Episode 10. SOUND OF DEAD

Tony memacu mobil lebih cepat setelah Sania menemukan sebuah rumah penduduk di pinggiran kota lewat GPS yang ada di tabletnya. Tempat itu tak jauh, satu mil dari tempatnya sekarang. Ignis masih sibuk meredam kemarahan Leo di belakang. Tak butuh waktu lama, Tony menemukan tempat itu. Sederetan rumah penduduk yang sepi, hanya terlihat sisa-sisa kekacauan sepanjang mata memandang. Tony memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah yang telihat masih layak. Segera satu persatu mereka turun dan memeriksa keadaan. Jimmy membantu Tony dan Sania memeriksa isi rumah. Leo masih berkeliaran dijalan ditemani Ignis. Di sana benar-benar lengang bahkan tak ada seekor Ragen pun yang berkeliaran. Ignis meninggalkan Leo sebentar ketika Tony berada diambang pintu.

“Tempat ini aman,” lapor Tony.

“Baik, aku akan memnghubungi Matthew,” setelah Tony kembali ke dalam, Ignis menyalakan earpiecenya.

“Matthew, kita sudah menemukan tempat aman. Teruslah lurus sekitar satu mil lagi aku akan menunggumu di jalan,” kata Ignis memberitahu Matthew.

Kembali Ignis mendekati Leo yang mondar mandir di jalan dengan kacau, dia tidak bisa berbuat banyak untuk menenangkannya lagi. Dia memutuskan membiarkan Leo dan mengalihkan perhatiannya ke jalanan yang dilewatinya tadi menanti mobil Matthew.

***

Mendengar laporan Ignis, Matthew mempercepat laju mobilnya. Selena semakin memburuk keadaannya. Napasnya tidak beraturan terkadang Matthew terpaksa menekan luka di bahu Selena agar gadis itu tidak memejamkan matanya. Matahari telah terbit di ufuk timur memberikan seberkas cahaya keemasan yang membanjiri permukaan jalanan. Peluh Matthew telah membanjiri seluruh badannya akibat ketegangan yang dia rasakan.

Selena menatap nanar jalanan, dia merasakan sakit yang luar biasa di bahunya. Keringat telah membanjiri seluruh tubuhnya. Pemandangan di luar terlihat berkelebat dengan cepat secepat Matthew memacu mobilnya. Ufuk timur terlihat menyemburat menggantikan keremangan. Selena masih tak percaya Matthew membawanya secara paksa seperti ini. Dia tahu pada akhirnya akan segera berubah menjadi salah satu Ragen yang berkeliaran mencari daging segar. Diliriknya Matthew

yang cemas, seluruh tubuhnya juga dibanjiri keringat karena ketegangan situasi sekarang ini.

Dengan menahan sakit, Selena meraih cellphone miliknya yang berada di saku celananya. “Matt, simpan ini dan segera hubungi temanku. Katakan apa yang terjadi dan mintalah dia untuk menjemputmu.”

“Apa yang kau katakan Selena?” Tanya Matthew cemas.

“Tinggalkan aku di sini dan lakukan apa yang ku perintah tadi,” pinta Selena terbata-bata.

Dilihatnya wajah pria di sampingnya mengeras. “Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu.”

“Berhentilah bersikap bodoh, Matt,” isak Selena. Matthew mengacuhkan Selena, dia telah bertekad untuk menyembuhkan Selena bagaimana pun caranya nanti. Hatinya perih melihat Selena sekarat.

“Berhenti Matt!!!. Apa kamu tetap akan disampingku saat aku berubah menjadi salah satu dari mereka,” teriak Selena histeris, dia sangat putus asa.

Tak mungkin baginya bisa sembuh setelah virus bersarang di tubuhnya. Sampai sekarang tak ada obat yang bisa menyembuhkan orang yang terinfeksi bahkan sekalipun orang itu langsung tertangani medis. Selena merasa semua akan sia-sia belaka.

“Aku tidak akan meninggalkanmu,” bentak Matthew menatap Selena. Air matanya berjatuhan dipipinya tanpa bisa dia hentikan. Dilihatnya Selena yang semakin kritis. “Aku tidak akan membiarkanmu menjadi Ragen. Aku akan menyembuhkanmu,” ujar Matthew penuh keyakinan. Diraihnya telapak tangan Selena dan menggenggamnya erat-erat. Matthew melajukan mobilnya makin cepat, adrenalinnya meningkat sejak mendengar kabar dari Ignis telah mendapatkan tempat baru.

“Bahuku terasa terbakar,” keluh Selena merasakan bahunya yang seakan terbakar api bahkan tangannya sekarang telah mati rasa.

Matthew menatap cemas, “tetaplah buka matamu.”

Selena berusaha melakukan perintah Matthew, namun matanya semakin berat dan tenaganya semakin menghilang. Dirasakkannya bahunya yang terluka seperti tersengat listrik, ketika membuka matanya kembali dia mendapati Matthew menekan lukanya agar Selena kembali membuka matanya. Tak berapa lama Matthew menghentikan mobilnya dan segera keluar untuk menggendongnya masuk ke dalam rumah. Dibawanya Selena memasuki rumah itu, Matthew yang mendapati Selena menutup matanya semakin khawatir.

“Tetaplah buka matamu, Selena,” pinta Matthew, dia membawa Selena masuk ke rumah. “Leo bawakan tasku,” teriaknya. Tanpa menunggu lama Leo segera mengambil tas Matthew dan menyusulnya ke dalam.

Sania yang menunggu di dalam rumah segera menunjukkan kamar yang telah disiapkannya tadi.

“Sania, tolong ambilkan air,” kata Matthew.

Sania yang melihat luka di bahu Selena bergidik ngeri, tetapi tak berani menolak perintah Matthew. Diambilnya air dalam baskom yang ditemukannya di dapur dan segera membawanya keatas. Melihat Tony di anak tangga, Sania memintanya untuk mengantarnya ke atas karena dia tidak tahan melihat banyak darah. Tony menolak karena dia juga ngeri melihat luka Selena. Ignis yang mengetahui perdebatan keduanya segera mengambil baskom itu dari tangan Sania dan mengantarnya ke atas. Dia tidak begitu melihat keadaan Selena tadi sehingga dia mau mengantarkan sekaligus memeriksa keadaan di atas. Sesampainya di ambang pintu kamar, dia mendapati pemandangan yang mengerikan. Luka di bahu Selena sangat panjang dan dalam membuat bulu kuduknya meremang. Dilihatnya Leo yang berada di samping Selena telah seputih kapas wajahnya.

“Berikan padaku, Ignis,” pinta Matthew yang tengah sibuk menyiapkan peralatan operasinya.

Ignis meletakkan air itu didekat Matthew. “Apa yang terjadi?” tanyanya.

“Seekor singa gurun menyerangnya dan berhasil mencakarnya,” bohong Matthew.

Selena yang mendengar penjelasan Matthew ingin menyanggahnya, tapi tenaganya telah menghilang.

“Leo pegangi dia, aku harus menutup lukanya,” perintah Matthew sambil mendudukkan Selena. Luka Selena yang sepanjang bahu depan dan belakang mengharuskan Matthew melakukan operasi dengan posisi duduk. Leo dengan hati teriris-iris melihat keadaan Selena, segera mendekap gadis itu tak peduli sebagian darah Selena membasahi pakaiannya.

“Jagalah dia agar tetap membuka matanya,” pesan Matthew, “aku tak punya obat bius untuk operasi ini.”

Berita Matthew membuat Leo bagai tersambar petir di siang bolong. Dengan luka seperti pastilah sangat menyakitkan jika Matthew menjahitnya tanpa obat bius. Leo mencari kain terdekat dengannya dengan sebelah tangannya yang bebas. Diraihnya sarung bantal yang masih melekat dengan bantalnya. Segera dia melepaskan dan membuang bantalnya sembarangan. Dilipatnya kain itu sehingga bisa di gigit Selena. Dia tak ingin Selena menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah. Detak jantung Leo berdetak lebih cepat, ditatapnya wajah Selena yang sekarang berlindung di dadanya. Mata Selena telah sayup, napasnya tak beraturan.

Matthew segera membersihkan luka Selena, dia menuangkan alkohol pada kain dan mulai membasuh luka Selena dengan hati-hati. Dia tahu ini akan menyakitkan, tapi itu akan tetap mebuat Selena membuka matanya. Selena berteriak tertahan merasakan lukanya mulai diobati Matthew. Air matanya semakin deras keluar. Tubuhnya yang mengejang dirasakan oleh Leo, segera Leo menggenggam jemari Selena berusaha menguatkan gadis itu. Napasnya semakin tersengal-sengal pasca pembersihan lukanya, sekarang Matthew sedang menjahit luka di bahunya. Usaha Selena membuka matanya terhalang oleh tenaganya yang telah habis, perlahan-lahan matanya menutup. Leo mengetahui Selena semakin menutup matanya menjadi panik. Ditepuk-tepuknya pipi Selena tapi tak ada respon.

“Selena buka matamu, bukalah Sel,” pinta Leo dengan suara tercekat. “Matt, dia tak mau membuka matanya.”

Matthew yang mengetahui keadaan Selena segera mempercepat menutup luka Selena. “Dia terlalu banyak kehilangan darah,” frustrasi Matthew, setelah luka tertutup diobrak abriknya isi ranselnya dan mengeluarkan selang kecil dan jarum suntik. “Aku harus mentranfusikan darahku. Baringkan dia hati-hati.”

Leo membaringkan Selena dengan hati-hati. “Apa kau yakin, Matt?”

“Tidak ada cara lain Leo,” tegas Matthew segera menusukkan jarum ke lengannya, dia benar-benar tidak mengikuti procedural tranfusi darah. Namun dia memastikan bisa dilakukan dengan benar. “Istirahatlah Leo,” katanya setelah berhasil melakukan pemindahkan darahnya ketubuh Selena sedikit demi sedikit.

“Matt…”

“Percayalah dia akan baik-baik saja.” Dengan berat hati Leo keluar dari kamar. Dia berjalan dengan gontai menuruni anak tangga, sesampainya dianak tangga paling bawah dia tak kuat lagi menahan sesak di dadanya. Leo duduk di sana, membenamkan wajahnya dalam-dalam. Sayup-sayup terdengar isakan tangis.

Melihat Leo turun, Ignis dan yang lain melihatnya dengan cemas. Hanya Ignis yang berani mendekati Leo. Disentuhnya pundak Leo perlahan. Seakan tahu apa yang diinginkan Ignis, Leo memberitahu keadaan Selena tanpa mendongakkan kepalanya. “Dia sekarat.”

Mendengar perkataan Leo, Ignis terasa terguncang. Dia menganggap Selena teman biasa. Namun dia berhutang nyawa dengannya. Ignis duduk disebelah Leo, dirangkulnya tubuh temannya itu sekedar menghibur jiwa temannya yang terguncang. “Tenanglah, Matthew pasti bisa menyelamatkannya.”

Matthew melepaskan jarum tranfusinya setelah dirasa cukup dan kepalanya terasa pening. Dengan gontai dia membereskan peralatan bedahnya dan segera mengambil obat. Dimasukkannya cairan bening itu kedalam suntikan, setelah dirasa cukup obat pun berpindah ke tubuh Selena melalui jarumnya. Matthew tak sanggup lagi merasakan kepalanya yang pening dan dia roboh di samping Selena.

“I will save you Selena?” gumam Matthew sebelum menutup matanya.

***

Rumah terasa sepi meski matahari kini semakin meninggi. Leo yang duduk sendirian memilih untuk tetap diam. Ignis membiarkan sahabatnya itu sendiri, hari ini memang sangat berat untuk semua termasuk dirinya. Jimmy yang masih ketakutan diam tak berkutik, dia tak berani mendekati Leo bahkan memandanginya saja membuatnya harus berpikir ulang dan tadi Ignis juga memperingatkannya untuk tidak mendekati laki-laki yang sedang frustasi itu. Setelah agak siang, Ignis memutuskan untuk keluar mencari persediaan makanan dan mensurvei daerah itu. Dia meninggalkan Leo dan menyuruh Austin untuk menemaninya.

“Leo, aku akan pergi sebentar jika terjadi apa-apa cepat hubungi aku,” pesan Ignis.

“Ya,” jawab Leo lemah.

“Tolong kau antar makanan untuk Matthew, sejak tadi dia belum turun,” lanjut Ignis mengingatkan Leo. Leo tertegun mendengar kata Ignis barusan, dia baru menyadari Matthew tidak turun sejak tadi bahkan untuk sekedar memberi kabar keadaan Selena. Setelah Ignis dan yang lain berangkat, Leo beranjak dari duduknya. Diambilnya makanan yang telah disiapkan Ignis. Leo berjalan gontai perasaannya campur aduk. Pelan-pelan dia membuka pintu kamar yang ditempati Selena. Matthew tampak tertidur di samping Selena.

“Matthew telah berjuang mati-matian untuk menyelamatkan Selena.

Sedangkan aku tak bisa berbuat apa-apa,” pikir Leo nanar. Didekatinya Matthew dan mengguncang tubuhnya agar dia terbangun. Matthew membuka matanya. Leo kini

telah berdiri menjulang di depannya. Matthew bangun dan duduk di tepian ranjang. Dipijit keningnya perlahan menghilangkan pening yang masih tertinggal di kepala.

“Makanlah.” Leo mengulurkan sebungkus roti padanya. Matthew mengambil dan langsung memakannya. Setidaknya makan bisa memulihkan tenaganya yang terkuras. Dipandanginya Selena di sela-sela makannya. Gadis itu belum begitu baik, napasnya masih tak beraturan dan degup jantungnya terkadang melemah. Matthew tak mempunyai alat penunjang kehidupan membuat kondisi Selena mungkin akan lama pulih.

“Jam berapa sekarang?” Tanya Matthew menoleh pada Leo. Didapatinya laki-laki di depannya itu sedang memandangi Selena.

“Hampir tengah hari,” jawab Leo dengan napas panjang.

“Sial,” terhenyak Matthew menyadari waktu cepat berlalu segera berdiri dan menghampiri ranselnya. “Aku terlalu lama tidur,” keluhnya. Cepat-cepat dia membereskan peralatannya dan menyandang ranselnya. Leo memperhatikan Matthew dengan sedikit bingung. “Leo, tolong jaga dia untukku. Aku harus mencari obat untuk Selena sekarang juga. Hubungi aku jika terjadi sesuatu pada Selena apa pun bentuknya,” pesan Matthew panjang lebar, sebelum Leo mengiyakan Matthew telah pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan Leo untuk menjaga  Selena.

Sepeninggal Matthew, Leo menunggu Selena. Dia duduk di samping gadis itu. Selena tampak pucat dengan napas yang tersengal-sengal. Leo semakin sedih melihatnya. Diraihnya jemari Selena, tak ada respon sama sekali. Setetes air mata kembali berjatuhan dari matanya. Hatinya begitu pilu, dia menyesal membiarkan dirinya mengikuti perintah Ignis. Terisak dalam diam, tak henti-hentinya dia menyalahkan dirinya sendiri. Mulutnya terbungkam meski ingin sekali mengajak Selena berbicara. Leo berbaring disisi Selena, pandangannya tak pernah lepas dari sosok di sampingnya itu. Perlahan Selena menggerakkan kepalanya, matanya masih tertutup rapat. Dari mulutnya meluncur gumaman tak jelas. Leo yang merasa khawatir membelai lembut pipi Selena berharap Selena membuka matanya. Ketika tak kunjung membuka mata, Leo menangkupkan tangannya di kening Selena. Terkejut Leo mendapati gadis itu demam tinggi, segera dia berlari ke bawah meraih earpiecenya untu mengabari Matthew.

***

Matthew segera berlari sepanjang jalan setelah keluar dari rumah. Dia memilih tidak memakai mobil karena berlari akan membuatnya lebih cepat. Setidaknya itulah yang dipikirkannya tapi dia salah perhitungan, sekarang napasnya memburu setelah berlarian beberapa saat. Matthew tak bisa memaksimalkan tenaganya, dia baru saja mengalirkan sebagian darahnya ke tubuh Selena. Beruntung dia menemukan sebuah motor tergeletak ditengah jalan. Segera Matthew menaikinya dan menancap gas menuju rumah sakit di kota. Sesampainya disebuah rumah sakit, dia masuk tanpa rasa khawatir. Didorongnya pintu rumah sakit itu dan dengan tenang dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Saat berjalan Matthew menemui beberapa ekor Ragen tapi tak ada seekor pun diantara mereka yang menyerang. Mereka hanya mengikuti Matthew dari belakang. Sesampainya di ruang penyimpanan obat, Matthew masuk dan membiarkan para Ragen yang mengikutinya ke dalam. Setelah semua masuk, Matt menatap mereka dengan seksama.

“Oke guys, hari ini tak ada pembantaian tugas kalian mengumpulkan semua obat yang masih tersisa di sini,” perintah Matthew tegas diikuti pergerakan para Ragen yang memencar mengikuti perintahnya.

Rahasia Matthew yang tidak diketahui semua orang adalah dia mampu berkomunikasi dengan para Ragen. Virus Ragen membawa DNA Matthew sang pencipta sehingga ia bisa mengendalikan mereka meski hanya dalam jumlah terbatas seperti yang dilakukannya saat ini.

Matthew berjalan lebih dalam untuk menemukan obat dengan dosis yang lebih tinggi dan beberapa kantung darah. Dia membutuhkan darah untuk mengisi lagi energinya. Energy Matthew akan secara cepat pulih jika dia mentranfusikan setidaknya sekantung darah. Hari ini sungguh sial untuknya karena dia tak menemukan sekantung pun di rumah sakit itu. Dengan lemas dia memanggil para Ragen yang dia suruh tadi dengan cara telepati. Satu persatu Ragen-Ragen muncul dengan obat-obatan ditangan mereka. Matthew mengumpulkan dan memilahnya satu-persatu. Ada beberapa antibiotic, morfin, obat penenang, aspirin dan…obat kontrasepsi.

Matthew memandang obat di tangannya dengan mata mendelik. “hei siapa yang membawa ini?” tanyanya Ketus.

“Aarrrgh.” jawab seekor Ragen jantan yang berpenampilan necis, jika baju yang dipakainya masih layak.

“Kau pikir obat ini untuk siapa?” bentak Matthew.

“Aargh (kau).”

“Jangan main-main denganku, atau kulubangi kepalamu.”

“Aaargh aaaaaarrrrrgh!!! ( kau yang menyuruh!!!),” protes Ragen itu marah dan pergi meninggalkan Matthew yang masih uring-uringan.

Belum habis rasa kesalnya pada Ragen necis itu, earpiece di telinga Matthew berbunyi.

“Ya Leo”

“Cepatlah kembali, Selena demam tinggi.” Leo memberitahu dari seberang.

“Kompres dia sementara aku belum sampai,” perintah Matthew. Langsung dia mengemasi obat-obatan yang berada didepannya ke dalam ransel, tak terkecuali obat kontrasepsi yang masih dipegangnya.

***

Leo menyuruh Austin yang berada di dekatnya untuk mengambil air setelah mendapat perintah dari Matthew. Dia sendiri mencari kain bersih untuk mengompres. Austin memberikan cukup banyak air untuk Leo. Segera Leo kembali ke kamar Selena. Kondisi Selena belum berubah masih gelisah dan mengigau. Dengan hati-hati Leo meletakkan kain basah di kening Selena. Beberapa kali Leo mengganti kain dengan yang baru. Namun demam Selena masih terus tinggi hingga air yang tadinya dingin menjadi hangat. Leo berteriak pada Austin untuk membawakan air lagi. Demam Selena tak berkurang sama sekali, Leo semakin kalut sedangkan Matthew yang dihubunginya belum juga muncul.

Austin baru akan naik membawakan baskom ketiga ketika pintu depan terbuka, memunculkan Matthew yang dengan cepat naik ke atas. Ia melihat Leo berusaha untuk terus mengompres Selena. Dia mendekati mereka dan segera memeriksa Selena. Matthew membuka ranselnya untuk mengambil obat. Cepat-cepat dia mengisi suntikannya.

“Pegangi dia, Leo,” perintah Matthew, Leo langsung memegangi tubuh Selena. Selena mulai kejang di bawah pegangan Leo.

Wajah Matthew mengeras mengetahui virus dalam tubuh Selena belum hilang, bahkan dengan darahnya yang mengalir di dalam tubuh Selena.

“Leo, tinggalkan aku dan Selena” kata Matthew.

“Tapi…” bantah Leo sedih.

“Pergilah, aku akan mengurusnya,” kata Matthew dengan tatapan tajam. Berat hati Leo meninggalkan Selena dalam keadaan seperti itu.

Setelah Leo menghilang di balik pintu, Matthew memeriksa tanda vital Selena. Virus itu hampir menyebar diseluruh tubuh Selena. Manik mata Selena semakin memucat putih.

“Jangan lakukan ini padaku, Selena,” ratap Matthew pilu. Dia membuka ranselnya dan mengambil sebuah botol kecil berisi cairan biru di dalamnya. “Maafkan aku Selena, aku terpaksa melakukan ini,” putusnya. Diambilnya suntikan baru dan segera mengisinya dengan serum biru itu.

Matthew memegangi kuat lengan Selena yang mulai bergerak liar. Dimasukkannya serum hingga habis tertelan tubuh Selena. Pekikan kencang keluar dari mulut Selena. Tenaganya yang kuat memberontak pegangan Matthew hingga akhirnya terlapas. Tenaga Matthew tidak kuasa membendung kekuatan besar Selena dan saat terlepas gadis itu menyerangnya. Selena berhasil menerkam Matthew dengan mudah kini gigi-giginya menancap pada pangkal leher Matthew.

“Please Selena, berjuanglah,” ratap Matthew menerima gigitan Selena yang kuat. Dia mendekap Selena dalam pelukannya erat-erat membuat gigitan Selena semakin kuat, dari sela-sela bibir Selena mengalir darah segar. Butiran bening mengalir dikedua mata Matthew, “aku tak ingin kehilanganmu Selena,” isaknya membenamkan wajahnya di lekukan leher Selena.

Seolah merespon bisikan Matthew, perlahan gigitan Selena semakin melemah. Matthew yang merasakan itu memberanikan diri memeriksa Selena. Dijauhkan wajahnya dari leher Selena. Putih pucat mata Selena kini perlahan-lahan menghilang digantikan mata cerah Selena.

“Matthew,” bisik Selena serak sebelum akhirnya kembali menutup matanya. Pingsan.

Seolah mendapatkan air digurun, Matthew tampak bahagia. Dia menidurkan Selena hati-hati. Tanpa menghiraukan sakit dilehernya, Matthew memeriksa kembali keadaan Selena. Matthew bersyukur virus yang ada di dalam tubuh Selena hilang. Sekarang hanya menunggu gadis itu membuka matanya.

Matthew membuka bajunya, didapatinya luka gigitan dengan darah segar mengalir di sela-selanya. Saat ini dia tidak mempunyai cukup tenaga untuk meregenerasi lukanya terpaksa mengobatinya secara biasa. Perih mendera kulitnya yang terbuka ketika dia mengoleskan salep. Beruntung baginya yang telah kebal dengan virus Ragen, sehingga dirinya tak akan tertular dan kemungkinan besar Selena juga akan seperti dirinya. Agar tak ada yang melihat lukanya, Matthew mengganti bajunya dengan sweater dengan kerah tinggi yang dia temukan di almari kamar itu. Matthew mendekati Selena, ia tengah tertidur pulas. Senyum tersungging di bibir Matthew, dia tak akan kehilangan Selena lagi.

***

Baru saja memasuki rumah dengan teman-temannya yang lain, Ignis melihat tatapan kosong Leo saat menuruni tangga. Hatinya cemas, sepertinya teman-temannya juga merasakan kecemasan yang sama dengannya. Leo diam membisu hingga dia terduduk di tangga terakhir, air matanya meleleh.

“Apa yang terjadi Leo?” Tanya Ignis mendekati Leo.

Belum sempat Leo menjawab, terdengar lengkingan suara Selena menyayat hati. Semua menatap ke lantai atas. Sania yang berdiri di samping Tony langsung mencengkeram erat tangan pria itu, dia ketakutan. Tony lantas mengajaknya duduk untuk menenangkannya.

Leo yang tergugu frustasi, “apa yang dia lakukan padanya?!” tatapan Leo menyalang mendengar teriakan demi teriakan Selena. Kalau saja Ignis tak cepat menangkap tubuh Leo pastilah laki-laki itu telah lari ke atas.

“Tenanglah Leo, biarkan Matthew yang mengurusnya,” tahan Ignis.

“Dia hanya menyakitinya,” isak Leo masih berusaha memberontak pegangan Ignis.

“Percayalah padanya.”

Leo menghentikan pemberontakannya, ia menunduk terisak. “Kalau saja kau tak menghalangiku untuk menolongnya semua ini tak akan terjadi,” murka Leo, ditatap sahabatnya dengan beringas.

“Maaf Leo, nyawamu sangat penting,” kata Ignis beralasan berharap Leo mau mengerti keadaan.

“Tidak, nyawaku tidak lebih penting dari nyawanya!!!” teriak Leo, tangannya melayangkan pukulan ke arah Ignis.

Meskipun Ignis tahu apa yang akan dilakukan Leo, dia tak menghindarinya. Pukulan keras Leo meluncur tanpa ada perlawanan dari Ignis dalam sekejap pukulan itu mendarat di tembok tepat di samping Ignis. Ignis menyadari pukulan Leo tak akan mengarah padanya, setelah terdengar suara gemeretak di sampingnya dengan segera dia menangkap tangan Leo dan menelikungnya hingga Leo tak berkutik. Tony yang mengamati keduanya beranjak membantu Ignis untuk meringkus temannya yang sedang mengamuk. Ia mengikatkan tali ke tubuh Leo hingga laki-laki itu tak bisa bergerak lagi. Cara yang brutal untuk meredam amarah Leo dan mencegahnya berbuat macam-macam. Leo hanya bisa terisak ditempatnya tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.

“Apa yang harus kita lakukan padanya, kita tak mungkin mengikatnya terus,” Tanya Tony pada Ignis, melihat Leo seperti itu membuatnya trenyuh.

“Aku akan meminta obat penenang pada Matthew,” jawab Ignis. Leo sudah seperti adiknya sendiri, jadi  dia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

Ignis beranjak menuju ke atas, suasana hening. Tak ada lagi terdengar teriakan Selena. Perlahan dia berjalan menuju kamar. Dia berdiri sejenak memastikan tak mengganggu Matthew di dalam. Setelah benar-benar tak ada suara sama sekali, Ignis mengetuk pintu pelan.

“Masuk,” kata Matthew dari dalam. Ignis menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Dilihatnya Matthew duduk di samping Selena. Ignis masuk, pandangannya tak lepas dari wajah pucat Selena. Gadis itu tengah tertidur pulas.

“Bagaimana keadaannya?” Tanya Ignis.

“Dia sudah stabil sekarang, hanya tinggal menunggu siuman,” jawab Matthew.

“Syukurlah,” Ignis bernapas lega. “Oh ya, aku mau minta obat,” lanjutnya mengingat kondisi Leo.

Kening Matthew berkerut heran. “Obat apa?”

“Obat penenang. Leo sangat depresi mendengar teriakan Selena tadi. Dia sangat cemas,” kata Ignis tanpa menutupi keadaan Leo.

Matthew meraih kotak obatnya dan mengambil obat yang diminta Ignis. “Berikan secukupnya,” nasehatnya.

Ignis mengangguk paham dan mengambilnya, dia pergi meninggalkan Matthew lagi. “Jangan lupa makan,” kata Ignis dari ambang pintu mengingatkan Matthew. Pria itu tersenyum mendengarnya.

Matthew kembali duduk di samping Selena, dilihatnya napas gadis itu telah teratur. Diraihnya selimut untuk menutupi tubuh Selena. Pelan-pelan dia mengecup kening Selena. Matthew keluar meninggalkan Selena, dia butuh minum.

Dari anak tangga Matthew bisa mendengar pembicaraan Tony dengan yang lainnya. Matthew berjalan melewati Leo yang telah tidur sekarang. Dilihatnya pria itu benar-benar mengenaskan. Rambutnya berantakan, matanya sembab dan ada memar di jari-jari tangannya. Jadi itulah penyebab keributan yang didengarnya tadi meski ia mengacuhkannya.

“Jadi benar kau mencintainya juga,” gumam Matthew.

Melihat kedatangan Matthew, Ignis mengajaknya bergabung di meja makan. Dia menyodorkan makanan dan minuman pada Matthew.

“Makanlah.”

“Terima kasih.” Matthew menerima makanan dari Ignis dan duduk di depannya.

“Hai Matt, apa yang terjadi tadi?” Tanya Tony penasaran.

“Selena mengalami shock karena lukanya begitu parah,” terang Matthew.

“Sekarang bagaimana keadaannya?” Tanya Austin ikut menanyakan keadaan Selena.

“Sudah baik hanya menunggu dia siuman,” jawab Matthew disela-sela makannya.

Berita baik itu disambut napas lega semua yang mendengarnya. “Kapan dia bangun?” Tanya Tony.

Matthew menggeleng pelan, “dua atau tiga hari mungkin.”

Walaupun harus menunggu lama untuk melihat Selena bangun, setidaknya berita baik tadi cukup mengobati rasa cemas diantara mereka.

“Aku rasa ada yang berhutang maaf,” kata Ignis melirik Jimmy.

Jimmy yang masih merasa bersalah memahami sindiran Ignis. “Aku minta maaf Matthew, semua ini karena kecerobohanku,” sesalnya.

“Minta maaflah pada Selena dia yang berhak menentukan nasibmu.” Ditatapnya Jimmy sinis.

Jimmy mengangguk pasrah.

“Aku harus ke atas, keadaan Selena masih harus dipantau,” kata Matthew beranjak pergi meninggalkan teman-temannya.

Matthew berjalan gontai menuju kamarnya, lelah mendera seluruh tubuhnya sepadan dengan kerja kerasnya menyelamatkan Selena. Terkejut mendapatkan Sania menemani Selena, Matthew masuk kedalam kamar.

“Maaf, aku baru bisa menjenguknya sekarang. Aku tidak tahan melihat banyak darah,” terang Sania.

“Iya,” jawab Matthew pendek.

“Aku menjaganya selagi kau turun tadi,” ucap Sania, ia beranjak merasa sungkan dengan Matthew.

Matthew memandangi kepergian Sania hingga menghilang dari balik pintu. Sekarang hanya tinggal dia dan Selena. Direbahkan tubuhnya di samping Selena.

Dipandanginya Selena lekat-lekat. “Kau menyimpan penderitaan itu sendiri Selena,” gumamnya.

Matthew mengingat bayangan sekilas mimpi buruk Selena saat dia digigit. Bayangan kematian Sam yang dibantai seorang berjubah hitam di depan matanya. Pengalaman pahit yang sangat membekas dalam kehidupan Selena yang hampir membuatnya kalah melawan virus Ragen. Dihelanya napas panjang Matthew, digenggamnya jemari Selena yang lemah. Tak terasa Matthew menutup matanya, tidur di samping Selena.

Terpopuler

Comments

Ninin

Ninin

Matthew dan Leo berebut Selena 🤣

2021-07-28

0

lihat semua
Episodes
1 Episode 1. Chaos
2 Episode 2. New Friend
3 Episode 3. Another Time Another Place
4 Episode 4. When they meet
5 Episode 5. Gedung Solbeck
6 Episode 6. WHEN THE JOURNEY BEGIN
7 Episode 7. STUCK WITH YOU
8 Episode 8. Time To Go
9 Episode 9. Tragedy
10 Episode 10. SOUND OF DEAD
11 Episode 11. CRISIS CORE
12 Episode 12. WELCOME BACK
13 Episode 13. We Start the Journey Again
14 Episode 14. Lost
15 Episode 15. Coastal
16 Episode 16. COME BACK HOME
17 Episode 17. Soul Like Me
18 Episode 18. The Deal
19 Episode 19. The Truth
20 Episode 20. Jealous
21 Episode 21. I'm Sorry
22 Episode 22. You and I
23 Episode 23. Solar City
24 Episode 24. Is Not Good Bye
25 Episode 25. Fight
26 Episode 26. Assassins 1st Class
27 Episode 27. A STORY
28 Episode 28. I HATE SHRIMP
29 Episode 29. Night Club
30 Episode 30. Done All Wrong
31 Episode 31. The Reason
32 Episode 32. Golden Card
33 Episode 33. Spy Time
34 Episode 34. Vision
35 Episode 35. Evacuation
36 Episode 36. Escape
37 Episode 37. Monster Attack
38 Episode 38. The Darknest Side of Me
39 Episode 39. The Truth Beneath The Rose
40 Episode 40. Terrible trip
41 Episode 41. Welcome To Moonlight
42 Episode 42. Pray
43 Episode 43. Why are They Here?
44 Episode 44. Impendence
45 Episode 45. Decision
46 Episode 46. JUNGLE
47 Episode 47. FORTRESS
48 Episode 48. DREAM
49 Episode 49. CRUSH
50 Episode 50. PEOPLE FROM OUT SIDE
51 Episode 51. DEAD CITY
52 Episode 52. MEMORIES
53 Episode 53. I Hate You
54 Episode 54. Impatient Groom
55 Episode 55.Master Control Station (MCS)
56 Episode 56. Mask Man
57 Episode 57. Be A Guardian
58 Episode 58. Cloud
59 Episode 59. Leo’s Anger
60 Episode 60. Forgotten City
61 Episode 61. Friend?
62 Episode 62. Solar City Memories
63 Episode 63. Behind The Mask
64 Episode 64. Betrayer
65 Episode 65. The Stranger
66 Episode 66. Disappear
67 Episode 67. There’s No Cure
68 Episode 68. I’ll be fine
69 Episode 69. Find Hope
70 Episode 70. Make a Deal
71 Episode 71. The War Begins
72 Episode 72. This is the end
73 Episode 73. Good bye
Episodes

Updated 73 Episodes

1
Episode 1. Chaos
2
Episode 2. New Friend
3
Episode 3. Another Time Another Place
4
Episode 4. When they meet
5
Episode 5. Gedung Solbeck
6
Episode 6. WHEN THE JOURNEY BEGIN
7
Episode 7. STUCK WITH YOU
8
Episode 8. Time To Go
9
Episode 9. Tragedy
10
Episode 10. SOUND OF DEAD
11
Episode 11. CRISIS CORE
12
Episode 12. WELCOME BACK
13
Episode 13. We Start the Journey Again
14
Episode 14. Lost
15
Episode 15. Coastal
16
Episode 16. COME BACK HOME
17
Episode 17. Soul Like Me
18
Episode 18. The Deal
19
Episode 19. The Truth
20
Episode 20. Jealous
21
Episode 21. I'm Sorry
22
Episode 22. You and I
23
Episode 23. Solar City
24
Episode 24. Is Not Good Bye
25
Episode 25. Fight
26
Episode 26. Assassins 1st Class
27
Episode 27. A STORY
28
Episode 28. I HATE SHRIMP
29
Episode 29. Night Club
30
Episode 30. Done All Wrong
31
Episode 31. The Reason
32
Episode 32. Golden Card
33
Episode 33. Spy Time
34
Episode 34. Vision
35
Episode 35. Evacuation
36
Episode 36. Escape
37
Episode 37. Monster Attack
38
Episode 38. The Darknest Side of Me
39
Episode 39. The Truth Beneath The Rose
40
Episode 40. Terrible trip
41
Episode 41. Welcome To Moonlight
42
Episode 42. Pray
43
Episode 43. Why are They Here?
44
Episode 44. Impendence
45
Episode 45. Decision
46
Episode 46. JUNGLE
47
Episode 47. FORTRESS
48
Episode 48. DREAM
49
Episode 49. CRUSH
50
Episode 50. PEOPLE FROM OUT SIDE
51
Episode 51. DEAD CITY
52
Episode 52. MEMORIES
53
Episode 53. I Hate You
54
Episode 54. Impatient Groom
55
Episode 55.Master Control Station (MCS)
56
Episode 56. Mask Man
57
Episode 57. Be A Guardian
58
Episode 58. Cloud
59
Episode 59. Leo’s Anger
60
Episode 60. Forgotten City
61
Episode 61. Friend?
62
Episode 62. Solar City Memories
63
Episode 63. Behind The Mask
64
Episode 64. Betrayer
65
Episode 65. The Stranger
66
Episode 66. Disappear
67
Episode 67. There’s No Cure
68
Episode 68. I’ll be fine
69
Episode 69. Find Hope
70
Episode 70. Make a Deal
71
Episode 71. The War Begins
72
Episode 72. This is the end
73
Episode 73. Good bye

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!