Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Menatap apartemen barunya di Acapulco, Dania berdecak. "Sialan, aku harus tinggal di sini."
Demi Norman, dia rela menginjakan kaki di tempat ini. Dia tidak ingin berjauhan dengan kekasihnya itu.
"Jika Malia mati, aku akan segera pindah ke mansion itu. Aku takkan pernah rela tinggal di sini selamanya."
Mendapat telpon, Dania segera mengangkatnya. "Hallo?"
'Dania, bekerja di bar dan jadilah bartender."
Dania berdecak. "Aku tidak mau."
'Kau ingin Marc membuangmu karena tidak berguna?'
"Dengar, Dennis, aku sudah membawa Malia ke sini. Aku tidak mau bekerja."
'Kalau begitu jangan salahkan aku kau tidak bisa datang ke mansion.'
"Apa?" Tubuh Dania menegang, giginya saling beradu. "Baiklah, di mana dirimu?"
'Memeriksa bar tempatmu bekerja.'
Dania melempar malas ponselnya, dia menggerutu sebelum masuk ke kamar mandi. Di bawah guyuran shower, Dania memejamkan mata merasakan keberadaan Norman dalam imajinasinya.
Bagaimana pria itu menyentuhnya, membelainya, bahkan pukulan yang dilakukannya membuat Dania bergairah saat itu juga.
Tubuhnya yang lebam, ototnya yang terasa sakit dan kram seakan tidak kapok. Dania tidak ingin kehilangan Norman, sampai kapanpun, dirinya akan mengikat Norman hanya bersamanya. Bukan sekali Norman bermain dengan wanita lain saat bersamanya. Namun, Dania merasakan Malia adalah saingan terberatnya saat ini.
Dia tidak ingin Norman menyentuh Malia. Memikirkannya saja membuat Dania gila, hingga kepalanya mengadah, terpejam di bawah tintikan air. Norman sekan bersamanya, di sampingnya menyentuh dirinya seperti biasanya, pukulan yang dilayangkan membuat Dania semakin bergairah, hingga…. "Akh……"
Bayangan Norman mampu membuatnya menggila. "Shit! Aku harus cepat membunuhnya."
Dania berpakaian, menuju lokasi yang dibicarakan oleh Dennis. Sebuah bar yang sudah lama tidak beroperasi, banyak debu dan baru memulai renovasi. Dania masuk. "Dimana Dennis?"
"Dia ada di lantai dua, Señorita," jawab seorang yang sedang membereskan tempat itu.
Dania naik ke lantai dua, mengikuti suara yang dikenalnya. Di dalam ruangan, Dania melihat Dennis sedang berbicara di depan banyak wanita. Terkiranya ada 23 orang wanita berpakaian layaknya penjajah dompet tebal. Dengan kaki terantai satu sama yang lainnya.
"Dennis, siapa mereka?"
"Wanita yang akan bekerja di sini."
"Siapa yang membawa mereka?"
"Norman yang memesan mereka, dari Italia dan Spanyol."
Dania terdiam, menatap para wanita yang sepertinya tidak mengerti bahasa yang digunakannya. "Mereka tidak bisa bahasa Spanyol?"
"Sebagian bisa, bahasa tidak penting, yang penting mereka bisa memuaskan."
"Berapa tarif mereka?"
"Kau akan terkejut." Dennis mengisyaratkan agar Dani keluar mengikutinya. "Mulai malam ini, bar dan klab juga casino di seluruh Acapulco akan kembali menyala, aku membutuhkan bartender wanita di sini."
"Apa Norman akan ke sini nanti malam?"
"Entah, tapi aku pikir ya. Ini kali pertama tempat ini akam kembali ramai." Dennis menyangga punggungnya di pagar lantai dua. "Apa kau tahu darimana dia mendapatkan koneksi besar seperti ini? Pemasok anggur, pekerja wanita dan obat-obatan?"
"Dia punya saudara."
"Apa katamu?"
Dania berdehem. "Dia pernah masuk ke sarang Dioses La Asesinos."
"Apa ada yang tidak aku ketahui di sini?"
Dania membalas tatapan pria latin dengan kepala plontos itu. "Ya, jangan pikir kau bisa menguasai harta Marc Derullo, Norman bisa membunuhmu kapan saja, dia lebih mengerikan daripada yang kau tahu."
****
Lama Malia menanti Norman kembali. Saat bangun dari tidurnya, dia masih belum mendapati Norman. Hanya ada pelayan yang sedang membereskan pakaiannya.
"Maaf mengganggu tidurmu, Señora."
"Tidak apa, lanjutkan saja." Malia mendudukan dirinya. "Apa kau melihat Norman?"
"Tuan muda sedang bersama Tuan Marc di lantai bawah."
Malia mengerti, kedua pria itu mungkin sedang menyalurkan kerinduan.
"Apa anda perlu sesuatu, Señora?"
"Sí, bisa kau ambilkan tongkatku?"
Tongkat penyangga itu digunakannya untuk keluar dari kamar. Malia enggan mendapat bantuan, dia ingin terlihat seperti wanita normal. Namun, para pelayan berwajah tidak bersahabat itu menatapnya penuh kasihan. Malia dapat merasakan tatapan-tatapan itu.
"Anda mau ke mana, Señora? Ingin bantuanku?" Tanya seorang pelayan saat berpapasan di ujung tangga.
"Tidak perlu, aku hanya ingin menyapa Norman dan Kakeknya."
"Baiklah, anda bisa belok kanan dan masuk ke dalam koridor, setelah sampai di ujung, belok kiri. Dekat jam besar adalah kamar Tuan besar."
"Gracias."
"Sí."
Sesuai arahan, Malia menuruni tangga dengan perlahan. Tangannya yang lain memegang pegangan, sementara kaki kirinya yang tidak berfungsi dia seret agar bisa bergerak. Rasanya sakit dan sulit, tapi Malia tidak ingin keberadaannya di sini menjadi penghambat, dan dianggap sebagai beban.
Setiap pelayan yang melihatnya, pasti bertanya.
"Anda butuh bantuan, Señora?"
"No, Gracias."
"Aku bisa membawakan kursi roda untuk anda, Señora. Bagaimana?"
"No, Gracias."
"Baiklah, ada yang ingin anda makan malam ini?"
Malia berhenti melangkah saat selesai menuruni tangga. "Masak saja apa yang biasa kau masak, aku makan apapun."
"Sí."
Kembali melangkah menyusuri lorong, salah satu dindingnya terbuat dari kaca, memperlihatkan langsung pepohonan lebat. Malia benar-benar di tengah hutan. Namun, ketika berbelok ke arah kiri, tidak ada lagi kaca. Hanya ada batuan besar sebagai dinding, tersusun tanpa lapisan lagi. Seakan menjadi bagian terpisah dengan mansion, bagian ini membuat Malia merasa di abad pertengahan. Banyak lukisan kuno, guci besar dan patung hewan di dinding.
"Kenapa aku merasa sedang berada di abad pertengahan?" gumamnya berhenti di depan pintu yang dimaksud oleh pelayan. "Mereka di sini?"
Namun, saat Malia hendak mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu, dia mendengar suara Norman. "Aku anak baik, Kakek. Aku melakukan yang terbaik."
Malia mengintip, keningnya berkerut melihat Norman duduk bersimpuh, dia menunduk dengan tatapan mata kosong. Wajahnya datar, begitu pula kalimat yang keluar dari mulutnya, "Aku anak yang baik, Kakek."
Jantung Malia berdetak kencang, Norman terlihat berbeda. Auranya menakutkan, dia seakan kehilangan jiwanya, mata abu-abunya menjelaskan semuanya. "Aku anak baik."
"Bagus."
Malia kaget mendengar suara lain, dia melihat siluet seorang pria berdiri di depan Norman, sambil memegang sebuah cambuk. "Apa kau benar kau anak baik, Norman?"
"Ya, aku anak yang baik."
---
**Love,
ig : @Alzena2108**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Ahong Albantani
sprti by kakek mu psikopat Norman 🙄🙄🙄
2022-03-22
0
purnama
kasian norman tertekan ulah kakeknya
2021-09-22
1
αδIⁿtα♥
aisshh Norman
mending balik ke jaguar hitam😪
2021-06-24
1