Selena menatap rindu kotanya yang telah lama ia tinggalkan, lebih tepatnya sejak enam bulan
yang lalu ia pergi dan baru sekarang kembali ke kotanya. Tidak banyak perubahan sama sekali di sana. Kendaraan yang lalu lalang terbilang cukup sedikit, para penduduk di kotanya lebih menyukai berjalan kaki dari pada menaiki mobil sehingga kota itu terlihat lebih asri. Selena sengaja memilih tinggal di kota kecil yang membuatnya bisa hidup lebih nyaman, jauh dari hiruk pikuk keramaian
kota yang bising.
Diparkirkannya mobil sportnya di depan sebuah café sebelum pulang. Tak hanya rindu dengan kotanya, tapi juga merindukan masakan dicafe yang sekarang menjadi tujuannya. Selena
melepaskan kacamatanya dan tersenyum melihat sambutan dari pemilik café tersebut. Bob dan istrinya terlihat gembira melihat kedatangan Selena, mereka memang telah menganggap Selena seperti anak mereka sendiri, begitu pun dengan Selena yang bisa merasakan kehangatan mereka sebagai pengganti orang tuanya yang telah tiada.
“Hai, Selena. Kemana saja kamu selama ini?” sapa Bob yang langsung membuatkan secangkir latte
kesukaannya.
“Bekerja, Bob,” jawab Selena.
“Sampai lupa untuk pulang?” canda Bob dengan tawanya.
“Ya begitulah. Aku baru saja sampai dan langsung ke sini,” jawab Selena.
“You miss us?” tanya Istri Bob ikut bergabung.
“I miss your cheese burger.” Selena menunjuk seporsi burger di tangan wanita setengah baya
itu.
Ketiganya bercanda bersama melepaskan rasa rindu. Bob tahu pekerjaan Selena sering
memakan waktu lama, meski heran karena gadisnya itu mengatakan ia bekerja sebagai porter. Namun kenyataannya gadis itu sering pergi berbulan-bulan dengan peralatan canggih di sekelilingnya. Dan Bob pernah melihat Selena membawa bermacam-macam senjata saat pergi.
Suasana café yang lengang karena bukan jam makan siang, membuat Selena leluasa
berbincang-bincang dengan Bob dan Istrinya. Banyak cerita mengalir di antara mereka seperti kekhawatiran Bob tentang virus baru yang tengah hangat diperbincangkan di media massa. Selena yang baru kembali dari luar negeri, juga baru mendapatkan informasi saat mendarat di negaranya tadi pagi. Banyak televisi yang menyiarkan berita tersebut, tapi informasi yang mereka dapatkan terlalu minim. Tidak ada informasi bagaimana penyebaran virus itu yang mereka dapatkan, hanya berita kehancuran total setiap virus itu ditemukan di suatu daerah.
“Ini sudah satu minggu sejak virus itu ditemukan, banyak kota yang telah diisolir untuk
menanggulangi penyebaran virus Ragen” cerita Bob.
“Tenanglah, Bob. Pemerintah pasti akan cepat menagani krisis ini,” ujar Selena menghibur.
“Kita berada jauh dari pusat pemerintahan, bagaimana jika kota kita yang hancur selanjutnya?” kata Istri Bob kalut.
“Itu tak akan terjadi,” sergah Selena menenangkan dua orang tua itu.
Walau pun itu mungkin terjadi, tapi Selena tidak akan membiarkan orang-orang yang dikasihi
celaka. Cellphone Selena bergetar, ada pesan yang baru saja masuk. Misi baru dari bosnya yang harus segera dikerjakannya. Yang membuat Selena kesal, misi itu ternyata untuk menjemput seseorang. Sialnya orang tersebutlah yang membuatnya menderita enam bulan terakhir ini. Suka tidak suka ia harus mengerjakannya, menunda bukan keputusan yang tepat saat ini.
“Jika terjadi sesuatu di sini, cepatlah kalian pergi ke apatemen milikku. Seseorang akan menjemput kalian dan membawa ke tempat yang aman.” Selena menyerahkan kunci apartemen miliknya.
Bob menerimanya sedikit ragu. Ia tahu di mana apartemen Selena, tapi belum pernah ke sana.
“Dan berikan ini pada orang yang menjemput kalian,” lanjut Selena memberikan sebuah kartu
bergambar burung elang.
“Bagaimana denganmu?” tanya istri Bob.
“Well, aku harus pergi sekarang. Ada paket yang harus kuantar,” jawab Selena merapikan
bawaannya dan berdiri.
“Tidak ada libur?” tanya Bob heran, “kau bahkan baru saja sampai disini”
“Tidak ada libur untukku, Bob.” Selena tergelak, “jaga diri kalian”
Selena memberikan pelukan perpisahan sebelum beranjak keluar dari café. Ia memasuki mobilnya sebelum meluncur ke apartemennya untuk mengambil peralatannya dan beberapa senjata tambahan. Situasi sedang tidak bagus untuk menjalankan misi dengan peralatan standar yang biasa ia bawa.
Sesampainya di apartemen ia langsung memeriksa semuanya, memastikan tidak ada seorang pun yang memasuki apartemen tanpa seizinnya. Selena langsung memasukkan senjatanya dan gadgednya ke dalam ransel. Ia mungkin tidak akan punya kesempatan kembali lagi, jadi dia tidak akan menyisakan apa-apa selain dua shotgun untuk Bob dan istrinya. Tidak
sampai satu jam, Selena telah meluncur keluar kota menuju Nibelhim untuk menjemput paketnya.
Membutuhkan waktu dua hari untuk sampai di Nibelhim, meski Selena telah memacu mobilnya
dengan kecepatan tinggi. Banyak kota yang telah hancur sepanjang perjalanannya menuju kota itu, dan itu membuat Selena semakin gusar jika sampai terlambat. Semuanya akan menjadi kacau terlebih lagi, jika paketnya telah menghilang dari
Nibelhim. Ia benar-benar dalam masalah besar.
Misi yang diemban Selena bukanlah misi yang biasa ia kerjakan. Sebagai seorang Assassins
dari Shadow Hunter, menculik seseorang untuk melakukan perlindungan bukanlah bidangnya. Yang biasa ia kerjakan adalah membunuh target, dan kali ini targetnya adalah seseorang yang telah membuatnya sengsara secara tidak langsung.
Namun ia tetap harus memberikan perlindungan padanya.
Sepanjang perjalanan Selena bertanya-tanya mungkinkah pria itu akan mengenalinya saat bertemu? Pertemuan terakhir dengan pria yang dicarinya terbilang bukan pertemuan yang menyenangkan, di mana dia harus mengeksekusi mati pria itu. Meski Selena sempat ragu untuk
melakukannya, perintah bosnya tidak bisa diabaikan. Jika ia membangkang, maka
ia sendiri yang akan dianggap pengkhianat. Sebagai ganjarannya nyawanya sendiri
yang dipertaruhkan. Selena bukannya takut mati, tapi mati dalam keadaan bimbang sama saja mati konyol. Malam itu Raines datang menghentikannya, sebuah kesalahan terjadi dan itu dilakukan oleh pihak lain. Kelegaan Selena tidak berlangsung lama setelah pembatalan eksekusi, karena ia harus menerima hukuman
konyol yang membuatnya frustasi selama menjalaninya. Tentu saja Raines telah berbuat sesuatu pada pria itu, sehingga kemungkinan ia dikenali pria itu adalah nol persen.
Selena hanya bisa tersenyum kecut, mata biru es pria itu mengingatkannya pada seseorang yang
telah tiada. Ironisnya mungkin hanya dialah satu-satunya yang masih memikirkan peristiwa itu. Kebersamaan mereka pastilah hanya sekejap mata, mengingat Selena memiliki pekerjaan yang tidak pernah ada liburnya. Setelah pria itu di tangan Raines, ia mungkin tidak akan bertemu lagi dengannya dalam waktu yang sangat lama. Selena menjadi tidak yakin dengan pekerjaan yang dia jalani sekarang, sulit baginya menjalani kehidupan normalnya terutama tentang cinta. Dulu ia tidak mempermasalahkan pekerjaan karena kekasihnya adalah partnernya, tapi sekarang kekasihnya telah tiada dan ia masih belum bisa merelakan kepergiannya. Namun pria bermata biru es itu perlahan memasuki pikirannya. Ia menyumpah pelan merutuki khayalannya sendiri, bagi Selena memiliki kekasih hanya akan
menyulitkan geraknya sebagai pembunuh bayaran. Sebagai orang yang professional
dia memilih untuk tidak memikirkan hal remeh itu.
Sedikit terlambat Selena mencapai Nibelhim, kota itu tengah dilanda kehancuran. Kota yang biasanya damai itu kini berubah menjadi medan perang, para Army tengah berjuang menyelamatkan sisa kota. Tanpa mempedulikan kekacauan yang tengah terjadi, Selena melajukan mobilnya membelah kota untuk mencapai sebuah rumah di pinggiran kota. Wajahnya menjadi masam melihat keadaan rumah yang dituju,
kerumunan Ragen tengah berusaha merangsek masuk, beberapa yang menyadari kedatangannya segera menghambur menyerbu mobilnya. Kini ia sendiri yang terjebak di dalam mobil. Hal itu tidak membuatnya gentar. Memang baru kali ini
Selena berhadapan dengan makhluk-makhluk menjijikkan itu, tapi insting.pembunuhnya membuat gairah untuk menebas kepala-kepala Ragen itu membuncah.
Dengan lincah ia keluar dari mobil, seakan mendapat kesenangan baru Selena mulai membabat para Ragen yang menyerangnya dengan mudah. Ia tidak mempedulikan lagi
pakaiannya yang terciprat darah hitam, atau pun bau busuk dari tubuh Ragen setiap ia berhasil mencincang mereka. Setelah ia bersenang-senang cukup lama, akhirnya halaman rumah itu bersih dari para Ragen. Selena mencoba membuka pintu
rumah dan menggedor-gedor pintu untuk memancing sang pemilik, tetapi usahanya
tidak membuahkan hasil. Dengan geram Selena menendang pintu itu hingga terbuka, tidak ada seorang pun yang ia temui di dalam rumah itu membuat darahnya mendidih. Orang yang dicarinya telah pergi.
Erangan kesal berhasil meluncur dari mulut Selena, dengan langkah tidak sabar ia keluar
menuju mobilnya. Pekerjaannya menjadi lebih sulit, melacak orang yang bisa berada di mana saja di negara yang luas, membuat Selena frustasi. Kembali ia melajukan mobilnya menuju pusat kota, dari balik kemudi Selena bisa melihat para Army yang tengah berusaha membasmi Ragen semakin terdesak. Sepertinya justru hal itu
membuat waktunya tepat, Selena masih berusaha memadamkan kekesalannya dan kini ia bisa melampiaskan kemarahannya dengan ikut membasmi Ragen. Ia jarang memamerkan keahliannya pada orang lain tapi sepertinya kali ini boleh juga, memamerkan sedikit aksinya di depan para Army itu.
Selena mengaktifkan senapan serbu yang terdapat di mobil, sekarang di atas kap mesin
mobilnya bertengger dua senapan serbu yang secara otomatis menembaki para Ragen.
Para Army yang mendengar desingan peluru dari arah berbeda, sontak menoleh penasaran. Setidaknya bantuan kecil cukup membuat wajah mereka sedikit cerah meski masih penasaran dengan siapa pemilik mobil yang tengah membantu mereka. Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama ketika Selena keluar dari mobilnya.dengan balutan baju zirah, konsentrasi mereka terpecah antara menghadapi para Ragen
dan Selena.
“Sir…?” teriak salah seorang Army pada kaptennya.
“Abaikan dia dan fokus pada Ragen!” perintah Sang Kapten.
“But, Sir…” cemas Army itu mengetahui Assassins itu mulai berjalan mendekat ke arah mereka, bisa saja Assassins itu mencincang mereka seperti mencincang para Ragen itu.
“Lihatlah, dia hanya membunuh para Ragen,” ucap Sang Kapten meyakinkan para anak buahnya.
Meski ada sedikit ragu para Army akhirnya mengabaikan Assassins itu, dan berfokus pada Ragen. Beberapa ledakan kecil susul menyusul menguar dipendengaran mereka, Assassins
itu semakin brutal mengabisi para Ragen hingga celah di antara mereka semakin.kecil. Bagi Army kelas satu bertemu seorang Assassins membuat mereka gentar,.apalagi kalau bukan karena reputasi Assassins yang terkenal kejam dan sadis,
yang tidak akan ragu menghabisi nyawa orang-orang yang menghalanginya. Melawannya seperti hal yang mustahil meski jumlah mereka satu kompi melihat keahliannya membunuh di atas rata-rata, bahkan para Ragen yang tadinya
mengepung mereka, berkurang secara drastis hanya dalam hitungan menit.
Selena mendapatkan hujanan mata yang menatapnya horror dari para Army setelah berhasil memenggal kepala Ragen terakhir di tempat itu. Baginya itu hal yang wajar dan
membuatnya senang, setidaknya aksi pamernya berhasil membuat para Army itu memegang senjata mereka defensive saat ia berjalan mendekat. Senyum miringnya mengembang mengetahui tak ada satupun Army yang bertindak sembrono dengan menembaknya, meski semua senapan di tangan mereka mengarah padanya.
“Apakah para Army sekarang sangat tidak tahu sopan santun dengan menodongkan senjata pada
penolongnya?” tanya Selena menelengkan kepala.
Tidak ada Army yang berani berkomentar bahkan Sang Kapten terlalu terpaku dengan sosok wajah
cantik, yang terlihat setelah helm zirahnya terbuka. Selena berdecak kesal melihatnya.
“Aku rasa terima kasih sudah cukup,” lanjut Selena.
Sang Kapten yang tersadar pertama akhirnya membuka suara, “terima kasih, Nona”
“Bagus, aku sedang tidak menerima bayaran todongan senjata saat ini,” sindir Selena.
Menyadari anak buahnya masih menodongkan senjata mereka, Sang Kapten berdehem memberi isyarat untuk segera menurunkan senjatanya. Ia juga baru melihat bahwa sejak tadi Selena tidak membawa senjata apa pun di tangan.
“Bagaimana kami harus membayar anda atas pertolongannya, Nona?” tanya kapten dengan hati-hati.
“Heeh, aku rasa kalian bahkan pimpinan kalian tak akan sanggup membayarnya,” cemooh Selena
membuat sang kapten tersinggung. Namun tidak berani berbuat apa-apa, ia merasa hari ini hari paling sial sepanjang hidupnya. Mendapat tugas di kota yang hancur melawan Ragen yang hampir memangsa mereka, kini ditambah pertemuannya
dengan seorang Assassins. “tapi bukan berarti aku tidak meminta imbalan atas pertolongan yang kuberikan,” lanjut Selena.
“Jadi apa yang bisa kami berikan untukmu, Nona?” tanya Sang Kapten mencelos.
“Call me, Angel. Aku butuh tenaga ahli telekomunikasi kalian.”
Sang Kapten melirik ragu pada seorang anak buahnya, yang langsung lemas mendengarnya. Pria yang masih cukup muda itu hanya terdiam, berharap kaptennya tidak menyerahkan pada pembunuh berdarah dingin. Sialnya Army hanya manusia biasa yang juga takut mati dan pemuda itu menampakkannya di wajahnya yang terlihat putus asa. Selena yang terlatih meneliti sekitarnya langsung bisa menebak mana orang yang
diinginkannya, berkat lirikan Sang Kapten.
“Oh Boy… kemarilah!” perintah Selena pada pemuda yang telah berusaha bersembunyi, dengan lemas ia melangkah maju. “buka tabletmu dan segera hubungkan dengan satelit militer”
“Tapi itu melanggar aturan, Nona….” Kata-kata pemuda itu langsung lenyap melihat sebuah
pedang tiba-tiba berada tepat didepan wajahnya, susah payah ia menelan saliva.
“Jadi…” kata Selena mengintimidasi.
“Ba..baik.”
Dengan cepat pemuda itu membuka laptop untuk menghubungkannya ke satelit militer, meski sebenarnya hal itu illegal dilakukan di depan orang di luar pasukan Army.
Selena memperhatikan dengan seksama kerja pemuda itu, dalam hatinya ia tertawa senang
bisa bermain-main dengan para Army tingkat satu yang kebanyakan mentalnya belum terasah dengan baik. Mungkin pemuda itu masih dalam masa pendidikan, jika saja virus Ragen tidak mewabah yang memaksa militer menurunkan semua lini pasukannya mengingat sumber daya mereka yang terbatas. Meski teknologi yang dimiliki cukup mumpuni, tetapi tetap tidak sebanding dengan jumlah Ragen yang terus meningkat.
Selena mengambil alih pekerjaan pemuda itu, setelah mengetahui tablet itu telah tersambung dengan satelit militer. Setelah mengutak-atik sebentar, dalam layar tablet muncul banyak foto yang diambil dari CCTV kota itu. Dengan cepat ia
memilah gambar yang menangkap wajah orang yang dicarinya, sedikit kesal orang yang dicarinya telah pergi jauh meninggalkan kota. Pemuda yang sedari tadi memegangi tablet yang dibajak Selena tidak begitu peduli dengan apa yang dikerjakan gadis itu, ia lebih tertarik mengamati pedang yang masih berada dekat dengan kepalanya. Sang Empu masih sibuk menatap layar tablet, tapi pedang itu tetap tidak bergeming mengambang di udara tanpa ada yang memeganginya.
“Kota bagian utara mana yang paling dekat dengan Nibelhim?” tanya Selena.
Rasa takjub dan takut yang menguasai pemuda itu membuatnya tergagap mendengar pertanyaan
Selena, “eee…. Kota Uata,” jawabnya sambil mengangguk cepat.
“Good!” kata Selena dengan senyum cemerlang, mungkin ia bisa mengejar targetnya sebelum
memasuki kota Uata. Ia mengembalikan tablet itu pada pemuda di depannya yang masih melongo. “Well Boy, aku akan memberimu hadiah karena telah membantuku,” lanjut Selena.
Terkejut pemuda itu mengerang pelan sambil meringis merasakan sengatan perih di pipi kanannya, sebuah benda tajam telah berhasil meninggalkan jejak sayatan dan darah yang
mengalir perlahan keluar dari luka itu. Tentu saja ia melihat sekilas pedang yang dikagumi itu bergerak. Namun ia tidak punya kesempatan untuk mengelak dan sekarang pedang itu telah menghilang. Teman-temannya yang masih berdiri di sekelilingnya ikut terjengit karena terkejut, kaptennya pun hanya bisa membuka mulut tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
“Ingat itu Boy,” kata Selena sambil menyentuh pipinya sebagai isyarat luka yang ditorehkan pada
pemuda itu. “Kita akan bertemu lagi nanti,” lanjutnya sambil meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Army muda itu yang masih gemetar mendengar kata terakhir Selena.
Bertemu. Ia berharap tidak bertemu dengan gadis psiko itu lagi. Ia begitu lega saat gadis
bernama Angel itu terlihat manis mengotak-atik tabletnya. Namun ia tidak menyangka akhirnya akan sama dengan torehan luka yang kini mengalirkan darah di pipinya.
Selena tersenyum senang berhasil menemukan targetnya, setidaknya ia kehilangan jejak tapi lebih dari itu ia senang melihat pemuda tadi. Dengan hanya melihat bagaimana pemuda itu bekerja dengan tabletnya yang cekatan, ia bisa menilai
kualitas dari pemuda itu. Meski masih terbilang penakut menurut standar milik Selena, ia yakin jika pemuda itu mendapat pelatihan yang tepat pemuda itu menjadi asset yang berharga. Selena akan meminta seseorang untuk menculiknya
nanti untuk merekrutnya menjadi bagian Shadow Hunter. Sebagai salah satu agen terbaik, Selena memang punya wewenang untuk merekrut anggota baik dengan cara halus maupun paksaan. Toh akhirnya semua yang telah bergabung cukup setia tetap bekerja menjadi agen Shadow Hunter hingga kini.
Mobil putih itu meluncur cepat meninggalkan kota Nibelhim menuju kota Uata, Selena tidak sabar
untuk segera menculik targetnya dan menyerahkannya pada Raines. Lebih cepat ia
menyelesaikan misinya, semakin cepat ia bisa mengerjakan hal lainnya. Bertemu kakak dan adik angkatnya mungkin. Ia begitu merindukan mereka, sudah lebih dari setengah tahun ia tidak bertemu dengan mereka dan rindunya semakin menjadi
setiap harinya. Ia hanya harus sedikit bersabar lagi agar bisa segera bertemu mereka. Sedikit lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Rw Nurasajati
baru mampir nih
2021-03-19
1
💫PoPy💫
wow.... takjub bacanya
2021-03-07
1