Sabr.
Desa...
Jauh dari kata hiruk pikuk kota
Tak mengenal apa itu kehidupan serba cepat
Mengerjakan sesuatu dengan laju kilat
Tebas kanan tebas kiri, tak peduli siapa yang disayat yang terpenting sesuatu ini saya dapat
Yang menetap hanyalah yang punya mental-mental kuat
Perlahan...
Satu demi satu manusia mulai tereliminasi karena nafsunya sendiri
Tak sanggup menghadapi situasi kondisi, yang lemah akan tersubstitusi, karena kekuasaan serba bebas terdistribusi
Kota metropolitan...
Seharusnya didominasi pemuda-pemuda militan
Dengan penuh tekad dan kemantapan akan mereka bela mati-matian kebenaran
Jiwa raga dipersembahkan untuk bangsa dan agama
Membela kaum lemah yang keberadaannya hampir tak terjamah
Menguatkan petinggi-petinggi yang adil agar pasaknya tak goyah
Kobaran api semangat untuk melakukan perbaikan didasarkan atas asas ketakwaan kepada Tuhan
Menebar kebaikan di bumi Rabb Semesta Alam
Percikan-percikan api semangat ditularkan kepada kawan karena berjuang sendiri sama saja bunuh diri
Angin-angin jahat mulai mengintai
Bersiap menerjang agar terjadi badai
Membuat barisan pemuda tercerai berai
Dalam hidup
Ada saja yang membuat rusuh
Menimbulkan peluh, hingga memaksa tubuh bersimpuh
Rintangan dan cobaan datang bertubi-tubi
Menghampiri tanpa ucapan permisi
Akan tetapi, perlu dipahami, bahwa itulah media untuk mendewasakan diri
Sarana agar diri ini naik tingkat
Punya jiwa kesatria yang lebih kuat
Tidak sekadar menjadi budak yang terus diperalat
#
Berangkat dari kehidupan yang tenang dan damai di sebuah desa. Terlahir seorang anak muda. Suasana sejuk pada sore hari, di gubuk yang dikelilingi hamparan sawah nan hijau jadi tempat kesukaannya. Banyak sekali inspirasi yang ditemui. Terangkai jadi sekumpulan mimpi-mimpi untuk melakukan hal-hal bermanfaat di bumi Sang Ilahi.
“Yah, Kek, di bagian sini padi-padinya banyak yang dimakan burung, bisa sedikit keuntungan panen kita nanti,” keluh Faiha sambil mengamati padi-padi yang kosong tak berisi. Badannya jongkok. Dipegangnya padi itu. Dibolak-balik, ternyata benar-benar kosong. Dahinya mulai mengerut, wajahnya cemberut.
“Ikhlaskan saja, Nduk ( Nak, perempuan ~ Bahasa Jawa ) . Padi yang disitu sudah Allah tetapkan jadi rezeki burung-burung itu dan Allah pun telah menetapkan rezeki atas kita.”
“Kakek tidak takut rugi?”
“Masih ada yang dimakan untuk hari ini saja itu sudah cukup. Lagipula, Kakek juga sudah berusaha menjaga dengan memasang orang-orangan sawah ini dan memasang plastik-plastik agar burung-burungnya takut dan tidak memakan padi, kan?”
Faiha mengangguk-angguk perlahan. Alisnya sedikit diangkat, membuat kedua matanya melebar. Ia melihat-lihat keadaan sekitar. Memang, di sekitar sawah Kakek banyak orang-orangan sawah dan gantungan plastik-plastik yang tersebar.
"Faiha, sini! duduk di samping Kakek, " Kata Kakek yang saat itu mulai mempersiapkan diri untuk duduk di gubuk. Celana hitam yang dikenakannya itu dihiasi lumpur. Kakinya tak beralas. Di bagian telapaknya ada goresan-goresan kasar. Sedangkan, pada bagian pungggung terlihat garis-garis yang memanjang akibat dari kulitnya yang mengeriput. Di samping tubuhnya tergeletak caping, tudung kepala berbentuk kerucut yang dibuat dari anyaman bambu.
"Iya, Kek," Faiha berdiri dari posisi jongkoknya. Meninggalkan sekumpulan padi-padi yang kosong tak berisi. Menuju Kakek yang sangat ia sayangi. Duduk disampingnya saja sudah bisa membuat orang bahagia. Kakek seperti memiliki energi positif yang dijalarkan kepada orang-orang disekitarnya.
"Salah satu sifat Allah itu Hayyun حي. Yang Maha Hidup. Ia juga menghidupkan serta menghidupi. Maka, Allah itu ketika menciptakan makhluknya pasti tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menghidupi. Rezeki semua makhluk yang diciptakan itu tidak akan habis sampai dia mati. Kakek ini hidup, rezekinya sudah diatur sama Allah. Burung-burung itu rezekinya sudah diatur sama Allah. Rezeki Faiha juga sudah diatur sama Allah. Maka, janganlah sekali-kali khawatir kalau dalam hidup ini kita akan kekurangan ketika perintah Allah sudah kita jalankan dan larangan-Nya kita tinggalkan," kata Kakek pada Faiha. Satu-satunya cucu perempuan yang dimilikinya.
"Rezeki semua makhluk, Kek? Makhluk itu kata Mas Yusuf tidak hanya manusia. Padahal di dunia ini manusia saja jumlahnya miliaran. Tidak sekadar miliaran, bahkan lebih. Apalagi semua makhluk. Bagaimana Allah mengaturnya?" kata Faiha polos.
"Ya itulah Maha Hebatnya Allah, Kuasanya Allah. Cara Allah dalam mengatur hidup makhluknya, termasuk rezeki itu jika kita pikir terkadang tidak masuk di akal, karena akal yang digunakan untuk berpikir itu akal manusia. Manusia itu makhluk. Akal, pikiran, dan ilmu makhluk itu terbatas, kekuasaan Allah lah yang tidak terbatas dan tidak mungkin memiliki batas. Mudah saja bagi Allah memelihara, mencukupi rezeki makhluk-makhluknya yang jumlahnya kamu bilang miliaran, bahkan lebih itu,"
"MasyaAllah, Allah baik sekali, Kek, semua makhluk-Nya diberi rezeki."
"Iya, maka kita ini harus terus berusaha untuk menjadi hamba yang beradab. Bukan malah jadi hamba yang biadab."
"Hamba yang beradab dan biadab itu yang bagaimana, Kek?"
"Hamba yang beradab itu yang manut (patuh ~ Bahasa jawa) sama aturannya Allah. Allah perintah laksanakan, Allah larang tinggalkan. Hamba yang biadab kebalikan dari yang beradab. kasarannya Ngeyelan. (eyel ~ Bahasa Jawa)."
"Oo, begitu.."
"Kakek, mau tangkap belut dulu, biar dimasak Ibumu," Kakek beranjak dari duduknya. Capingnya ia kenakan kembali di kepala. Mulai melangkahkan kaki, berjalan pergi. Faiha di gubuk itu seorang diri.
Dalam hidup, memang tidak selamanya hati bisa merasa tenang. Terkadang menyelinap rasa khawatir. Akan tetapi, rasa khawatir bisa diminimalisir dengan menajamkan pola pikir dan senantiasa mengingat pasti ada yang namanya Hari Akhir.
"Doorrr.." tiba-tiba ada suara manusia yang datang dari belakang gubuk. Ternyata itu suara Mas Yusuf, kakak Faiha.
"Ndak kaget, Wlee.. "
"Gagal ya, ngagetinnya? Kapan-kapan coba lagi, deh,"
"Suka kalau nanti adiknya jantungan terus meninggal?"
"Iyalah, kan nanti Mas Yusuf jadi cucu Kakek satu-satunya."
Faiha hanya diam, tak membalas apa yang Mas Yusuf katakan. Reaksinya jauh dari yang Mas Yusuf harapkan. Ia kira Faiha akan marah, lalu mengejarnya dan melemparinya dengan lempung. ( Tanah liat yang biasanya ditemukan di persawahan ), tapi ternyata ia hanya diam mematung.
"Mas Yusuf cuma bercanda, Fa. Jangan dianggep serius gitu dong,"
"Faiha tau, cuma kurang receh becandanya, ndak ada yang bisa diketawain,"
"Dih, sadissss."
"Tumben sudah pulang dari sekolahnya, Mas."
"Yaa, hari Jumat, pulangnya cepet."
"Oo, iya, ya."
"Untung saja tadi Mas Yusuf cepat-cepat kesini, jadi ndak ketinggalan wejangan dari Kakek."
"Loh, berarti disini sudah dari tadi?"
"Iya, pas Mas Yusuf datang, Kakek sedang kasih wejangan ( petuah, nasihat ), ndak enak nyelani, ( Menyela ~ Bahasa Jawa ) jadi Mas Yusuf tunggu saja di belakang tadi, sembari mendengarkan wejangan yang diberi," kata Mas Yusuf yang kini sedang mempersiapkan diri untuk duduk menyila di samping Faiha, mereka bernaung di bawah gubuk yang sama. Tubuhnya menghadap ke sawah.
"Kakek benar, daya makhluk itu terbatas, daya dan kekuasaan Allah lah yang tidak memiliki batas, " kata Mas Yusuf. Matanya menatap tajam pada hamparan sawah nan luas di depannya.
"Faiha, coba lihat hamparan sawah yang ada di depan kita. Di sana tak ada sama sekali halangan yang menghalangi pandangan, tapi di titik pandang terjauh apakah Faiha masih bisa melihat objek yang ada di sana dengan jelas?"
"Yang di depan-depan sini jelas, tapi jalan raya yang ada di seberang sawah itu, lampu dari kendaraan-kendaraan yang melintas saja yang terlihat," Faiha meriyip, berusaha memfokuskan pandangan.
"Lihat telapak tangan Mas Yusuf!" Mas Yusuf menempatkan telapak tangannya dekat sekali dengan mata Faiha.
"Kelihatan sih, Mas, tapi burem. Sakit liatnya." Mas Yusuf menjauhkan telapak tangannya. Masih di depan mata Faiha, tetapi dengn jarak yang berbeda. kali ini lebih jauh, sekitar 30 cm.
"Nah, ini jelas. enak dipandang."
"Oke, sekarang tutup mata Faiha."
"Ndak mau. Kenapa ndak Mas Yusuf sendiri yang tutup mata?"
"Mas Yusuf mau tunjukkan sesuatu."
"Bagaimana cara Faiha melihat apa yang ditunjukkan Mas Yusuf kalau Faiha disuruh tutup mata?"
"Sudah, tutup saja matanya, jangan banyak tanya,"
"Aaa Faiha tau, nanti kalau Faiha sudah tutup mata, Mas Yusuf mau pergi, kan? ninggalin Faiha di sini sendirian. Kalau ndak Mas Yusuf mau tangkap bekicot atau kodok terus ditaruh di depan mata Faiha biar pas Faiha buka mata, Faiha kaget. Kalau ndak..." belum selesai Faiha bicara Mas Yusuf menyela.
"Faiha! jangan sekali-sekali mengomentari sesuatu yang tidak kamu mengerti dan jangan pernah membenci sesuatu yang belum kamu pahami," kata Mas Yusuf. Sorot matanya tajam. Kali ini ia serius.
"Iya, iya.. ini ditutup matanya, tapi jangan ngerjain Faiha lho ya," Faiha memajang wajah memelas.
"Nggaaaaakkkkk,"
"Ini sudah ditutup."
"Apa yang Faiha liat?" tanya Mas Yusuf.
"Gelap, ndak kelihatan apa-apa."
"Oke, boleh dibuka matanya." Faiha pun membuka mata.
"Itu apa?" kata Mas Yusuf, tangannya menunjuk ke langit.
"Burung."
"Orang disamping Faiha ini?"
"Mas Yusuf."
"Nah, mata kita ini bisa melihat suatu objek karena ada gelombang cahaya yang masuk ke mata. Tadi, pas Faiha merem gak ada gelombang cahaya yang masuk ke mata, makanya gelap. Mata kita ini juga, hanya bisa menangkap cahaya dengan panjang gelombang tertentu saja, dengan rentang sekitar 400-750an nanometer. Objek yang memiliki panjang gelombang cahaya di luar rentang itu mata manusia tidak mampu melihatnya dan kenapa ketika Faiha lihat kendaraan yang jauh di sana cuma kelihatan lampunya aja dan telapak tangan Mas Yusuf yang Mas Yusuf deketin ke mata Faiha sampai deket banget kelihatan rada burem, itu karena ada hubungannya dengan titik dekat dan daya urai mata manusia yang memiliki batas. Kemudian, pendengaran kita. Kita bisa mendengar suara karena ada gelombang bunyi. Jika mata hanya mampu menangkap cahaya dengan rentang panjang gelombang tertentu. Maka telinga juga begitu, hanya mampu menangkap bunyi dengan frekuensi-frekuensi tertentu. Yaitu bunyi yang memiliki frekuensi dalam rentang 20-20.000 Hertz. Ini disebut bunyi audiosonik,"
Faiha masih mendengarkan Mas Yusuf dengan saksama, Mas Yusuf pun masih terus melanjutkan penjelasannya.
"Intinya mata sebagai organ penglihatan dan telinga sebagai organ pendengaran yang dimiliki manusia itu terbatas. Makanya daya makhluk itu terbatas. Untung diberi sama Allah batas, kalau ndak ya manusia nanti bisa melihat apa-apa, bisa mendengar apa-apa. Ketika kita lihat kerumunan orang yang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing saja terkadang sudah pusing. Bagaimana kalau semua kejadian di dunia dilihat secara bersamaan. Bahayanya lagi. Fa. Kalau pendengaran manusia ini tak terbatas. Semua bunyi bisa kita dengar. Semut ngobrol sama temennya kita denger, para kelelawar lagi diskusi untuk menjalankan ekspedisinya pada malam hari kita denger. Bayangkan kalau semuanya kita dengar secara bersamaan," Kedua tangan Faiha spontan memegang kedua telinganya, ternyata Ia hanyut dalam penjelasan yang diberikan Mas Yusuf.
"Sakit telinga Faiha, Mas, bising."
"Maka, itulah kekuasannya Allah. Allah sudah mengatur mata dan telinga kita dengan sedemikian rupa sehingga. Ini baru mata dan telinga belum lain-lain yang berkaitan dengan manusia dan juga baru manusia belum makhluk-makhluk Allah lainnya. Jadi, benar dan tak terelakkan kalau kekuasaan Allah itu tak terbatas, infinitely...... "
"MasyaAllah, Mas Yusuf......"
"Biasa aja, ngga usah lebay. Sampai terkesima gitu sama Mas Yusuf,"
"Sosok Bapak, pasti tidak jauh beda sama Mas Yusuf," kata Faiha lirih. Mas Yusuf yang mendengar perkataan Faiha spontan terdiam. Lidahnya kelu, tak mampu mengatakan sesuatu, tapi harus bisa, demi adiknya.
"Juga pasti pasti ndak jauh beda sama Kakek," kata Mas Yusuf dengan sedikit senyum.
"Ada apa ini sebut-sebut Kakek," kata Kakek yang tiba-tiba sudah ada samping Mas Yusuf. Tangan kanannya membawa satu ember kecil berwarna hitam.
"Eh, Kakek... Ngapunten nggih, Kek ( Maaf, ya~Bahasa Jawa). Yusuf ndak bantuin Kakek. Tadi kesini niatnya mau bantu, tapi gara-gara Faiha, terus ndak jadi."
"Loh, kok Faiha?" kata Faiha geram. Mas Yusuf ini memang selalu pintar membuat alasan.
"Wes-wes ( Sudah-sudah~Bahasa Jawa ), ayo pulang. Yusuf, bawakan cangkul Kakek!"
"Injih, Kek, ( Iya~Bahasa Jawa Krama )," Akhirnya, mereka bertiga berjalan pelan untuk pulang. Melewati sebuah pematang. Kakek berada di garda terdepan, memimpin barisan. Dibelakangnya ada Faiha, kemudian Mas Yusuf. hujan tidak turun satu bulan ini, membuat pematang itu mudah untuk dilewati.
"Mas Yusuf, tadi Mas Yusuf bilang mata manusia bisa melihat karena ada gelombang cahaya yang masuk dan tidak sembarang gelombang yang bisa dilihat, hanya gelombang cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu saja."
"Iya, kenapa?"
"Malaikat Allah ciptakan dari apa?"
"Dari nur atau cahaya"
"Tampak oleh mata manusia?" tanya Faiha serius.
"Tidak."
"Mas Yusuf! Kalau begitu keberadaan malaikat bisa dijelaskan secara ilmiah. Mungkin Allah ciptakan malaikat dengan panjang gelombang cahaya yang tidak bisa dijangkau oleh mata manusia, sehingga malaikat itu gaib, tidak kasat mata, tetapi keberadaannya benar-benar ada."
"Emm, Faiha mau Mas Yusuf terangkan sesuatu lagi?"
"Mau-mau," jawab Faiha bersemangat.
"Berdasarkan panjang gelombang, cahaya tampak yang bisa dilihat manusia itu di bawahnya ada sinar ultraviolet dan di atasnya ada sinar infrared atau inframerah. Kedua sinar ini tidak bisa dilihat oleh manusia secara kasat mata. Faiha tahu hadis Nabi yang menjelaskan bahwa ayam jantan bisa melihat malaikat?"
"Iya, Ustadz Zaenurri pernah menerangkan,"
"Pada tahun 2010 ada sebuah penelitian yang dipaparkan dalam jurnal Public of Science ONE. Publikasi ilmiah ini sempat menghebohkan sejumlah situs berita di Arab. Sejumlah blog berbahasa Arab mengulas hasil penelitian ini lengkap dengan perbandingannya dengan salah satu hadis Nabi yang dikutip dari Kitab Hadis Riwayat Imam Bukhari dan Muslim.
'Bila engkau mendengar suara ayam jantan maka mintalah karunia kepada Allah karena ia melihat malaikat, sedangkan bila engkau mendengar ringkikan keledai, maka berlindunglah kepada Allah dari setan karena dia melihat setan,'
Penelitian itu menyebutkan bahwa, ayam mempunyai kelebihan yang tidak ditemukan pada hewan lain. Kelebihan itu adalah kerucut retina tambahan yang tidak ada pada mata manusia,"
"Kerucut retina itu apa, Mas?"
"Dengarkan dulu Mas Yusuf bicara, jangan dipotong!"
"iya-iya.. maaf."
"Ilmuan di Washington University, Dr.Josep Corbo, menyebutkan kemampuan mata untuk melihat warna berasal dari sel cahaya khusus yang ditemukan di retina. Sel-sel ini disebut sel kerucut. Datang dalam berbagai rasa yang masing-masing dapat mendeteksi panjang gelombang cahaya yang berbeda. Kerucut retina inilah yang mampu menganalisa dan membedakan warna tambahan. Manusia memiliki tiga jenis kerucut yang memungkinkan kita untuk melihat warna-warna dasar yaitu merah, hijau dan biru. Namun, sosok ayam itu memiliki kerucut ekstra untuk melihat warna dari spektrum yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Terlebih lagi, kerucut ayam ini didistribusikan secara merata di seluruh retina, sehingga meningkatkan kemampuan untuk melihat warna di seluruh bidang visual mereka. Jadi, terbukti bahwa ayam bisa melihat malaikat sebagai suatu sinar lain dari spektrum cahaya yang tidak dapat dijangkau oleh mata manusia. Wallahu a'lam."
"Amazing! Mas Yusuf bisa tahu hal-hal seperti itu darimana?"
"Dari membaca. Faiha banyak-banyaklah membaca agar luas cakrawala penegtahuannya. Kalau Faiha sudah tahu bahwa memang ilmu itu sangatlah luas cakupannya, maka Faiha akan sadar bahwa alangkah bodohnya diri ini dan segala puji bagi Allah yang Maha luas ilmu-Nya. Dengan begitu, kita bisa selamat dari hati yang meninggi nanti, alias terhindar dari sifat sombong."
Kakek yang sedari tadi tidak sengaja mendengar percakapan Faiha dan Mas Yusuf tersenyum. Rasa syukur muncul di dalam hati karena diberikan cucu-cucu seperti ini.
#
“Mlayu Fa, mlayu! (Lari~Bahasa Jawa) ” sorak Alsha.
“Gembung, Iq,” teriak Pika.
Meleset. Bukannya tidak kena, tapi memang sengaja tidak dikenakan. Padahal, Tim Faiq sudah banyak menaruh harapan. Tinggal satu langkah. Jika gembungan bola Faiq mengenai Faiha, maka nasib Tim Faiq akan berubah seratus delapan puluh derajat. Dari yang semula tim penjaga menjadi tim pemukul.
“Gimana to, Iq? Jaraknya tadi kan dekat, kenapa tidak kena?” protes Pika, seorang yang sangat ambisius dalam permainan kasti sore ini.
"Bisa saja bola itu tadi mengenai Faiha kalau Faiq mau. Faiq memang sengaja tidak mengenakannya. Iyo to, Iq? (iya kan?~Bahasa Jawa)," celetuk Alan, teman dekat Faiq. Dia memang banyak tahu tentang Faiq. Sementara Faiq hanya tersenyum kecil mendengar apa yang tadi Alan katakan.
Warna langit disebelah barat mulai memerah. Orang Jawa menyebutnya dengan sandyakala. Sandyakala berasal dari kata sandy dan kala. Sandya=sandi berarti samar-samar, sedangkan kala berarti waktu. Jadi, sandyakala adalah waktu atau saat dimana suasana mulai samar-samar. Sandyakala menunjukkan ketika hari sudah menjelang malam. Saat matahari mulai tenggelam dan warna bumi berubah menjadi merah jingga. Orang-orang kota menyebutnya dengan senja.
Dari jauh, datang seorang pemuda bersarung dan berpeci khas anak santri, mengendarai sepeda jengki dengan ukuran ban 28 inci. Sepeda kuno yang terkenal masyhur pada masanya. Umum digunakan pada zaman Hindia Belanda. Sekarang, orang menyebutnya dengan sepeda tua dan orang-orang tua lanjut usialah yang biasa memakainya. Untuk pergi ke masjid, sawah atau sekadar pergi ke warung. Bercengkerama dengan teman-teman sebaya. Mengenang masa muda.
“Sudah mau magrib, Gus. (panggilan untuk anak laki-laki kiai di Jawa) nggo kondur (mari pulang~Bahas Jawa Krama),” kata pemuda itu.
“Ya,” jawab Faiq.
Faiq dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan yang agamis. Ayahnya seorang kiai, K.H Abdul Malik. Para santri dan orang-orang kampung sekitar biasa memanggil beliau Abah. Abah mendirikan pondok pesantren yang bangunannya tepat berada di sebelah timur sekolah dasar negeri tempat kini Faiq menuntut ilmu. Faiq memiliki sebelas saudara. Ia adalah anak ke-tujuh. Sebelum mengirimkan anak-anaknya ke pondok pesantren untuk menuntut ilmu agama, meneruskan jejak langkah para ulam, Abah menyekolahkan mereka di sekolah negeri samping pesantrennya itu terlebih dahulu. Toh, sekolah negeri itu jaraknya juga dekat dengan pesantren Abah. Para siswa dipulangkan bakda zuhur. Dengan begitu, anak-anak beliau masih tetap mempunyai banyak waktu untuk mengaji.
"Teman-teman! Faiq pulang dulu ya," pamit Faiq pada teman-temannya.
"Iya, Iq."
Kehadiran pemuda yang tadi menjemput Faiq membuat wajah anak-anak yang wajahnya semula ceria menjadi suram. Bagaimana tidak, kehadirannya menjadi tanda dari berakhirnya permainan kasti yang sedang mereka mainkan dengan penuh semangat, kegembiraan, dan tawa sore ini.
"Besok setelah pulang ngaji, main lagi ya," teriak Alan, "setengah lima mulai."
"Siap, insyaAllah," sahut semua anak-anak dengan penuh semangat.
Sepeda ontel anak-anak yang berjejer di dekat lapangan mulai dikendarai pemilik-pemiliknya untuk dibawa pulang ke kandang. Sepeda anak-anak yang mulai mengenal dunia luar itu memiliki berbagai macam bentuk nan lucu. Ada sepeda yang setangnya di kebawahkan dan bagian boncengan belakangnya dinaikkan. Ada juga yang sengaja membeli minuman kemasan gelasan, kemudian kemasan gelasnya itu ditempatkan di ban bagian belakang. Hal itu dilakukan agar ketika dikayuh sepeda ontelnya bersuara seperti sepeda motor milik orang dewasa. Jangan ditertawakan, ini adalah salah satu kreativitas anak negeri yang patut diberi apresiasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Bi'i 💜
aku suka novel yg sarat dgn pesan moral seperti ini..the best author 👍
2022-05-31
1
Lia Anisa
bagus kk novel nya.dsni masih ad yg naik sepeda d kasih aqua gelas.klo pada sepedaan rame poll
2021-08-11
1
Syahlia Aida
👍👍👍👍
Baru mampir
2021-07-24
0