Vote sebelum membaca😘
.
.
Malia yang sedari tadi menunggu Marc keluar itu mulai lelah, bahkan sampai jam makan siang pun, Marc belum keluar dari kamarnya lagi. Saat seorang pelayan keluar dari koridor tua itu, Malia memanggilnya.
"Sí, Señora, ada yang bisa saya bantu?"
"Di mana Marc? Dia bilang ingin keluar bersamaku?"
"Tuan Besar sedang makan obat, harap ditunggu sebentar."
"Dia sakit? Bisakah aku ke sana?"
"Tuan bilang tidak ingin diganggu untuk beberapa saat."
Malia menarik napasnya dalam. "Baiklah."
Tatapan Malia kembali terlempar keluar kaca, di mana hutan rindang gelap, hanya ada beberapa titik di mana sinar matahari bisa masuk. Terbatas, akan cahaya. Membuat Malia berpikir di sana ada banyak binatang.
"Aku merasa seperti Jean tinggal di tengah hutan."
"Maafkan aku, Malia, aku tidak bisa membuat cucuku menjadi tarzan dan berlarian dengan koteka."
Malia menengok seketika. "Marc, maaf aku tidak mendengarmu datang," ucap Malia segera mengambil tongkatnya.
"Aku hendak mengajakmu berjalan ke halaman belakang, bagaimana jika kau dibanti oleh pelayan?"
"Tidak usah." Malia berdiri dengan susah payah. "Aku bisa melakukannya sendiri."
"Baiklah jika kau memaksa." Pria tua yang dipenuhi uban itu memberi isyarat agar Malia berjalan di dekatnya. "Aku sangat suka dengan sesuatu yang berbau alam, tinggal di sini membuatku ikan akan hukumnya."
Mereka berjalan lewat pintu belakang, melewati ruang makan sebelum menggeser pintu kaca. Melewati anak tangga sebelum kakinya menginjak di rumput yang hijau dan terawat sempurna. "Aku suka tinggal di sini, sangat segar."
"Sayangnya kau akan kesulitan keluar, karena jauh dari tempat menyenangkan."
"Aku bisa meminta Norman mengantarku," ucap Malia melangkah pelan menyeret kaki kirinya yang tidak berfungsi lagi. Dengan susah payah, dia tidak ingin bergantung pada orang. "Lagipula aku tidak perlu pergi ke mana pun, aku suka tinggal di sini."
"Baguslah jika kau menyukainya, karena kau akan tinggal di sini untuk waktu yang lama."
"Aku tidak keberatan." Malia tersenyum dengan matanya yang bersinar. "Aku harap bisa segera mengisi kamar kosong di sini dengan anak-anakku."
"Bagus, aku sangat menantikannya," ucap Marc menampilkan wajah datar dengan sesekali tersenyum menakutkan. Melihat Malia yang menyeret kakinya membuat Marc senang dan bahagia, apalagi jika dia memulainya. Marc hanya menunggu Malia membuat kesalahan. "Bagaimana kalau kita duduk di sana? Berbicara di sana sambil bercerita?"
Tempat yang Marc maksud adalah kursi kayu yang berhadapan, bersebalahan langsung dengan hutan. "Tentu, di sana terlihat nyaman."
"Bangku ini sudah ada saat aku masih kecil."
"Setua itu? Berarti kau sudah lama tinggal di sini?" Malia mendesah saat bokongnya menyentuh kursi. Merasakan lelahnya berjalan penuh kesakitan, menyeret kakinya yang tidak berfungsi.
Marc mengangguk. "Ya, aku di sini sudah lama. Papa dan Mamaku menyukai hutan."
"Papa dan Mamaku juga, kami membangun rumah sedikit jauh dari pemukiman, jadi hanya ada ketenangan."
Marc tersenyum. "Ngomong-ngomong, aku dengar kau mantan penari ballet."
Malia mengangguk. "Ya, tapi aku kecelakaan dan tidak bisa lagi melakukannya."
"Maaf tentang itu."
"Tidak apa, Marc, aku baik-baik saja sekarang, Norman membuatku merasa hidup."
"Aku senang, apakah Papamu juga senang?"
"Ah iya Papaku." Malia langsung mengingat pesannya yang belum juga terkirim. "Aku tidak bisa mengirim pesan, ataupun melakukan video call, tidak ada sinyal di sini. Apakah ada sesuatu yang salah?"
"Ya, memang tidak ada sinyal di sini, Malia. Jika kau ingin mengirim pesan, kau harus ke pusat kota atau ke daerah pantai."
"Astaga, begitukah? Aku belum mengabarkan Papaku sejak kemarin."
"Minta Norman mengantarmu ke kota, dan katakan pada Papamu bahwa kau baik-baik saja."
***
Norman melepaskan borgol yang mengikat tangan Dania sebelum berdiri dan memakai kembali pakaiannya. Dania bergerak, dia hendak memeluk Norman dari belakang, tapi ingat apa yang akan terjadi, Dania memilih diam dan duduk di atas ranjang. "Apa kau akan makan malam di sini?"
"Tidak, aku akan pulang."
"Aku bisa memasak sesuatu untukmu, makanan yang selalu kau rindukan pada ibumu."
Norman diam sejenak sebelum kembali berpakaian. "Tidak."
"Apa kau ingin sesuatu? Aku bisa membawakan sesuatu untukmu."
Inilah alasan Norman masih menginginkan Dania, wanita itu memberikan perhatian yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya, yang belum tidak pernah dia rasakan, yang membuat Norman berani mengakui status bahwa Dania adalah kekasihnya yang selalu melakukan apapun yanh Norman suka. Dania rela dirinya terluka untuk menyenangkannya.
"Tidak, aku akan pulang," ucap Norman memberi ciuman di bibir Dania. "Ini kartu kredit untukmu, lakukan apapun yang kau suka."
"Kau akan membawa Malia ke pelelangan malam ini 'kan? Aku yakin Marc akan setuju.k
"Kita lihat nanti."
Dania tersenyum dia berjalan ke kamar mandi dengan susah payah, menatap pantulan dirinya di cermin yang memperlihatkan banyak lebam di tubuhnya. Bukannya sedih, Dania malah tersenyum. "Norman masih membutuhkanku, membutuhkan perhatianku, dan akan aku berikan semua yang dia inginkan."
Sementara itu, Norman menancap gas ketika melihat waktu terus berjalan. Matahari sudah berjalan ke arah barat, niatnya untuk pulang lebih cepat hilang.
Segera setelah mobil sampai, Norman masuk ke dalam mansion dengan membawa keranjang buah di tangannya. Melihat ke arah dapur, pelayan masih menyiapkan makan malam. Meyakinkan Norman bahwa Malia masih ada di kamar mereka.
"Malia?"
"Norman?" Perempuan yang sedang melukis itu menengok, menatap suaminya yang baru saja menutup pintu. "Hai, apa yang kau bawa?"
"Anggur, apa yang kau lakukan?"
"Sedang melukis, Marc membelikanku ini supaya aku bisa melakukan aktivitas."
Norman duduk di sofa, menyimpan anggur dengan tatapan terpaku pada lukisan. "Apa yang kau lukis?"
Norman memeluk Malia dari samping dan mencium bahu terbukanya. "Ini masih sketsa?" Tanya Norman lagi.
"Ya, aku baru belajar, Norman, aku belum menguasainya. Darimana kau mendapat anggur sebanyak ini?"
"Apa saja yang kalian bicarakan?"
"Tidak banyak, hanya cerita tentang aku dan Marc."
"Kau tidak buat kesalahan 'kan?"
Malia berhenti menggoreskan kuasnya, dia menengok. "Kesalahan bagaimana? Jika menurutmu aku membuat Marc kesal, aku tidak melakukannya."
Norman menarik napas, tetap memeluk Malia dari samping. "Apa yang kau pikirkan, Norman?"
"Tidak ada. Kau sudah mandi?"
"Belum, kau sudah? Aromamu wangi? Kau pakai parfume baru?"
Bukannya menjawab, Norman mengambil ponselnya dan melihat memo yang dituliskan Dania di dalamnya.
*Jangan lupa malam ini. Jika kau ingin dendamu segera berakhir, maka lakukan itu sekarang agar Don datang padamu dan memohon bersujud di kakimu, Sayang.*
Sebelumnya, Norman merasakan amarahnya kembali naik saat membaca pesan itu. Namun, pelukan Malia perlahan membuatnya tidak fokus. "Ada apa? Kenapa kau terlihat bingung?"
Norman terdiam, dia mengambil alih kuas dan menyimpannya di atas meja. "Malam ini kau akan ikut denganku keluar, Malia."
---
**Love,
ig : @Alzena2108**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Gauri Utama
Sebenarnya agak ga tega baca novel ini. Udh terbayang2 derita yg akan di lalui Malia… Walau ga tau apa yg akn terjadi, tp ada banyak singa lapar yg menunggu Malia
2022-11-28
0
♥️💕 MomSha 🌹🌹💕❤️
dari awal part sampe part ini, apapun yg ditulis selalu yg dipikirkan adalah bagaimana dengan malia?setiap berganti adegan terus az yg kepikirannya bagaimana keadaan malia.takutnya sudah mati di tangan marc aaaakkhhhh...
bikin penasaran banget.
2021-06-30
0
Ana Aryadi
selalu tegang saat baca ceritanya,,tapi suka
2021-06-09
0