.

"Disana belakang warung, nanti aku tunjukkan." Ucapnya dengan ceria, senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya.

"Oke deh." Jawab kami serempak. Kami dari rumah sudah biasa mandi di sumur dekat sawah yang hanya bertutup terpal.

"Ya udah cepetan keburu iqomah nanti masih ngaji juga .Setelah ngaji baru kita mandi disana." Ucap ukh Yanti mengingatkan.

Kami cepat berwudhu dan masuk kedalam masjid yang super ramai. Masjid dipenuhi anak-anak mengaji yang masih kecil-kecil, banyak yang masih sepuluh tahun kebawah bahkan mungkin masih TK, hanya beberapa yang nampak sudah remaja. Nampaknya setelah asar banyak anak-anak penduduk desa yang ikut mengaji disini.

Didalam masjid sudah bagus, dinding yang sudah bercat putih dan berlantai keramik,dengan beberapa kipas angin terpasang di langit-langit masjid. Dan tiang-tiang penyangga yang besar. Disini sudah ada listrik PLN, meskipun hidupnya masih bergilir sehari hidup dan sehari mati, namun al-iman punya diesel sendiri untuk mengantisipasi jika mati lampu.

Usai sholat kami langsung mengikuti kegiatan harian yang ada, yaitu mengaji bersama setelah sholat. Aku masih bingung melihat orang-orang yang langsung memutar membentuk kelompok masing-masing, sedangkan aku tak tahu mau gabung dikelompok yang mana, begitupun dengan Lisa yang masih duduk bingung memegang mushaf disampingku.

"Murid baru MTs mengaji disini." Seru seorang ustadz yang mendaftar kami tadi siang.

Aku langsung bergabung,duduk melingkar begitupun dengan Lisa. Ada tujuh anak perempuan seumuran kami yang ikut bergabung. Ku lihat sekeliling. Kenapa hanya kami perempuan yang ngaji dengan ustadz? Yang lain sama ustdzah semua. Sedangkan yang laki-laki dibagian depan terpisah oleh satir panjang yang membentang.

"Udah pada kenal belum?" Tanya ustazd yang belum aku ketahui namanya. Kami hanya menggeleng pelan tanda belum kenal semua. Belum juga setengah hari bersama.

"Udah ustadz." Jawab seorang gadis cantik dengan kulit putih bersih tanpa malu-malu. Beberapa kali aku lihat dia, tapi belum sempat ngobrol bareng sih.

"Aku nggk nanya kamu. Nanya yang baru-baru ini." Seakan mereka sudah akrab sekali, memang siapa anak ini? Dia bukan anak barukah?

"Ngaji dulu ustadz nanti kenalannya, biar lebih leluasa tanya-tanya nya." Usul anak tadi yang disetujui oleh ustadz .

Kami mulai bergilir mengaji Alquran. Yang belum dapat giliran menyimak. Hanya membaca setengah halaman per orang, maklum lah banyak sekali tanda baca dan makhroj yang belum benar, apalagi tanda baca yang masih berantakan. Hanya anak yang banyak bersuara tadi yang bacaannya sudah bagus dan panjang pendek nya pun sudah benar.

Setelah selesai mendapat giliran mengaji semua barulah mulai perkenalan, tak banyak yang perlu diperkenalkan hanya nama yang penting. Paling tidak kita saling tahu harus memanggil apa bukan? Apalagi yang aku tahu kelompok mengaji adalah beranggotakan kawan sekelas .

Terpopuler

Comments

😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎

😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎

24

2021-09-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!