Semangat, ujian = naik tingkat.

“Fi, kejadian kemarin itu berdampak besar ya buat kampus?”

“Ya, lumayan sih, Fa. Moga-moga aja setelah Kak Darel kasih tau ke pihak wartawan, semua kembali seperti semula.”

“ngerasa bersalah banget aku jadinya.”

“Udah, Fa. Berhenti nyalahin diri sendiri. Toh itu kan juga bukan kesalahan kamu.”

“Iya, Fa.” Sahut Dhia.

Peristiwa yang dialami Nek Neni membuktikan bahwa memang keras sekali kehidupan di kota metropolitan. Kepekaan batin antar satu individu dengan individu yang lainnya perlahan mulai terkikis. Bahkan, seorang anakpun tidak tau menahu tentang apa yang sedang dirasakan orang tuanya. Memang tidak semua orang begitu. Ada yang tidak terbawa oleh arus jahat, tetapi mengikuti arus yang sesuai dengan jalurnya. Itu dikarenakan mereka punya prinsip.

“Eh iya, Fa. Kemarin anak-anak jalanan pada nyariin kamu lho,”

“jadi kangen sama mereka, Fi. Kita ke tempat mereka, yuk.”

“Sekarang?”

“Heem”

“jam segini ya mereka masih pada kerja lah Fa.”

“O, iya... Aww...”

“Jambrett... “ teriak Afi.

“Kamu gak apa-apa Fa?” tanya Dhia

“Jambrett, tolong jambrett,” Afi berteriak minta tolong. Ia pun mengejar pencopat yang dengan tiba-tiba menyahut tas Faiha tadi. Faiha dan Dhia mengikuti. Sial, jalanan di situ memang sepi, meskipun siang hari. Tak banyak warga yang membantu. Pencopet itu berhasil lolos. Ia pergi dengan dibonceng oleh teman copetnya.

“Yah, Fa. Gak kekejar jambretnya,” sesal afi.

“Astaghfirullah, uangnya sih gak seberapa, tapi HP, KTP, SIM, sama kartu ATM aku ada di sana semua.”

“ATM, Fa. Ayo ikut aku. kita blokir dulu kartu ATMnya.”

“Ah iya.”

Mereka pun pergi ke bank untuk memblokir kartu ATM Faiha.

“Fa, yang sabar, ya. Aku bener-bener gak nyangka semuanya terjadi secara tiba-tiba dan beruntun. Baru aja kamu bebas dari pnjara tas kesalahan yang gak kamu lakuin. Sekarang kamu kecopetan,” kata Afi.

“Dhia,” panggil Faiha.

“I iiya Fa,” entah mengapa panggilan lirih Faiha amat mengagetkan Dhia.

“Boleh pinjam ponselmu? Aku mau menghubungi Mas Yusuf.”

“Oh, iya ini.”

“Halo. Assalamualaikum, Mas Yusuf.”

“Waalaikumussalam. Ini Faiha?”

“Iya, Mas. Pakai handphone-nya Dhia.”

“Memangnya handphone-mu kenapa, Fa?”

“Sedang tidak bisa dhubungi, Mas. Untuk sementara waktuu inin kalu Mas Yusuf atau Ibu mau hubungi Faiha, telepon ke nomor Dhia saja ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.”

“Dhi, Fi, ayo pulang,” kata Faiha lesu. Sepertinya ia mulai lelah dengan apa yang terjadi hari ini.

“Yaudah, aku duluan ya,” kata Afi yang memang arah pulangnya tak searah dengan Dhia dan Faiha.

“Iya, Fi. Hati-hati ya.”

#

Faiha dan Dhia pun pulang menuju ke kosan mereka. Rasa lelah sungguh meliputi mereka atas kejadian yang menimpa hari ini. Akan tetapi, kita harus tetap menguat. Tetap bertahan. Jangan sampai kesedihan kita hari ini memudarkan senyuman kita untuk menyambut kehidupan baru di esok hari.

“Loh, Dhi. Pintunya kok nggak kekunci?” tanya Faiha heran ketika mereka sudah sampai di depan pintu kos.

“Masak sih, Fa. Tadi, sebelum pergi aku kunci kok,” kata Dhia yang saat itu masih duduk di sepeda motor. Faiha tak menjawab pertanyaan Dhia. Ia langsung masuk saja ke dalam kos. Segera mengecek apa yang terjadi di dalamnya.

“Astaghfirullah, kos kita berantakan banget, Dhi. Kamar aku pintunya juga kebuka,” Faiha segera memasuki kamarnya. Didapatinya kamarnya yang berantakan dan acak-acaan. Selimut jauh ke lantai. Bantal dan guling tidur tak sesuai dengan tempatnya. Lemari, laci meja dan jendela terbuka. Seperti kamar yang baru saja dimasuki maling.

“Dhi, apa kos kita kemalingan?”

“Bisa jadi, Fa. Soalnya kamar aku juga berantakan.”

“Laptop? Laptopku gak ada. Uangku di lemari kemarin ada satu juta, sekarang tinggal dua ratus ribu. Ya Allah, tega banget tuh maling nyuri uang anak kos. Nyuri di siang-siang bolong lagi.”

“Mungkin malingnya tau, Fa. Kalau siang kosan mahasiswa itu kosong. Kan kalau siang kita ngampus. Kalau malem jarang banget kan kita pergi ninggalin kos. Paling cuma bentar buat beli makanan. Kita kan ank baik-baik.”

Faiha langsung mendudukkan dirinya ke kasur. Mengusap-usap wajahnya lalu menyanggakan kepala di tangan kanannya. Dhia tiba-tiba murung. Tangannya meremas selimut yang tadi baru saja ia angkat ke kasur.

“Maafin aku, Fa,” batin Dhia. Dhia lalu mendekati Faiha, merangkul dan menepuk-nepuk pundak temannya itu.

“Sudah cek barang-barangmu, Dhi?” tanya Faiha.

“Aa, iya sudah,”

“Apa saja yang hilang?”

“Ee, yang hilang uang. Iya, uang. Udah, kamu pasti capek kan, Fa. Sekarang kamu mandi aja. Kosan biar aku yang beresin.”

“Aku bantuin, Dhi.”

“Nggak usah, Fa. Nggak papa. Nanti kalau kamu selesai mandi, aku belum selesai beres-beresnya kamu boleh bantu.”

Faiha yang sedang dalam keadaan bingung dan linglung itu mengikuti saja perintah Dhia.

#

“Suf, adikmu sudah empat hari ndak telpon. Coba ditelpon dulu.”

“Tadi, habis telpon Yusuf, Bu. Pakai nomornya Dhia.

“Loh, memang ponselnya kenapa?”

“Tadi Faiha bilang ke Yusuf kalau ngehubungi dia sementara waktu ini suruh lewat hpnya Dhia dulu, buk. Mungkin hpnya baru eror.”

“Apa iya eror? Jangan-jangan terjadi apa-apa sama adikmu.”

“Ibu, jangan berpikiran yang ndak-ndak, ah.”

“Ya siapa tau, Suf. Perasaan Ibu dari kemarin itu ndak enak.”

#

“Dhi, gimana kalau kita lapor polisi aja tentang kejadian ini.”

“Yang bener, Fa? Emang kita punya bukti apa? Di kos ini juga gak ada cctv.”

“Malingnya pinter. Dia bener-bener nggak ninggalin jejak apa-apa. Sekarang, Cuma ada uang dua ratus ribu ini. Laptop gak ada, yang buat ngerjain skripsi apa? Tas yang isinya kartu-kartu penting tadi juga dijambret,” kata Faiha yang sedang berada di dekat jendela. Ia butuh udara luar untung menenangkan pikiran.

Lagi-lagi Dhia bersikap aneh. Ia menepuk-nepuk kepala dan menggerutu.

“Dhia, Dhia. Sahabat macam apa sih kamu. Sahabat lagi susah bukannya ngurangin bebannya malah nambah-nambahin aja,” gerutu Dhia lirih.

Faiha yang melihat tindakan aneh sahabatnya itu menganggapnya biasa saja. Mungkin suasana hati Dhia juga sedang kacau, sama seperti dirinya karena mereka sama-sama kemalingan. Makanya Dhia menepuk-nepuk kepalanya sendiri. Sementara Dhia, tidak sadar jika Faiha sedang memperhatikannya.

“Maafin aku, Fa. Maafin aku,” gerutu Dhia kali ini lebih keras dari sebelumnya. Membuat telinga Faiha bisa mendengarnya.

“Apa, Dhi?”

“Ha? nggak apa-apa kok, Fa,” Dhia kaget mendengar pertanyaan Faiha. Padahal, Cuma dua kata. Akan tetapi, itu cukup mengagetkan bagi Dhia.

“Maaf? Maaf kenapa?”

“Ee, maaf karena... selama kamu pergi aku gak bisa jaga kos-kosan ini dengan baik.”

“Dhi, jangan gitu, ah. Ini semua sudah takdir tuhan, tak ada yang bisa disalahkan,” kata Faiha yang kini hatinya sudah sedikit longgar.

Terpopuler

Comments

Syahlia Aida

Syahlia Aida

Dhia? 🙄

2021-07-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!