Suasana malam di balkon pondok. Bersandarkan teras Faiq merenung. Menatap langit yang indah dengan tebaran bintang-bintang. Ditemani angin malam yang terkadang dinginnya menembus hingga ke jantung. Beruntung, sang rembulan masih menyapanya dengan kehangatan yang ulung.
"Kelas 6 SD. Kalau dipikir-pikir Aku ini sudah besar, kenapa masih bertingkah seperti anak kecil saja. Bisa-bisanya kirim surat itu ke Faiha.. Faiq-Faiq..." gerutu Faiq pada dirinya sendiri, "Untung saja Faiha menolak. Benar juga. Kalau dia menjawab ya. Berarti hakikatnya kita sama-sama sedang tidak menjaga. Ya, kalau Faiq sama Faiha, kalau ternyata sama yang lain gimana? Haduh... lagi-lagi, kenapa jadi memikirkan hal seperti ini, mendingan dibuat ngaji. Caper sama ilahi rabbi agar jadi hamba yang dicintai. Ya Allah Maafkan Faiq. Perasaan ini akan coba Faiq tepis tipis-tipis hingga habis, tapi ampuni dosa-dosa Faiq, pliss..."
Faiq pun membalikkan badannya. Berniat masuk ke dalam pondok. Akan tetapi tiba-tiba Mas Nawir muncul dari dalam pondok. Hampir saja mereka bertabrakan.
“Ngapunten, Gus. Panjenengan ditimbali Abah,” kata Mas Nawir.
“Abah? Ada apa?”
“Ngapunten, kurang tahu, Gus.”
Faiq pun meninggalkan balkon pondok, bergegas menemui Abah. Terlihat Abah tengah duduk seorang diri dengan beberapa kitab tebal yang berada di sampingnya.
“Ngapunten, Bah. Abah panggil Faiq?”
“Ya, duduk sini,” kata Abah mengisyaratkan Faiq untuk duduk di sebelahnya. Faiq pun menuruti perintah Abah. Melangkah mendekati Abah dan duduk disamping Abah dengan pandangan tertunduk penuh rasa takzim.
“Faiq, Abah mau bertanya. Siapa Faiha?”
“Faihaaa.. teman sekolah Faiq, Bah,” jawab Faiq dengan sedikit heran. "Mengapa tiba-tiba Abah bertanya tentang Faiha?" batinnya, "Oh ya, surat itu...."
“Faiha itu cucunya Kakek Salim?”
“Nggih, leres, Bah.”
“Umimu temukan ini di kantong baju seragammu,” Abah menyodorkan secarik kertas pada Faiq. Ternyata itu adalah surat dari Faiq untuk Faiha. Sudah Faiq tebak. Ia lupa untuk membuangnya.
"Abah mau hukum Faiq dengan apa.. Faiq terima," kata Faiq menyesali perbuatannya.
"Faiq, Abah sudah pernah berpesan, jangan terlalu dekat sama perempuan yang bukan mahram. Boleh saja berteman, tapi harus tau batasan. Kenapa tak indahkan?"
Faiq terdiam sejenak hingga beberapa detik kemudian ia bersimpuh di kaki Abahnya dan berkata, “Faiq sadar, Bah. Faiq salah. Surat ini adalah suatu kesalahan karena dikirim di waktu yang salah. Faiq sudah bertekad, sudah berjanji juga kepada Yang Maha Kuat dan Terkuat untuk menghilangkan perasaan ini karena cinta yag haq hanya ada pada-Nya . Faiq berdosa, Bah. Peraturan Allah hampir saja Faiq langgar, Faiq menyesal.”
Tanpa tersadar linangan air mata jatuh di pipi Faiq. Ketakutan terhadap Rabbnya membuat air mata itu jatuh.
“Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah. Semoga Allah ampunkan segala dosamu,” kata Abah bijak. Tangannya mengelus-elus kepala salah satu anak laki-lakinya itu.
“Abah, bolehkah Faiq meminta sesuatu?”
“Ya.”
“Setelah ujian nasional nanti, segera kirim Faiq ke pondok pesantren tempat dulu Abah menimba ilmu. Tidak usah menunggu pengumuman kelulusan atau yang lainnya. Tentang urusan administrasi sekolah dan lain-lain ada Mas Nawir, Abah minta tolongkan ke beliau untuk mengurus semuanya.”
Abah tersenyum. Lantas menyuruh Faiq yang semula tertunduk untuk bangkit. Abah merentangkan tangannya lebar. Faiq segera memeluknya. Erat-erat ia dekap sang Abah. Pelukan Abah sungguh hangat. Menenangkan hati anaknya yang sedang tersayat. Setelah itu, Faiq pergi menuju tempat berpipa dengan lubang yang lumayan banyak. Tempat itu biasa digunakan para santri untuk berwudhu. Peci hitam yang sedari tadi melekat di kepalanya ia tanggalkan. Baju koko putihnya yang panjang ia tekuk hingga atas siku. Keran air ia nyalakan. Air mengalir dari lubang pipa. Tangan Faiq menengadah, menerima tiap aliran air yang mengalir. membasuh dan mengusapkan setiap tubuh anggota wudhu. Lalu, pergi ke masjid yang posisinya persis di samping pondok putra.
Masjid itu kali ini sedang sepi karena para santri sedang menerima pembelajaran dan menambah hafalan di pondok. Dipimpin oleh santri-santri senior, seperti Mas Nawir. Anak-anak muda kampung Pringan, seperti Mas yusuf, aka Faiha beserta kawan-kawannya biasanya juga mengikuti kegitan-kegiatan yang dilakukan oleh para santri di pondok pesantren Abah. Faiq seorang diri di masjid itu. kesepian menambah kekhusyukannya dalam berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, tiada tuhan meliankan engkau. Maha suci engkau dan sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang dzalim. Ya Allah hambamu yang faqir ini mengadu kepadamu atas sesuatu yang menimpa diriku.ampuni segala dosa-dosa ku ya rabb. Ampuni ya rabb. Ampuni ya rabb. Tiada daya dan upaya melainkan dari-Mu. Beri hambamu ini kekuatan untuk menjalankan perintah-perintahmu dan beri hamba kekuatan untuk menjauhi sejauh-jauhnya larangan-laranganmu... ” Faiq larut dalam kekhusyukan doa. Suasana malam di masjid itu benar-menar mendamaikan. Di tengah-tengah Faiq bermunajat, tiba-tiba saja ia teringat alah satu hadist Qudsi riwayat imam muslim.
Wahai hamba-ku, sesumgguhnya kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari, dan aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepadaku niscaya aku ampuni.
Faiq menangis sejadi-jadinya. Bertambalah kecintaannya pada rabbnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
sebutir debu
karena sejatinya cinta memang hanya Rabb
2022-07-12
1
Karanggede Saja
membaca novel sekalian menambah ilmu baru tau novel ini🤗
2021-12-29
1
Linggarini
cerita idealis spt ini ternyata sepi peminat nya...
2021-09-20
0