“Eh, Bu Guru, Bu Guru,” kata Didik. Seorang anak laki-laki Didik yang paling pendiam dan penurut. Ia mau disuruh apa saja oleh teman laki-lakinya. Menunggu di depan pintu untuk mengawasi jika guru datang misalnya. Sementara sebagian teman-teman lainnya ramai sendiri di dalam kelas. Jika Didik sudah memberi isyarat bahwa ada guru yang datang maka anak-anak akan kembali ke tempat duduknya masing-masing dan suasana berubah menjadi hening. Di setiap kelas baik kelas satu, dua, tiga sampai enam ada saja anak seperti Didik. Seorang anak yang bertugas mengawasi kedatangan guru di depan pintu.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”
“Selamat pagi anak-anak. Ada yang tidak masuk hari ini?”
“Nihil, Bu” jawab Dhia.
“Emangnya Nihil kemana sih Dhi? Perasaan dari kemarin gak masuk terus,” celetuk Alan.
“Haa, iya lucu, Lan, Lucu,” sahut Faiq.
“Kurangin aja nilainya, Bu. absen dua,” kata Dhia.
“Eh apaan, main kurang-kurangin nilai. Disini niat gua tuh baik gua Cuma pengen buat kalian ketawa, karena kalio kalian bahagia gua juga bahagia,” Alan membela diri.
“Prettt,” cibir Pika.
“Kata-kata lu kayak gula, Lan. Manis di bibir doang. Ujung-ujungnya bikin orang diabetes,” kata Vian, teman sekelas Alan dan kawan kawan.
“Ya kan diseimbangin porsinya. Kalau kebanyakan ya diabetes. Kalau pas sesuai porsi ya bagus buat kesehatan. Tubuh kita kan juga butuh gula. Begitu juga hati kita, terkadang perlu sedikit ucapan-ucapan manis untuk sekadar menenangkan jiwa, hiyaaa.”
“Ada ya manusia kayak gitu,” kata Pika sambil menepuk jidatnya. Heran dengan kelakuan temannya itu.
Semua yang ada di kelas tertawa. Kecuali Bu Sulimah, ia hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anak didiknya.
“Sudah-sudah. Tadi kalian sudah berdoa belum?” tanya Bu Sulimah.
“Belum, Bu,”
“Yasudah, sebelum kita belajar mari kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, mulai.”
“Sekarang, silakan dikeluarkan alat-alat sama bahan-bahan yang digunakan untuk membuat taplak mejanya. Duduk bersama kelompoknya masing-masing,ya.”
“Loh, Didik kenapa masih disitu, ayo duduk sama kelompokmu.”
“Saya belum dapat kelompok, Bu.”
“Kok bisa? Anak-anak minta perhatiannya sebentar. Ini kenapa Didik belum dapat kelompok ya? Memang kemarin Bu Sulimah suruh pilih sendiri kelompoknya, tapi masak gak ada satupun yang ngajak didik buat gabung ke kelompoknya. Kalian ini sudah kelas enam lho, Nak. Sudah besar. Kelakuannya kok masih sama seperti anak-anak kelas satu.”
“Didik biar gabung sama kelompok saya saja, Bu,” tawar Faiq.
“Oke, didik kamu gabung ke kelompoknya Faiq ya.”
“Iya bu.”
“Kenapa gak dari kemarin Didik diajak gabung ke kelompok kita, Iq?” tanya Faiha kepada Faiq.
“Aku lupa, Fa. Aku juga gak inget kalo semisal dia belum dapet kelompok.”
“Sini, dik sini. Duduk sini,” Faiq menawari Didik untuk duduk di sampingnya.
“Sekarang, silahkan mulai mengerjakan,” perintah Bu Sulimah dari depan kelas.
“Eh, ada gunting gak?” tanya Pika.
“Astaghfirullah aku lupa bawa, Pik,” jawab Faiha.
“Yaudah gak papa, Fa. Santai aja. Aku cari pinjeman gunting dulu ya.”
Tinggal Alan dan Didik yang berada di sekitar Faiha dan Faiq. Faiha rasa ini waktu yang tepat.
“Faiq, ini semalam ada kertas di dalam kain ini,” kata Faiha sambil memegang kain yang berada di tengah-tengah Alan, Didik, Faiha dan Faiq.
“Kenapa dikembalikan?”
Faiha tidak menjawab pertanyaan Faiq sepatah katapun. Ia tetap berusdaha fokus pada pekerjaannya. Menyulam mengikuti pola yang sudah tergambar di kain.
“Aku menulis ini hanya untuk mencari kepastian dan menerima sebuah jawaban.”
Gerakan tangan Faiha terhenti. “Apakah Faiq serius?” batinnya.
“Hentikan leluconmu, itu tidak lucu.”
“Aku serius, Fa.”
“Jika kamu perlu jawaban, jawabannya tidak.”
“Pekerjaan kalian sampai mana?” tanya Bu Sulimah. Kehadirannya yang tiba-tiba mengagetkan kelompok Faiq.
“Ini, bu baru disulam polanya,” kata Didik sambil melihatkan hasil sulamannya.
“Punya Didik ini teknik sulam tusuk rantai, kalau punyamu ini teknik sulam apa, Alan?” tanya Bu Sulimah karena heran melihat jahitan alan yang bentuknya tidak beraturan.
“Oh ini teknik sulam tusuk sate, Bu”
“Kamu ini bercanda terus,” kata Bu Sulimah sembari menahan tawa, “Alan boleh bercanda, tapi harus tau tempat dan waktu dan tau siapa yang sedang diajak bercanda. Untung ini Bu Sulimah yang Alan ajak bercanda coba kalau guru-guru senior. Beliau-beliau nanti bisa memarahi Alan.”
“Iya, Bu,” kata Alan seperti anak kelas satu yang langsung tunduk apabila sedang ditegur bu guru.
“Sini, ibu ajarkan teknik sulam tusuk rantai,” kata Bu Sulimah.
Bu Sulimah ini memang sangat ramah pada anak-anak. Ia penyabar sekali. Apalagi untuk menghadapi anak-anak seperti Alan. Guru-guru lain langsung menegur apabila ada anak yang bertingkah kurang sopan. Seperti yang dilakukan Alan. Tapi berbeda dengan Bu Sulimah beliau akan menegur jika memang sudah keterlaluan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Syahlia Aida
👍👍👍👍
2021-07-24
0
finza ridho diamonds
kok kok
2021-03-21
0
Yunita Dian Kusuma Wardani
Ku baca ya
2020-03-21
0