Matahari hampir tergelincir di langit barat saat dua mobil itu melihat kota kecil di kejauhan. Perjalanan menuju rumah teman Selena hanya tinggal selangkah lagi. Selena merasakan kegamangan untuk kesana, ia telah meninggalkan kota itu bertahun-tahun lamanya dengan alasan yang sangat sempurna dan sekarang ia menuju ke sana.
Kesunyian yang mencekam dari balik bayang-bayang pepohonan yang berjajar di pinggir jalan semakin membuatnya gundah. Ini sudah terlambat untuk memutuskan berbalik arah, dengan sedikit keberanian yang berhasil dikumpulkan Selena menetapkan hati untuk tetap menuju ke rumah temannya.
“Matthew, berbeloklah ke jalan itu,” tunjuk Selena.
Matthew mengamati jalan setapak yang ditunjuk Selena. Jalan itu membelah hutan yang daun-daunnya telah menguning.
“Kau yakin?” Tanya Matthew gusar.
“Hutan itu hanya hutan kecil, kita akan lebih cepat sampai di rumah,” jawab Selena.
Matthew yang memperhatikan Selena dapat membaca kegelisahan yang dirasakannya.
“Aku benar-benar tidak ingin melewati kota. Aku mengenal hampir semua penduduknya. Bagaimana kalau mereka telah berubah menjadi Ragen. Aku tak sanggup melihatnya,” kata Selena melihat keraguan Matthew, dihembuskannya napas panjang untuk mengurangi gelisahnya.
“Baiklah.”
Matthew pun menyetujui permintaan Selena. Ia membelokkan mobilnya ke jalan kecil itu. Hutan itu memang kecil seperti yang Selena katakan. Hanya suara serangga dan gemerisik dedaunan tertiup angin yang terdengar. Suasana begitu sunyi, tak ada Ragen atau binatang yang terlihat. Setelah hampir lima belas menit lamanya menyusuri janan setapak, mobil itu kembali memasuki jalan utama.
Kini pepohonan yang rindang telah berganti dengan pepohonan palem yang tumbuh berpencar di pinggir jalan. Selena mengarahkan Matthew untuk memasuki jalan berbatu yang tertata rapi setelah melewati jembatan kecil yang melintasi sungai di bawahnya. Perlahan-lahan rumah yang dituju telah terlihat. Tampak kokoh dan angkuh berdiri di atas sebuah danau. Rumah yang cukup besar dan tak tersentuh oleh dunia luar. Selena menatap rumah itu nanar, “aku pulang Sam,” batinnya pedih.
Mobil-mobil itu berhenti tepat di depan rumah itu. Teman-teman Selena tampak kagum melihat rumah itu. Rumah bergaya modern yang jauh berbeda dengan bentuk rumah perkotaan yang biasa mereka lihat.
“Rumahnya bagus sekali,” celetuk Tony.
“Ayo kita ke dalam,” ajak Selena.
Ia meniti satu persatu tangga menuju pintu yang berada di atas diikuti yang lainnya di belakang. Sesampainya di depan pintu Selena berhenti untuk membukakan pintu. Ia menekan kunci otomatis pintu itu hingga menampilkan sebuah layar hologram.
“Good afternoon. Please give me your password,” terdengar suara dari layar hologram itu.
Selena memasukkan beberapa angka ke dalam layar hologram itu.
“Welcome home Mrs. Sam,” lanjut layar itu setelah Selena selesai memasukkan password dan pintu pun terbuka.
Leo yang berdiri tak jauh dari Selena sedikit terkejut mendengar nama Sam yang diucapkan layar hologram itu. Ia tidak menyangka Selena membawa mereka ke rumah orang yang paling penting dalam hidup Selena.
“Ayo masuk, anggap rumah sendiri,” ajak Selena.
Mereka masuk dengan senang hati dan terkagum-kagum melihat isi ruangan rumah itu. Semua didesain apik dengan teknologi super canggih.
“Baiklah, selamat menikamati rumah ini. Aku akan mengaktifkan keamanan rumah dulu,” kata Selena melihat teman-temannya tampak antusias menjelajahi isi rumah. “Oh ya kalian bisa menggunakan kamar mana saja untuk istirahat, kecuali kamar yang di ujung atas,” pesan Selena sebelum beranjak meninggalkan yang lain.
Disaat yang lain sibuk mengagumi isi rumah, Ignis memutuskan untuk mengikuti Selena.
“Rumah ini punya sistem keamanan?” Tanya Ignis penasaran.
“Iya, akan aku tunjukkan padamu,” kata Selena memasuki sebuah ruangan dengan beberapa layar computer di dalamnya.
“Hai Zi, bisa kau berikan status rumah ini,” kata Selena setelah menekan salah satu tombol di
sebuah meja.
“Waoow,” seru Ignis melihat sesosok Selena yang lain dalam bentuk hologram.
“Aku tahu, rasanya seperti berbicara pada diri sendiri,” kata Selena geli melihat reaksi Ignis.
Ignis tidak begitu memperhatikan laporan hologram itu, ia lebih tertarik dengan sistem teknologi rumah itu. Begitu canggih jauh dari rumah dengan sistem tercanggih yang biasa terdapat di kota.
“Sepertinya daya di rumah ini tidak cukup untuk menghidupkan parameter. Aku harus turun
untuk menghidupkan secara manual,” ucap Selena.
“Masih ada ruangan lagi di bawah?” Tanya Ignis bingung.
“Tepatnya di bawah danau,” jawab Selena terkekeh.
Ia berjalan keluar menuju salah satu tempat dan membukanya. Ignis sempat mengira itu adalah pilar rumah, namun ternyata di dalamnya adalah lift untuk turun ke ruang bawah tanah. Ignis menyusul Selena memasuki lift tersebut, dari dalam lift ia bisa melihat air danau yang ia lintasi karena lift itu dibuat transparan.
“Tempat apa ini, Sel?” Tanya Ignis sesampainya di bawah.
“Tempat berlatih, bermain, gudang dan satu ruang VIP,” jawab Selena. Mereka melangkah menuju ruang VIP yang dimaksud Selena tadi.
Selena menekan tombol pembuka otomatis pintu tersebut dan mendengus kesal melihat apa yang berada di dalamnya.
“Benar-benar Si Genius kolot keras kepala,” rutuk Selena.
Di depannya terpampang sebuah pintu lagi, pintu yang terbuat dari besi baja dengan roda putar di tengahnya untuk membukanya. Ignis melihatnya terkekeh mendengar umpatan Selena. Selena maju berusaha memutar roda itu, namun tangan kirinya yang terasa nyeri membuat ia mundur kembali dengan menyumpah pelan.
“Biar aku bantu,” kata Ignis melihat kesulitan Selena.
Kini keduanya berusaha memutar roda itu agar pintu terbuka. Sedikit demi sedikit roda itu berputar hingga pintu berhasil terbuka. Seketika ruangan di dalamnya menjadi terang benderang. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah pilar kecil dengan beberapa kabel dan penopang suatu benda.
Selena menghampiri kotak kaca yang berada di salah satu sudut ruangan dan mengambil tabung yang berisi benda bulat yang melayang tepat di tengah tabung tersebut. Dengan hati-hati Selena meletakkan tabung tersebut ke dalam penopang dipilar tersebut. Ignis memperhatikan dengan wajah kebingungan. Dia baru kali ini melihat benda tersebut. Setelah Selena selesai mereka keluar meninggalkan ruang VIP tersebut.
“Benda apa itu tadi, Sel?” Tanya Ignis.
“Itu atom, tepatnya nuklir,” jawab Selena.
“Apa?!” pekik Ignis kaget. “Nuklir? Apa itu aman?” tanyanya was was mengingat sejarah perang nuklir yang terjadi dimasa lalu memberi dampak besar diseluruh dunia.
“Tenang saja, tabung itu telah didesain untuk menstabilkan nuklir itu agar tidak meledak.”
“Syukurlah” Ignis bernapas lega, “nuklir sebanyak itu bisa meledakkan seberapa luas daerah?”
“Kira-kira satu kota seluas Solarcity,” jawab Selena.
Kepala Ignis berdenyut-denyut mendengar jawaban Selena, dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengarkan. Mereka berjalan meninggalkan ruang VIP itu, sesekali Ignis menjulurkan kepalanya ke ruangan lain untuk melihat-lihat.
“Temanmu itu kerja apa?” tanya Ignis penasaran.
“Porter seperti aku.”
Ignis menghentikan langkahnya membuat Selena ikut berhenti.
“Bagaimana bisa ia membangun rumah super canggih ini?” Tanya Ignis bingung.
Selena tersenyum, “dia memang porter, tapi kerja sampingannya sebagai programmer dan juga pembuat senjata membuatnya mudah mendapatkan uang.” Selena terdiam sesaat menghembuskan napas panjang. “Dia orang genius terkonyol yang bisa melakukan apa saja… kecuali satu.”
Selena kembali berjalan menuju lift diikuti Ignis di belakangnya.
“Apa yang tidak bisa ia lakukan?” Tanya Ignis.
“Menjaga nyawanya sendiri,” jawab Selena dengan senyum getir di bibirnya. Ia segera memasuki lift.
“Maksudmu dia sudah meninggal,” terang Ignis diikuti anggukan Selena. “jadi pemilik rumah ini sudah mati,” batin Ignis.
Saat lift yang mereka masuki naik dan melewati danau, Ignis dan Selena bisa melihat pendar biru di depan rumah yang menjulang sekitar dua meter mengelilingi seluruh tempat itu.
“Sepertinya parameternya sudak aktif” kata Selena memberi tahu Ignis.
Malam berjalan semakin larut dan kesunyian pun mengendap sementara Selena terlena di dalam bayang masa lalu. Berkas sinas parameter diluar rumah bertebaran mengelilingi tempat itu. Bulan menumpahkan sinar peraknya ke permukaan air danau membuat air itu terlihat indah. Selena menikmati pemandangan itu dari sebuah kamar.
Kamar yang dulu pernah ia tempati bersama Sam kekasihnya. Membagi semua rasa suka dan duka yang kini hanya meninggalkan sebuah kenangan. Selena menghela napas panjangnya. Semenjak kepergian Sam, baru hari ini ia memberanikan diri menginjakkan kakinya lagi. Hatinya terlalu goyah untuk bisa datang ke sini, itulah mengapa ia memilih untuk pergi jauh dari tempat ini. Tempat yang memberikan limpahan kenangan dengan kekasih yang paling ia cintai. Pelan ia mengitari kamar yang cukup besar itu. Selangkah demi selangkah ia menyusuri setiap sudut kamar, sebelum pada akhirnya terdengar suara ketukan pelan dari balik pintu disusul munculnya wajah Leo di sana.
“Boleh aku masuk?” Tanya Leo.
“Masuklah,” jawab Selena dengan senyuman menghiasi di bibirnya.
Leo melangkah memasuki kamar itu. Diedarkannya pandangannya ke sekeliling kamar. Kamar itu hampir bisa dibilang terekspos dengan jendela kaca hampir diseluruh dinding, kecuali dinding pemisah dengan ruangan sebelah.
“Kau tidak terlihat setelah makan malam, apa kau baik-baik saja?” Tanya Leo mencemaskan
keadaan Selena mengingat ia mengetahui rumah ini milik Sam.
“Aku hanya sedang mencari sesuatu di sini,” jawab Selena sambil mondar mandir.
“Apa yang kau cari?”
“Senjata peninggalan ayahku. Sam suka sekali teka-teki dan begitulah ia menyembunyikan senjataku,” Dengus Selena.
Leo tampak memperhatikan Selena yang terlihat tengah meneliti setiap jengkal lantai kamar.
Sesaat kemudian senyum sumringah menghiasi bibirnya.
“Aku berhasil menemukannya. Lihatlah,” ucap Selena semangat dan berjongkok di tempatnya.
Leo berdiri tak jauh dari Selena, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Selena selanjutnya.
“Hai Sam, aku menemukanmu,” kata Selena, diletakkan telapak tangannya di lantai.
Seberkas cahaya merah dari dalam lantai tiba-tiba melintasi telapak tangan Selena disusul kemunculan sesosok manusia dalam bentuk hologram.
Sedikit terkejut Leo mundur mengamati hologram itu. “jadi dia kah yang bernama Sam,” batin Leo.
“Ha..ha..ha…jadi aku telah ketahuan ya,” kata hologram Sam sambil mengerling nakal ke arah Selena.
“Itu mudah Sam. Sekarang kau harus memberikanku sesuatu,” ucap Selena.
“Tentu saja. Apa yang kau minta sayang?”
“My gunblade tentunya.”
“Baiklah itu mudah. Berikan dulu kata kuncinya.”
“Kau sangat menyebalkan,” ucap Selena tercekat.
“Oh ayolah sayang bukan itu kata kuncinya,” kata Sam mengibaskan tangannya sambil tertawa.
Leo yang sejak tadi diam memperhatikan dapat melihat kesedihan yang terpancar dari dalam mata Selena. Ia bisa merasakan sakit di dalam dada Selena.
“Aku mencintaimu, Sam,” jawab Selena lemah.
Andai Leo tak ada di sampingnya, mungkin ia telah menangis tak sanggup menahan hancurnya hatinya. Namun berkat pelatihan keras diakademinya dulu ia berhasil menguasai
emosinya, terlebih lagi ia tak ingin Leo menjadi tahu keadaannya yang sesungguhnya.
“Aku juga mencintaimu sayang,” kata Sam, ia terlihat mendekat dan mengecup bibir Selena. “Sekarang mundurlah.”
Selena mundur beberapa langkah menjauhi Sam. Lantai tempat Selena berpijak semula terlihat membuka dan dari dalamnya muncul kotak kaca dengan sebuah senjata di dalamnya.
“Well, aku telah mengembalikan gunblademu. Jangan berbuat nakal dengan itu,” Pesan Sam.
Gunblade itu diambil Selena dengan hati-hati. Dihelanya napas panjang. Perasaannya sangat kacau saat ini.
“See you soon, Honey,” ucap Sam kemudian menghilang.
Melihat Selena hanya terdiam menunduk, membuat Leo terenyuh. Ia mendekatinya ingin sekali memeluk gadis itu untuk memberikan kedamaian. Mengalihkan perhatian Selena mungkin juga mengalihkan cintanya terhadap Sam pada dirinya. Digenggamnya tangan Selena hati-hati memastikan dia baik-baik saja.
Selena merasakan sentuhan lembut di tangannya membuatnya tak kuat lagi menahan sesak di dadanya. Gunblade yang ia pegang merosot terjatuh terlepas dari tangannya. Ia sudah tak sanggup lagi membendung air matanya, segera memeluk Leo yang berada di dekatnya. Tangisnya pecah seketika dalam dekapan pria itu.
Sedikit terkejut saat Selena memeluknya, Leo kemudian berhasil menguasai dirinya dan mendapati Selena tengah terisak di dalam pelukannya. Leo membelai lembut rambut Selena mencoba memberi kedamaian. Ia juga membisikkan kata-kata di telinga Selena untuk meredakan kesedihannya. Ia bisa merasakan hancurnya hati Selena saat ini yang membuat dadanya sesak. Setelah Selena terlihat sedikit tenang, Leo membimbingnya untuk duduk di tempat tidur. Ia masih berusaha menghiburnya membelai rambutnya dan membenamkan Selena dalam dekapannya yang hangat.
Perasaan damai merayap dihati Selena saat ia terlarut dalam dekapan Leo. Ia tidak begitu jelas mendengar bisikan-bisikan Leo. Namun suaranya mempu mengobati hatinya yang terluka. Perlahan-lahan dia mampu menguasai dirinya lagi. Leo mengusap air matanya yang mengalir dipipinya saat ia sedikit menjauhkan diri darinya.
“Apa kau sudah merasa baikan?” Tanya Leo lembut.
Selena menganggukkan kepalanya dan menghela napas panjang. “Maafkan aku dengan sikapku ini.”
“It’s okey, Selena,” Leo tetap menjaga pelukannya untuk menenangkan Selena.
“Aku…sudah lama tidak ke sini. Sejak kematian Sam, aku tidak lagi datang ke sini. Begitu banyak kenangan dan aku tak sanggup menghadapinya,” cerita Selena.
“Sepertinya kami tak sengaja telah memaksamu kemari,” gumam Leo merasa bersalah.
“Tidak Leo. Cepat atau lambat aku harus datang ke sini juga, dengan atau tanpa kalian.”
Selena tersenyum kecut untuk menutupi kegetiran hatinya. Ia berdiri meninggalkan kehangatan pelukan Leo, berjalan menuju gunbladenya yang tergeletak di lantai.
“Bagaimanapun juga aku harus mengambil gunblade ini sendiri, karena tak ada yang bisa membukanya selain aku,” terang Selena.
Leo menatap gunblade yang dipegang Selena dengan terpesona dan Selena tahu itu. Selena segera mengubah gunblade itu dari bentuk sword menjadi gun menjadikannya terlihat mungil dan pas digenggaman Selena.
“Ini adalah salah satu dari empat senjata legendaries saat perang nuklir. Ayahku yang menemukannya,” kata Selena, kembali ia duduk didekat Leo.
“Sepertinya aku pernah mendengar cerita tentang senjata itu,” ucap Leo.
“Dua dari empat senjata dikabarkan telah hilang. Yang ini salah satu yang masih tersisa dan ditemukan ayahku, tapi yang satunya lagi ayah baru menyelidikinya saat ia meninggal karena kecelakaan.”
Disisa malam itu, Selena menghabiskan waktu bersama Leo. Bercerita tentang senjata yang dia pegang dan sekelumit tentang kehidupannya dulu. Leo pun berbagi cerita tentang hidupnya saat Selena bertanya tentang dirinya, tidak semua. Ia masih menutupi jati dirinya sebagai seorang pewaris kerajaan. Perlahan demi perlahan Leo mampu mengikis kesedihan Selena dan memberikan kehangatan berupaya mendekatkan diri untuk memberikan cintanya pada Selena. Mencari harapan untuk dapat menggantikan posisi Sam dihati dan dikehidupan Selena.
--- TBC ---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Ninin
Cerita yg menarik Thor tegang lucu ada romantisnya juga 🤗
2021-07-28
0