Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Acapulco, Guererro, Meksiko.
Acapulco, Guererro, akhirnya mereka sampai di bandara. Malia yang memakai kursi roda di dorong oleh Norman.
Karena kalimat Dennis yang menyatakan, "Tus cosas serán para que Dania y yo podamos llevarlas, recordando que Dania está a bordo de tu avión. (Barang-barangmu biar aku dan Dania saja yang membawa, mengingat Dania menumpang di pesawatmu.)"
Dan akhirnya Dania harus membawa tiga koper besar dengan susah payah. Parahnya lagi, Norman tidak mempedulikan hal itu. Dia lebih banyak diam, dan berkomunikasi seperlunya pada Malia.
"Wow, ini kota tua," ucap Malia saat keluar dari bandara. Acapulco dikelilingi oleh bangunan tua Amerika Latin, bernuasa sama seperti kota tua di Spanyol. Bangunan menjulang tinggi, tapi terbuat dari batuan.
"No te dejes sorprender por la belleza de la ciudad vieja, Malia. No sabes lo moderna que es la gente aquí (Jangan terpaku oleh keindahaannya tuanya kota ini, Malia. Kau tidak tahu betapa modern nya orang-orang di sini,)" ucap Dennis sambil memasukan barang-barang ke dalam bagasi.
"Di mana pusat kota Acapulco?"
"Di sini, hanya beberapa meter dari sini kau akan menemukan sisi modern."
Dennis kembali menyela, tidak memberi kesempatan Norman bicara.
"Seberapa jauh dari Puerto del Marqués?"
"Hanya beberapa menit."
Tanpa berkata, Norman menggendong Malia masuk ke dalam mobil. Yang mana membuat Dania menghentakan kakinya kesal. Dia memasang wajah terbaik sebelum menunduk dan mengintip lewat jendela. Berkata kepada Malia, "Apartemenku di sekitar sini, sampai jumpa lagi, Malia."
"Baiklah, jaga dirimu," ucap Malia membalas dengan senyum manis.
Berbeda dengan Norman, dia lebih banyak diam saat perjalanan. Malia yang mengantuk menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, pria itu menatap tajam pada arah depan.
Ketika memasuki wilayah Puerto del Marqués, jantungnya berdebar kencang, keringat membasahi dada dan punggungnya. Setiap kedipan yang dia lakukan, mengingatkannya akan perlakuan jahat sang kakek. Norman di siksa, dia dipukul, bahkan sampai tidak makan berhari-hari.
"*Begitulah cara ibumu di bunuh, Norman! Kau harus membuka matamu!"
"Jika kau hanya bisa menangis, maka rasakanlah pukulan kau dapatkan! Cari Van Allejov! Cari Van Allejov! Kau anak tidak tahu diuntung*!"
Tangan Norman mengepal, rahangnya mengetat. Amarah memuncak, ketakutan dan juga dendam menyatu ingin segera dituntaskan. Dia tidak ingin perasaan ini, dia ingin ketakutan ini hilang.
Sampai akhirnya tangan Norman yang mengepal digenggam oleh Malia, membuat mereka bertatapan. "Ada apa, Norman?"
"Tidak ada. Tidurlah kembali."
Malia memeluk suaminya dari samping, dengan salah satu tangannya tetap menggenggam. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Norman menyeringai, mendengar kalimat itu keluar dari mulut istrinya.
Namun, tidak bisa dipungkiri, detak jantung pria itu kembali Normal saat mendapat genggaman.
"Kita sampai, Malia."
Manik cokelatnya terbuka, melihat mansion yang begitu megah. Membuat Malia terkaget, bagaimana dirinya akan tinggal di rumah sebesar ini?
"Ayo aku gendong."
"Biar aku memakai tongkat."
"Tidak, aku gendong."
"Bagaimana dengan barang-barang?"
"Pelayan akan membawakannya."
Malia melingkarkan tangannya di leher Norman, manik cokelatnya menatap ke sekeliling. Mansion itu didominasi kaca, yang membuat Malia bisa melihat dengan jelas hutan lebat di sekelilingnya. Untuk tangganya saja, itu terbuat dari kaca bening berwarna biru terang, membuat Malia benar-benar merasa di atas langit, dikelilingi hutan dan di dalam istana Elsa. Perpaduan yang sempurna.
"Di mana Kakekmu, Norman?"
"Sedang istirahat di kamarnya."
"Di mana kamarnya?"
"Di lantai pertama, kamar kita berada di lantai dua," jawabnya sambil memberikan kecupan ringan di pipi istrinya. "Kakek kesulitan berjalan, dia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya."
"Tempat ini sangat indah, banyak sekali kaca."
Apalagi saat Norman menginjakan kaki di lantai dua, ada kaca sepanjang lima meter yang menjadi dinding, membuat Malia melihat jelas ada hutan di belakang mansion. "Ini sangat indah."
"Uno con la naturaleza (Menyatu dengan alam.)"
"Kau pasti sangat suka besar di sini."
"Mansion ini telah direnovasi lima tahun yang lalu, dulu tidak nampak seperti ini."
"Seperti apa dahulu?"
"Seperti penjara," ucapnya dengan datar.
Begitupun ketika Malia memasuki kamar mereka, dinding kamar memperlihatkan langsung hutan lebat. "Hutan itu begitu lebat, bukankah indah?"
"Nikmati pemandangan ini. Aku akan mengambil barang."
Menurunkan di atas ranjang. Tangan Malia tetap menahan leher Norman, dia mengecup bibir suaminya. "Tersenyumlah, kau kembali ke rumah."
Hanya tersenyum sesaat, Norman keluar dari kamar.
"Mengapa aku merasa Norman sedikit berubah?" bergumam sendirian. "¿Cuándo fue la última vez que me felicitó con sus dulces palabras? ¿Por qué siento que es tan fría conmigo? (Kapan terakhir dia memujiku dengan kata-kata manisnya? Mengapa aku merasa dia begitu dingin padaku?)"
Mengalihkan pikiran, Malia menatap ke belakang. Hutan indah yang membuat Malia merasa tenang.
Ingat kepada Don, Malia segera mengirimkan pesan.
To : Papa💖
Papa, aku sampai di Puerto del Marqués, tempat ini indah. Norman punya mansion di tengah hutan, dan aku dengar mansion ini dekat dengan teluk yang cukup ramai. Aku rasa aku akan mengajak Norman ke sana, sudah lama aku tidak melihat pantai. Jika pusat kota di Acapulco, mereka sama dengan Madrid kupikir, hanya saja wajah mereka tidak terlalu ramah. Tapi jangan khawatir, aku suka di sini, banyak pelayan yang akan membantu. Dan aku pikir, Norman akan melanjutkan pengobatan kakiku di sini. Kau jangan khawatir, Papa.
Satu menit setelah terkirim, Malia belum mendapat jawaban. Yang membuatnya segera melakukan video call.
"Kenapa tidak terhubung? Apakah Papa sedang tidak memegang ponsel?"
Malia mengerutkan kening. "Kenapa di sini tidak ada sinyal? Apa ponselku rusak?"
Namun, itu bukanlah kebetulan belaka. Kenyataannya semua yang terjadi di Acapulco hasil dari skenario.
Seperti sekarang, Norman menatap pintu hitam dengan jantung berdetak kencang kencang. Dia membuka pintu itu perlahan, menatap sosok yang selalu membuatnya ketakutan.
"Norman…..," panggil pria yang terbaring di atas ranjang itu. "Kemarilah, Nak."
Norman mendekat. "Kakek, bagaimana kabarmu?"
Pria yang terlihat seperti mayat hidup itu membuka matanya, dia tersenyum sambil menatap langit-langit. "Aku merasakan kedatangannya. Dia di sini?"
"Ya, dia di kamarku."
"Bagus, akhirnya momen ini sampai. Ambilkan pisauku, Norman."
Pria itu melangkah menuju laci, dia berjongkok di sana. Dengan wajah datar, Norman menarik laci itu. Memperlihatkan pisau yang berjajar yang tidak asing untuknya, bagaimana mereka pernah menyakiti tubuhnya dahulu.
"Bawakan ke sini."
"Ini, Kakek."
"Tatap aku, Norman."
Manik abu itu menatap mata kakeknya. Tangan Marc terangkat, menepuk pundak Norman. "Kau anak yang baik 'kan? Kau akan menjadi anak baik 'kan?"
Pria itu mengangguk. "Aku anak yang baik, Kakek."
----
**Love,
ig : @Alzena2108**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
💖⃟🌹Ʃеᷟʀͥᴎᷤᴀᷤ🌹💖👥
kakeknya yg gila ini...Norman dimanfaatkan
2021-11-14
0
Hesti Ariani
otak norman sudah 'dicuci' sejak kecil oleh kakeknya. ditanamkan rasa sakit dan takut, sehingga bawah sadarnya hanya ada itu tujuan hidupnya.
kasihan banget hidup si norman
2021-10-25
1
Dee Na
smoga Norman sadar secepatnya yak,
2021-09-28
0