Aku bernama Silfia, berusia 12 tahun. Terlahir dari keluarga sederhana ,ayah yang hanya petani dan bekerja bangunan, anak tengah dari tiga bersaudara. Tinggal ditempat yang sederhana, desa terpencil diprofinsi Bengkulu,berbatasan dengan Sumatra barat, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Kata orang aku anak pendiam tak pernah membantah perintah orangtua dan memang tak suka dibentak. Rada susah mencari teman,suka membaca buku apapun, dan susah fokus pada suatu hal. Namun aku punya teman yang cukup akrab dari kelas satu SD, namanya Lisa.
Lisa anak periang mudah bergaul dan yang paling penting dia cantik. Banyak sekali murid lain yang dekat dengannya. Tidak kayak aku yang hanya bergabung dengan orang-orang yang sudah dikenal atau kawan sekelas aja, tak suka bergabung dengan orang baru.
Namun, Lisa hanya teman sekolah dan mengaji, jadi hanya berjumpa waktu belajar. Jauhnya jarak yang memisahkan membuatku jarang sekali main kerumahnya, hingga membuatku dan dia jarang bertemu diluar jam sekolah. Ditambah tak pandainya aku naik motor dan jalan yang naik-turun bagai perbukitan, jadi susah ditempuh dengan sepeda kecil yang kumiliki. Malah capek mendorong sepeda ditanjakan akhirnya.
Dirumah aku punya teman main yang lebih dewasa. Karna aku nggk punya teman seumuran didaerah. Kalo nggk lebih kecil ya lebih dewasa.
Mbk Ulfa, mbk Nur dan mbk Rahma adalah kawan sekolah kakak laki-lakiku. Tiga sekawan yang aku ikut bergabung didalamnya menjadi anak kecil sendiri. Lebih lebih sama mbk Ulfa kemana-mana aku ikut, dari kemushola bareng, kewarung bareng mandi di sumur juga bareng.
Maklum, listrik belum masuk ke kampung kami. Hanya ada penerangan lampu dari diesel musholla sebagai daya listrik . Itupun hanya sampai jam sebelas malam dan hidup sebelum waktu magrib, setelah itu gelap. Dan selama lampu nyala tidak boleh ada yang menghidupkan alat elektronik lain selain lampu dan televisi. Jadi tak ada kamar mandi dirumah, mandi selalu ke bilik belakang menuruni lereng curam. Hanya itu sumur yang bisa diambil oleh anak-anak seperti kami, karna sumurnya yang tak terlalu dalam. Sebenarnya ada sumur didekat rumah yang lebih sering dipakai untuk air masak ,dan yang mengambil ibu-ibu dan bapak-bapak atau orang dewasa lainnya, karna sangat dalam dan dipasang kerekan katrol dengan dipasang ember yang sedang. Terlalu berat untuk kami anak 12 tahun. Jadi kami lebih memilih jalan menurun kebelakang untuk mengambil air mandi.
Kini setelah sholat isya dimushola kami duduk dibangku halaman musholla yang lumayan luas. Mbk Ulfa,mbk Rahma dan juga mbk Nur melihat bulan purnama diatas sana, dan bintang-bintang yang menyebar memenuhi angkasa.
Indah sekali. Melihatnya menenangkan jiwa.Selalu bahagaia.
Dulu saat aku masih kecil. Jika mulai muncul bulan sabit selalu bahagia. Ramai halaman musholla ini untuk main kejar-kejaran, petak umpet, congklak ,atau sekedar bernyanyi bersama. Kini yang lain sudah tumbuh dewasa. Seperti mbak-mbak ini, sudah mau lulus sekolah menengah pertama, sedangkan aku akan lulus sekolah dasar. Mereka sudah tak mau lagi main kejar-kejaran , lebih memilih main gitar dan bernyanyi dengan para bujang yang lain. Aku yang kecil sendiri selalu tersisihkan tak dianggap. Hanya sebagai obat nyamuk.
Tapi entah kenapa aku tak pernah protes atau mengeluh. Apalagi jika mbk Ulfa yang memang selalu dekat denganku meminta ditemani untuk bertemu dengan cowak A, cowak B, ataupun cowok C, aku tak pernah menolak. Aku tak paham mana yang diseriusin. Ah itu terlalu sulit kupahami. Akupun tak paham apa yang mereka bahas jika bertemu, karna mbk Ulfa selalu mencarikan ku komik atau novel jika memintaku menemaninya. Yang membuatku sibuk sendiri. Karna aku bukan tipe orang pandai yang bisa baca novel sambil mencuri dengar pembahasan orang pacaran. Aku kalo sudah membaca,jika ingin paham apa yang aku baca aku harus fokus dan mengabaikan suara apa yang ada disekitar. Jika ingin mendengar suara lain, alur cerita yang ada dibuku jadi tak paham.
Disini karena belum ada PLN, jadi belum banyak orang yang punya televisi, hanya beberapa orang yang punya karna hidup pun hanya malam hari sebelum diesel musholla mati. Begitupun denganku. Kami tak ada televisi dirumah. Setelah isya kami lebih memilih duduk berkelompok diteras musholla atau dihalaman. Ibu-ibu dan bapak-bapak bikin kelompok sendiri didalam musholla. Bercerita tentang ilmu agama atau tentang perkembangan tanaman diladang, atau membahas pupuk dan obat hama untuk tanamannya.
Kami anak-anak lebih memilih bercerita dihalaman. Ada yang hanya duduk bersenda gurau , ada juga yang berlarian dihalaman, ada juga yang main rumah-rumahan dengan membentangkan kain dan dibentuk seperti tenda. Ramai sekali . Bahagia sekali hidup rukun dengan para tetangga sekitar , saling bahu membahu, tolong menolong disemua keadaan, dan saling menasehati jika ada tetangga yang menurutnya melakukan kesalahan.
Meskipun hidup terpencil di pedesaan aku bahagia. Meskipun tanpa listrik dan media elektronik lainnya kami tetap bisa tertawa.
Di waktu sore hari sambil menunggu waktu magrib tiba, para ibu-ibu berkumpul ngerumpi sambil mendengarkan radio usang milik ibunya mbk Ulfa. Mendengarkan ceramah atau sholawat meskipun sambil bicara banyak hal, dari yang penting hingga yang tak penting.
Sedangkan anak-anak terkadang bermain lari-larian. Yang membuat badan bau dan lengket karna keringat, padahal sudah mandi sore.
Namun akhir-akhir ini aku hanya sebagai penonton anak-anak main. Sambil membaca buku komik atau majalah anak-anak. Malas juga jika harus ikut nimbrung pembahasan ibu-ibu, tentang pertumbuhan anak-anak nya, atau harga bahan sembako yang naik semua, atau tanaman diladang nya. Tak paham.
beberapa hari lalu aku sudah mendaftar untuk melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sekolah tempat kakakku dan mbk Ulfa dulu sekolah. Aku kesana mengisi formulir bersama para kakak dan mbk, sedangkan ibu dan ayah tak setuju aku melanjutkan sekolah disitu. Ayah menginginkan aku melanjutkan sekolah di pondok pesantren salaf yang jauh di desa Penarik. Sedangkan aku tak mau. Menolak dengan keras jika sekolah disana sendirian tak ada orang barengan dari desa. Mbk Ulfa dan mbk Rahma aja pernah masuk MTs disana hanya bertahan satu tahun. Kemudian pindah ke MTs negri tempat kakaku sekolah.
"Bukankah di Tirta Makmur ada pesantren baru buka?" Tanya bapak pada ibu saat sedang ngobrol.
Ya Tirta Makmur adalah desa yang tak jauh dari sini. Hanya terpisah oleh satu desa dengan desa Selagan Jaya tempatku berada. Disana ada keluarga budeku, kakak pertama ibuku. Aku tahu disana ada pesantren baru buka dan belum banyak muridnya. Namun setiap hari Ahad mengadakan pengajian untuk para penduduk desa sekitar, termasuk adek ibuku yang masih bujang ikut mengaji disana.
Hari ini hari terakhir libur. Libur kelulusan tetaplah libur paling panjang. Aku mengisinya dengan kegiatan seperti biasa, membantu ibu dikebun atau mengembala kambing dan sapi dipadang rumput bersama teman-teman. Sesekali sambil menerbangkan layang-layang, atau sambil memancing ikan jika sedang mengembala dekat sungai Selagan. Tak ada yang sepesial. Tak ada acara jalan-jalan atau piknik ke tempat pariwisata. Itulah liburanku.
Hari ini ibu dan bapak mengantarku untuk daftar sekolah di pesantren modern Al-iman, yang ada di desa Tirta Makmur seperri yang pernah bapak bicarakan. Hari libur telah usai. Waktunya kembali belajar.
"Mau sekolah di pesantren atau tak usah sekolah. Mengembala kambing dan sapi aja." Begitulah gertakan bapak untuk memaksaku sekolah di pesantren, mendalami ilmu agama Islam. Jadi tak ada pilihan lain selain menurut. Sedangkan kakak lebih milih tak sekolah dari pada sekolah di pesantren. Memilih belajar ilmu lokomotif di bengkel mobil dikabupaten.Tak ada yang memaksa pilihan.
Tapi aku masih beruntung tidak masuk pesantren sendirian. Mbk Ulfa, mbk Nur dan mbk Rahma juga ikut mondok, bahkan Lisa pun ikut masuk juga. Bahkan orang tua Lisa lah yang pertama memprovokasi orang tua kami untuk ikut menyekolahkan anak-anaknya di pondok yang baru berdiri itu.
Satu jam perjalanan kami sudah sampai ditujuan. Sebenarnya tak jauh, seandainya jalan mulus beraspal mungkin tiga puluh menit sampai. Tapi jalanan yang kami lewati hanya jalanan koral tak beraturan dan aspal rusak banyak lubang. Bahkan lebih banyak lubangnya dari pada aspalnya. Hingga membuat perjalanan kami yang hanya menggunakan sepeda motor memakan waktu lebih lama.
Saat aku turun dari motor aku melihat kesekitar.
"Mana pesantrennya?" Tanyaku mengedarkan pandangan. Aku tak menemukan bangunan khas pesantren, asrama atau yang lainnya.
"Ya ini pesantren nya. Namanya masih awal merintis, belum banyak gedung asrama atau sekolahan." Jelas mamak nya Lisa yang memang pernah kemari. Kalo orangtua ku mah baru pertama kali kesini. Ngikut aja.
Sebenarnya didaerah sini ada kakaknya ibu. Tapi beda jalur meskipun masih satu desa. Nggk jauh, Kalo ditempuh pake motor mungkin cuma lima menit. Tapi kalo jalan kaki dua puluh menitan lah. Capek juga.
"Assalamualaikum. Disini pak tempat daftarnya silahkan isi formulir .Lengkapi persyaratan dan bayar pendaftaran." Sapa seorang laki-laki keluar dari ruangan dengan postur tubuh yang besar, berkulit coklat gelap dan masih muda pastinya. Tau aja kalo kami mau daftar sekolah. Padahal belum mengutarakan tujuan.
Akhirnya kami masuk keruangan yang tak terlalu besar. Malah terkesan kecil sekali dengan rak buku tinggi dan penuh dengan aneka buku. Ruangan tanpa kursi atau meja. Hanya ada karpet permadani bermotif bunga warna merah.
Ku perhatikan rumah tembok dengan cat yang beberapa tempat sudah mengelupas, sudah banyak retakan halus memanjang di dinding. Inikah kantornya? Tapi kurasa ini tempat tinggal. Ditandai ruangan-ruangan nya tertutup horden rapat,dan ada suara bayi menangis di ruangan sebelah.
"Apa persyaratan nya pak?" Tanya bapak saat sudah masuk ruangan dan dipersilahkan duduk.
"Persyaratan sudah ada disini. Sama seperti sekolah yang lain." Menyodorkan map berwarna kuning yang isinya persyaratan untuk daftar di pesantren ini.
"Mana aja calon santrinya?" Tanya ustazd yang menyambut kami tadi."Silahkan diisi dulu formulir pendaftaran nya." Memberikan kertas formulir pada kami berlima.
Setelah mengumpulkan formulir kami dipersilahkan masuk ke rumah yang sebelahnya. Rumah yang lebih kecil dengan beberapa tanaman bunga didepannya. Rumah berdinding papan berlantai tegel kotak-kotak dan beratap seng yang lebih rendah daripada rumah pada umumnya, menandakan pasti akan panas jika siang hari.
"Assalamualaikum."Salamku saat memasuki rumah tadi.
"Waalaikum salam. Selamat datang di asrama kita. Murid baru juga kah?" Sambut seorang anak berjilbab dengan riang.
"Iya kita murid baru. Ini asramanya?" Tanya Lisa memperhatikan sekeliling.
Aku bukan terlahir dari keluarga kaya, keadaan rumah seperti ini sudah biasa tak jauh beda dengan rumahku. Hanya saja rumahku terbilang luas karna hanya ditempati lima orang. Sedangkan disini ruangan kurang lebih 5x6 ditempati semua orang santri. Meskipun aku tak tahu berapa jumlah semuanya. Sedangkan disebelah kanan ada tambahan ruangan yang khusus untuk ustadzah gadis, nampak dari tulisan dipintunya.
"Iya beginilah asramanya. Perkenalkan namaku Yanti. Supriyanti kelas dua MTs." Masih dengan riang.
"Eh ada teman baru lagi. Yuk masuk sini kenalan ma teman-teman, banyak juga ni yang baru. Kalo ukhti namanya Magfira Nurul Hanie, panggil saja ukhti Hanie kelas 3 ex." Sapa gadis berjilbab memperkenalkan diri, dengan badan paling tinggi dari yang lain. Kalian tahu apa itu kelas ex? aku pun bingung pertama kali mendengarnya.
"Kenalan dulu satu-persatu. Jangan malu-malu." Lanjutnya mempersilahkan kami perkenalan dengan kawan seasrama.
" Aku Silfia dari Selagan Jaya." Aku bersuara memperkenalkan diri.
"MTs atau MA?" Tanya salah satu dari mereka.
"MTs." Jawabku, kemudian dilanjutkan Lisa, mbk Ulfa mbk Nur dan mbk Rahma. Hanya perkenalan nama dan asal, tanya-tanya yang lain sambil cerita nanti kalo sudah hidup seasrama atau Sekamar lah.
"kelas ex itu apa?" Tanyaku penasaran. Baru kali ini ada kelas ex.
"Ex itu Experiment. Jadi kalo masuk ke pesantren ini setelah lulus MTs atau sekolah di pesantren hanya MA saja. Kita membutuhkan waktu 4 tahun, yang satu tahunnya khusus mempelajari ilmu agama yang dipelajari di MTs. Jadi satu tahun sebelum masuk kelas 1MA belajar dulu materi kelas 1-3 MTs harus selesai selama setahun. Setelah satu tahun belajar pelajaran MTs baru naik kelas 3 ex atau biar mudah sebut aja 1 MA" Jelas ukhti Hanie.
" Berarti kayak kami ini sekolah MA selama 4 tahun?" Tanya mbk Ulfa.
"Iya ,benar sekali."
"Disini pake peralatan sendiri ya ,ukh?" Tanyaku saat ada yang memasang lemari berbahan plastik dan tumpukan kasur diujung ruangan yang macam-macam bentuknya.
"Iya. Tapi kalo belum bawa kasur nanti pake ini bareng-bareng. Kalo belum bawa lemari biar ditas dulu juga gpp peralatannya." Jelasnya sambil menunjuk tumpukan kasur yang lumayan banyak.
Sungguh aku tak tahu kalo bawa peralatan sendiri.Kami tak bawa kasur ataupun lemari pakaian mini, atau peralatan makan dan minum. Aku hanya membawa pakaian dan peralatan mandi serta peralatan tulis.
Setelah perkenalan dan bercerita serta tanya-tanya banyak hal kami keluar lagi. Menemui bapak dan ibu yang telah selesai keliling area dan melihat-lihat sekitar.
"Ya udah yang betah disini, belajar yang benar." Nasehat bapak sebelum pulang meninggalkan kami disini untuk menuntut ilmu.
"Tapi pak, kami nggk bawa kasur dan lemari yang lain bawa semua." Keluhku .
"Ya nanti nyusul. Biar diantar sama mas mu."
"Ya udah kami pulang dulu, betah-betahin disini." Pamit bapak dan ibu memelukku. Aku bahagia sih, karna sejak aku masuk kelas 3 SD ,sejak aku mulai punya adek aku sudah jarang sekali dipeluk. Sudah mulai besar, malu jika dipeluk.
Namun lebih banyak sedihnya. Baru kini aku pisah sama orangtua meskipun tak jauh. Tapi disini aku harus belajar mandiri, meskipun ada tukang masak yang menyiapkan menu makan sehari-hari, tapi soal nyuci baju, dan merawatnya agar tak tercecer, itu semua baru untukku. Dulu aku lebih memilih mengembala kambing daripada nyuci baju atau cuci piring.
Tak terasa air mata jatuh melepas kepulangan ibu dan bapak. Tapi lebih keras tangisan seorang anak kecil yang ditinggal pulang ibunya disebrang sana. Mungkin dia akan sekolah MTs juga seperti aku. Tadi sempat kenalan tapi aku belum hapal semua nama orang yang tadi kenalan.hehehe.
Setelah kepulangan para orangtua, kami duduk kembali didalam ruangan yang nantinya akan menjadi kamar kami. Mendengarkan perkenalan orang baru yang datang, dan juga memperkenalkan diri pada yang lain yang baru ditemui.
Muridnya belum banyak. Ternyata rombongan kami angkatan kedua yang masuk Al-iman. Yang pertama ada empat santriwati yaitu ukhti Hanie, ukhti Yanti dan ukhti Dela. Yang satu lagi anak lua ,tapi dia jarang sekali mampir ke asrama, selalu pulang pergi.Kalo ukhti Dela dan ukhti Yanti rumahnya juga tak jauh dari area pondok, jadi sering pulang pergi bahkan saat ini katanya ukhti Dela lagi pulang kerumah. Tapi kalo malam sering menginap di pondok untuk belajar dan mengaji bersama.
"Sekarang siap-siap yuk. Bentar lagi adzan asar wudhu nya gantian dikamar mandi." Seru ukh Yanti riang dengan suara cempreng nya. "Kalo mau wudhu dimasjid boleh, ada kamar mandinya." Lanjutnya memberi tahu.
"Dimana masjidnya ukh?" Tanya mbk Ulfa. Karna ku lihat disekitar tak ada masjid.
"Disana dekat asrama putra." Jawabnya masih dengan riang. Kayaknya tak punya masalah atau beban. Lagian apa sih beban bagi anak-anak seperti kami? Aku dan yang lainnya hanya bengong, bingung tak paham arah dan tak tahu tempat asrama putra.
"Disitu Lo."Sambil menunjuk arah jalan." Setelah jalan ada sekolahan TK, dan ada beberapa pohon sawit, setelah itu sampai deh." Lanjutnya menjelaskan. Aku menganggukkan kepala aja, nanti kalo kesana juga tahu sendiri kan?.
Aku putuskan untuk ambil wudhu dikamar mandi belakang. Kamar mandi nya tidak menyatu dengan kamar kami, malahan letaknya dibelakang gedung tempat kami mendaftar tadi. Kamar mandi bisa dibilang kecil, dengan gentong tinggi penampung air berwarna biru. Susah untuk dijangkau oleh kami yang masih kecil, bahkan tingginya aja hampir sama dengan tinggi kami.Beberapa anak memilih menaiki kursi plastik agar bisa mengambil air didalamnya yang hanya terisi setengah. Beberapa anak juga ada yang mandi.
Di ujung kamar mandi ada kloset yang tertutup, sedangkan tempat mandi disini tertutup dinding keliling, mandi bersama dengan menggunakan kain basahan khusus untuk mandi , menutup aurat sesama wanita. Kalian paham bukan? sesama wanita juga ada batasan aurat yang harus tertutup. Jika ditempat umum atau ada lain jenis, aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.
"Ini gimana ambilnya coba?" keluhku protes saat melihat orang antri bahkan berebut mengambil air untuk wudhu.
"Wudhu di masjid aja yuk, kalo disana ada kran dan kamar mandi perempuan." Ajak Lisa yang dia sudah pernah kesini sebelumnya bersama orangtuanya.
"Ya udah ayok, disini susah ambil airnya."Setujuku dan mbak-mbak yang lain.
Kami mengambil mukenah dan berjalan mengikuti instruksi ukhti Yanti tadi, untuk menuju kemasjid dekat asrama putra melewati jalan , TK dan beberapa batang pohon sawit.
Kami sampai saat suara adzan berkumandang.Masjid yang lumayan besar,dengan pembangunan yang belum selesai namun sudah dipakai. Dari luar masih nampak dinding berbata merah belum diplester, dengan teras hanya tiangnya yang sudah berdiri, dan didepan masjid ada tempat wudhu khusus pria dan sebelah kiri untuk wanita. Disisi kiri masjid ada bangunan semi permanen yang memanjang dengan tiga pintu, berarti ada tiga ruang.
"Inikah asrama putra? lebih baguslah dari punya kita." Celetukku membandingkan.
"Iya masjidnya disini lagi." Imbuh mbk Rahma mengomentari. Kami berjalan kekamar mandi untuk wudhu.
"Kamar mandinya juga bagus." Kami masuk kamar mandi putra langsung disuguhkan kran wudhu berderet khas masjid, dengan diujung tempat kloset dan bak air berwarna merah terlihat karna pintu yang tidak tertutup.
"Iya. Gimana nanti kita mandi?" Keluhku.
"Dibelakang dekat sawah ada sumur, kadang kalo mati lampu kami mandi disana." Sahut suara ukhti Yanti yang baru datang.
"Belakang mana?" Tanyaku bingung.
Sepemahaman aku asrama kami menghadap ke jalan. Disamping kanan rumah tempat kami daftar yang menurut penjelasan ukhti Hanie rumah kepala sekolah sekaligus koordinator. Sedangkan sebelah kiri rumah pimpinan dan dapur pondok.Dibelakang asrama ruang kosong dengan tumpukan kayu, dan belakangnya lagi ada rumah warga dan balai desa.
"Disana belakang warung, nanti aku tunjukkan." Ucapnya dengan ceria, senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya.
"Oke deh." Jawab kami serempak. Kami dari rumah sudah biasa mandi di sumur dekat sawah yang hanya bertutup terpal.
"Ya udah cepetan keburu iqomah nanti masih ngaji juga .Setelah ngaji baru kita mandi disana." Ucap ukh Yanti mengingatkan.
Kami cepat berwudhu dan masuk kedalam masjid yang super ramai. Masjid dipenuhi anak-anak mengaji yang masih kecil-kecil, banyak yang masih sepuluh tahun kebawah bahkan mungkin masih TK, hanya beberapa yang nampak sudah remaja. Nampaknya setelah asar banyak anak-anak penduduk desa yang ikut mengaji disini.
Didalam masjid sudah bagus, dinding yang sudah bercat putih dan berlantai keramik,dengan beberapa kipas angin terpasang di langit-langit masjid. Dan tiang-tiang penyangga yang besar. Disini sudah ada listrik PLN, meskipun hidupnya masih bergilir sehari hidup dan sehari mati, namun al-iman punya diesel sendiri untuk mengantisipasi jika mati lampu.
Usai sholat kami langsung mengikuti kegiatan harian yang ada, yaitu mengaji bersama setelah sholat. Aku masih bingung melihat orang-orang yang langsung memutar membentuk kelompok masing-masing, sedangkan aku tak tahu mau gabung dikelompok yang mana, begitupun dengan Lisa yang masih duduk bingung memegang mushaf disampingku.
"Murid baru MTs mengaji disini." Seru seorang ustadz yang mendaftar kami tadi siang.
Aku langsung bergabung,duduk melingkar begitupun dengan Lisa. Ada tujuh anak perempuan seumuran kami yang ikut bergabung. Ku lihat sekeliling. Kenapa hanya kami perempuan yang ngaji dengan ustadz? Yang lain sama ustdzah semua. Sedangkan yang laki-laki dibagian depan terpisah oleh satir panjang yang membentang.
"Udah pada kenal belum?" Tanya ustazd yang belum aku ketahui namanya. Kami hanya menggeleng pelan tanda belum kenal semua. Belum juga setengah hari bersama.
"Udah ustadz." Jawab seorang gadis cantik dengan kulit putih bersih tanpa malu-malu. Beberapa kali aku lihat dia, tapi belum sempat ngobrol bareng sih.
"Aku nggk nanya kamu. Nanya yang baru-baru ini." Seakan mereka sudah akrab sekali, memang siapa anak ini? Dia bukan anak barukah?
"Ngaji dulu ustadz nanti kenalannya, biar lebih leluasa tanya-tanya nya." Usul anak tadi yang disetujui oleh ustadz .
Kami mulai bergilir mengaji Alquran. Yang belum dapat giliran menyimak. Hanya membaca setengah halaman per orang, maklum lah banyak sekali tanda baca dan makhroj yang belum benar, apalagi tanda baca yang masih berantakan. Hanya anak yang banyak bersuara tadi yang bacaannya sudah bagus dan panjang pendek nya pun sudah benar.
Setelah selesai mendapat giliran mengaji semua barulah mulai perkenalan, tak banyak yang perlu diperkenalkan hanya nama yang penting. Paling tidak kita saling tahu harus memanggil apa bukan? Apalagi yang aku tahu kelompok mengaji adalah beranggotakan kawan sekelas .
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!