Jawabannya Tidak. Tidakkah kamu menyesal suatu saat nanti?”

“Fa, aku boleh bertanya?” tanya Faiq memecah keheningan yang terjadi diantara mereka berdua.

“Ya.”

“Apakah jawabanmu kemarin benar-benar, benar?”

“Benar dikali benar dikali benar sama dengan benar pangkat tiga,” jawab Faiha.

“Ee, bukan seperti itu maksudnya,” kata Faiq. Ia menggaruk-garuk kepala. Padahal, tidak ada sesuatu dikepala yang gatal. Hal itu dilakukannya spontan.

“Sepertinya aku bertanya di waktu yang tidak tepat, soal-soal matematika yang diujikan tadi benar-benar memenuhi otaknya, Ya Allah aku harus bagaimana?” batin Faiq. Ia kehabisan kata-kata. Suasana hening kembali menyerbu mereka.

“Faiq, jika boleh aku menegur, sebenarnya apa yang kamu lakukan itu adalah sebuah kesalahan.”

“Tentang surat itu?”

“Iya, bukan cuma tentang itu, tapi juga perasaanmu.”

“Apa yang salah? Tentang perasaan itu sudah jadi fitrah manusia.”

“Memang, tapi dengan menyatakannya melalui selembar surat itu disaat usia kita masih semuda ini, apa itu tidak salah?”

“Aku hanya ingin menerima sebuah kepastian, Fa. Kalau kamu bilang Ya, setidaknya aku sedikit lega karena dengan itu aku tau kamu akan benar-benar menjaga sampai nanti saatnya tiba.”

“Justru jika aku bilang iya, hakikatnya kita sama-sama sedang tidak menjaga. Kita punya masa depan untuk mencapainya pasti melewati jalan yang panjang. Satu demi satu rentetan kejadian-kejadian bahkan yang membuat tercengang akan menghampiri di masa mendatang. Di sana akan kita temui banyak orang. Kita tidak tahu kan siapa jodoh kita nanti. Bahkan, sebelum menemui bisa saja maut lebih dahulu menghampiri. Ada Allah yang mengatur segalanya, kita tinggal ikut aturan mainnya. Dengan hormat, tolong lupakan saya. Anggap tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Setelah ini, kembalikan seperti dulu, kita teman biasa.”

“Yakinkah dengan kata-katamu yang terakhir. Tidakkah kamu menyesal suatu saat nanti?”

“Akan lebih menyesal jika peraturan Dzat Yang Maha Benar kulanggar. Faiq coba dengarkan, jika suratmu itu kubalas dengan persetujuan, selama belasan tahun ke depan hati kita akan saling terpaut entah sampai kapan. Padahal, selama masa itu kita bukan apa-apa, tidak punya hubungan yang sah menurut syariat. Lalu, apa bedanya dengan orang yang pacaran? Apa bedanya dengan pelaku maksiat?”

Faiq tertegun, “Benar apa yang dikatakan Faiha. Apa bedanya aku dengan pelaku maksiat. Bahkan, sekarang akulah yang sedang menjadi pelaku maksiat itu,” batin Faiq.

#

“Sore sekali pulang lombanya, Fa,” tanya Ibu setelah menjumpai anak perempuannya itu di depan teras rumah. Disitu juga ada kakek yang sedang mengasah sabit. Sabit dalam bahasa Jawa disebut juga dengan arit.

“Iya, Bu,” jawab Faiha dengan sedikit lesu.

“Yasudah, ayo masuk. Segera mandi terus makan, ya. Itu sudah Ibu siapkan.”

“Assalamualaikum,” ucap salam Mas Yusuf yang juga baru saja sampai rumah sepulang sekolah.

“Waalaikumussalam,” jawab Kakek, Ibu dan Faiha serentak.

“Baru pulang kamu, Fa?” tanya Mas Yusuf sembari menurunkan standar sepeda motor dan melepas helmnya.

“Iya Mas Yusuf,” jawab Faiha. Lalu, ia pergi masuk ke dalam rumah.

“Kenapa Faiha, Bu? kalah ya lombanya?”

Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Pertanda tidak tahu apa yang terjadi pada Faiha. Lalu, Ibu pun juga ikut masuk ke dalam rumah.

“Ndak tahu adikmu itu, pulang-pulang lesu. Mukanya lebih masam daripada buah asam,” kata Kakek.

Mas Yusuf tersenyum. “Kakek mau Yusuf bantu?”

“Ndak usah. Sebentar lagi juga selesai. Pergi mandi sana terus tanyai adikmu itu kenapa.”

“Iya kek”

Terpopuler

Comments

Syahlia Aida

Syahlia Aida

👍👍👍👍👏

2021-07-24

0

Yunita Dian Kusuma Wardani

Yunita Dian Kusuma Wardani

Barakallahu fiik

2020-03-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!