Vote sebelum membaca😘
.
.
Perlahan, Norman membuka pintu kamar Marc, memperlihatkan pria tua yang sedang memandang keluar jendela kecil. Menatap hutan lewat kamarnya yang menolak direnovasi, masih mempertahankan desain lama yang begitu suram dan menakutkan. "Kakek…."
"Norman, bagaimana keadaan El Sinaloa?"
"Semua berjalan sesuai yang kau inginkan, Kakek."
"Bagus, semuanya harus kuat supaya Van Allejov tidak dapat berkutik."
Norman hanya diam memandang pria yang duduk membelakanginya. "Aku akan membawa Malia keluar."
Pria itu berhenti mengetuk jendela dengan jemarinya. "Jangan terburu-buru, Norman. Ingat prinsip hidup kita, tidak ada yang perlu dihukum jika tidak bersalah, tidak ada alasan berdiri di sisi yang benar."
Norman masih diam. Mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Marc.
"Kita biarkan Malia membuat kesalahan."
Keterdiaman Norman melanjutkan kalimat Marc yang tertahan. "Aku benar bukan, Norman?"
"Ya, kau benar, Kakek."
"Aku selalu benar, tidak ada alasan kau bisa membangkangku."
"Sí, Kakek."
Marc tersenyum miring, dia mengisyaratkan agar Norman mendekat dengan jemarinya. Pemilik manik abu itu mendekat, berjongkok dan membiarkan Marc mengusap bahunya. "Dengar, Norman, akan kita buat neraka untuk Malia, mengerti?"
"Sí, Kakek."
"Sekarang pergilah, bawa dia menggirup udara segar dan biarkan dia bahagia sesaat."
Tanpa berkata, Norman keluar dari ruangan itu. Semakin jauh dia berjalan dari kamar itu, detak jantungnya mulai kembali normal, kepalan tangannya mulai melemah dan keringat dinginnya berhenti menakuti.
Dia naik ke kamarnya, menatap Malia yang sedang mengikat rambutnya sendiri, sambil sesekali mengambil anggur yang dibawa Norman.
"Kau sudah siap?"
Perempuan itu menengok, dengan senyuman indahnya. "Sí, apa kita benar-benar akan ke pantai?"
"Kau harus melihat keindahan Puerto del Marqués." Norman mengambilkan jaket untuk Malia kenakan.
Manik itu bersinar, menatap suaminya penuh dengan rasa kebahagiaan. "Apa kita akan menginap di sana? Berapa lama?"
"Selama yang kau inginkan."
"Bisa aku menelpon Papaku di sana."
"Tentu," ucap Norman menggendong Malia, membawanya menuruni tangga.
Dan bagian favorit Malia saat Norman melakukan ini adalah mencium leher Norman, merasakan aroma maskulin suaminya, yang membuatnya merasa aman dan nyaman.
Norman menurunkannya di mobil, mengikatkan tali pengaman padanya. "Jangan banyak bergerak."
"Baiklah."
Senyuman Malia tidak pudar saat mendapati Norman memasukan dua koper ke dalam bagasi. Dikiranya, mereka akan berbulan madu. "Apa kau sudah memberitahu Marc?"
"Sí, dia sudah tahu, tenang saja."
Sepanjang perjalanan Malia tidak dapat berhenti tersenyum. Mereka melewati jalanan gelap yang dipenuhi oleh pepohonan. Hingga Malia mendapatkan ada siluet seorang pria bersenjata, senyumannya luntur. "Kenapa ada pria bersenjata di sini, Norman?"
"Mereka menjaga mansion."
"Mengelilingi? Dengan cara berada di dalam hutan?"
"Kakekku punya ketakutan tersendiri, dia menyewa orang agar tidak ada yang masuk ke jalan mansion secara sembarangan, hutan ini adalah kawasan pribadi. Dia berhak melakukannya."
Malia tahu Marc berhak melakukannya, tapi ini terasa menakutkan baginya. Membuatnya merasa ada hal janggal. Di malam yang gelap, dalam hutan yang rindang, terdapat pria bersenjata untuk menjaga mansion yang ada di tengah hutan. Membuat Malia bertanya-tanya ketakutan apa yang dialami Marc hingga dia seperti itu.
"Kenapa di mansion tidak ada sinyal?"
"Karena Kakek trauma akan masa lalu." Hanya itu yang Norman katakan, enggan menyebutkan kalau ponsel Malia saja yang tidak bisa digunakan di tempat itu.
Sampai akhirnya ponsel Malia berbunyi saat masuk ke jalan raya. "Aku mendapatkan ratusan pesan dan panggilan tidak terjawab dari Papa."
"Hubungi dia segera."
Malia segera melakukan video call, hanya dalam hitungan detik sudah terangkat. "Papa?"
'Malia, kenapa kau tidak meninggalkan pesan? Apa yang terjadi? Kenapa ponselmu dan ponsel Norman tidak aktif? Aku hampir saja pergi ke Meksiko untuk melihat keadaanmu.'
Malia terkejut oleh runtutan kata. "Maaf, Papa. Aku tinggal di Puerto del Marqués bagian dalam hutan, tidak ada signal."
'Apa kau bercanda? Biarkan aku bicara dengan Norman!' wajah Don memerah melepuh.
"Tidak, Papa, Norman sedang mengemudi. Dia bisa tidak konsentrasi. Aku baik-baik saja, kami sekarang sedang menuju teluk dan menginap di villa."
'Malia, Papa tidak suka kau menghilang begitu saja. Ini tidak benar, Papa ingin bicara dengan Norman.'
"Papa." Malia mengatakannya dengan penuh penekanan. Dia menarik napas dalam sebelum mengatakan, "Aku bahagia."
Don memejamkan matanya, dia terlihat sedang menurunkan amarahnya di sana. 'Jaga dirimu baik-baik. Jaga putriku dengan baik, kau dengar aku, Norman?'
"Sí, aku akan menjaga istriku dengan baik, sangat baik."
'Bagus, kini setidaknya aku bisa tenang.'
****
Mata cokelat itu tidak bisa berhenti mengagumi keindahan teluk di luar jendela, menunggu Norman yang membawakan cemilan untuknya.
Mendengar pintu terbuka, Malia segera menengok. "Kau tidak membawa cemilan?"
"Ayo kita ke pinggir teluk."
"Kita sudah berada di pinggir teluk, Norman."
"Maksudku membiarkan tubuh kita menyentuh pasir."
Malia terkekeh, dia merentangkan tangannya membiarkan Norman membawanya keluar. Menuruni tangga kayu sebelum kaki telanjang pria itu menyentuh pasir.
Malia menatap teluk, di mana terdapat bulan di atasnya. Malam yang cerah, banyak taburan bintang.
"Kau menggelar kain itu? Menyiapkan anggur?"
"Ya, aku melakukan ini untukmu."
Malia terkekeh, dia tertawa dan mencium pipi suaminya. "Gracias."
"Aku lakukan apapun untukmu."
Tepat di pinggir teluk, ditemani suara ombak pantai, mereka menggelar kain dengan ditemani anggur. Malia duduk di sana, membiarkan kakinya berselanjar dan menyentuh air. Sungguh menyenangkan merasakan semua ini. Penuh kedamaian, tidak ada yang memandangnya sebelah mata maupun berbisik tentang kekurangannya. Hanya ada kedamaian, dengan genggaman dari seseorang yang dicintainya.
"Apa kau suka?"
"Sangat."
"Kau ingin belajar melukis? Aku bisa mencari guru yang baik untukmu, supaya kau tidak bosan di rumah."
"Aku rasa tidak," ucap Malia menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. "Aku belum terlalu menyukainya."
"Lalu apa yang kau sukai?" Tanya Norman memberikan ciuman di puncak kepala.
"Aku suka ballet……."
Nada suara Malia merendah, membuat Norman berani mengatakan, "Kau ingin melanjutkan pengobatan? Untuk kakimu?"
"Kau tahu kakiku takkan bisa berfungsi lagi sampai kapanpun. Apa kau keberatan?"
"Apa maksudmu?"
Malia menatap Norman, pria itu sejak tadi menatapnya datar. "Aku tidak bisa berjalan sampai kapanpun, Norman. Kau mungkin akan kesal denganku, jalanku lambat, aku tidak bisa berjalan di sampingmu dan dibanggakan untuk menemui temanmu."
Norman memindahkan Malia ke dalam pangkuannya, dia memberikan ciuman dalam hingga membuat Malia menciut merasakan sensasi yang baru-baru ini dia rasakan, dan membuatnya candu.
"Aku senang kau tidak bisa berjalan, Malia."
Perempuan itu menegang. "Kau senang?"
"Ya, karena aku bisa menahanmu bersamaku. Kau tidak akan bisa lari ke manapun, Malia. Kau harus tahu itu."
---
**Love
ig : @Alzena2108**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Gauri Utama
Tanpa Norman sadari sebenarnya dianudh punya rasa sayang ma Malia. Cuma tertutupi oleh dendam dan hasutan para setan aja
2022-11-28
0
Firdawati Mamanya Nakila
bunga cinta mulai tumbuh dhati Norman..tapi dia TDK menyadarinya🥰🥰
2021-12-11
0
Ana Aryadi
aku penasaran apakah kelak malia akan bisa berjalan lagi 🤔
2021-06-09
1