Skripsi yang tak kunjung jadi

Tok..tok..tok..

“Faiha, ini Dhia. Buka pintunya dong.”

“Iya, Dhi, bentar.”

“Baru nyampe juga kamu, Fa.”

“Iya, nih.”

“Tapi, udah mandi kan?”

“Yaudahlah,”

“Kok hidungnya masih ada?”

“Serah dah, Dhi.”

“Iya-iya, Fa. gitu aja kok ngambek si,”

“Sore banget kamu pulangnya, Dhi?” Faiha melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore.

“Iya, Fa. Tadi nugas dulu bareng temen-temen. O ya, malem ini aku tidur disini, ya, Fa.”

“Kamarmu kenapa?

“What’s wrong with your room?”

“Kamarku berantakan. Mau bersihin ogah, Fa. Tadi kegiatanku di kampus banyak banget. capek, tapi tenang. Besok kuliahku libur. Jadi bisa bersihin kamar deh.”

“Hemm, ya deh.”

Dhia. Takdir menuntunnya untuk kuliah di kota yang sama dengan Faiha. berbeda dengan Pika, dia yang awalnya ingin sekolah ke kota metropolitan berubah pikiran. Ia lebih memilih kuliah di universitas di kota yang masih dekat dengan kampungnya. Walaupun, Dhia dan Faiha kuliah di kota yang sama, tapi kampus dan jurusan mereka berbeda. Karena merasa senasib dan sepenanggungan, mereka pun sepakat untuk mencari kos bersama dan tinggal di kos yang sama. Dhia masih seperti dulu. Tubuhnya besar. Pipinya cabi. Ada satu yang beda. Kini di wajahnya bertengger kacamata bundar berwarna ungu muda.

Azan magrib berkumandang. Faiha segera meraih segelas air putih di meja dekat kasurnya lalu duduk dan meminumnya. Puasa sunah senin kamis selalu berusaha dijalankan Faiha. Kakek, Ibu, dan Mas Yusuf yang mengajarinya. Puasa senin kamis dianjurkan oleh agama. Selain itu, membuat tubuh lebih sehat. Tidak hanya jasmani, tetapi juga rohani. Puasa juga mengajarkan kita untuk hidup prihatin. Di luar sana masih ada banyak anak yang menangis kelaparan karena orang tuanya tak sanggup membelikan makanan.

“Seger banget dah ni badan,” kata Dhia yang baru saja keluar dari mandi.

“Yuk sholat, Dhi.”

“Bentar, Fa,” “krucuk-krucuk,”

“Suara apa tuh?”

“Perutku, Fa. Laperr. Gue makan dulu ya daripada nanti pas salat kebayang makanan.”

“Ganjl dulu pake ni roti,” kata Faiha sembari menunjuk roti yang ada di samping gelas berisi air putih yang tadi diminum Faiha, “Aku wudu dulu.”

“Hemm.”

Dhia pun memakan roti hingga habis lalu beranjak menyusul Faiha. Mereka salat berjamaah dan mengaji bersama-sama. Faiha menyimak Dhia yang bacaan quraannya masih sedikit terbata-bata. Meski sama-sama berasal dari kampung yang agamis, tapi tak semua penduduknya pandai mengaji. Faktor keluarga dan kesadaran diri untuk mempelajari agama juga sangat menentukan. Dhia dulu sempat mengaji di tempat ustadz Zaenurri bersama-sama Faiha dan teman-temannya. Akan tetapi, ayahnya tidak mengizinkannya untuk mengaji lagi. Ayah Dhia seorang preman kampung dan pemabuk. Pernah suatu saat Dhia kecil menyuruh ayahnya berhenti untuk menjadi pemabuk.

#

“Ayah, maaf. Ayah jangan suka mabuk-mabukan. Itu ndak baik,”

“Siapa bilang?”

“Hal itu dilarang agama Yah.”

“Alah. Kamu itu masih anak kecil. Tau apa soal agama.”

“Dhia mengaji Yah.”

“Hidup-hidup ayah, kamu gak usah sok ngatur-atur Ayah”

“Tapi kita hidup di buminya Allah yah. Jadi harus siap diatur sama peraturannya Allah.”

“Dhia!” sentak Ayah Dhia sambil menggebrakkan tangannya ke meja. “Udah pinter ngomong sekarang kamu, ya. Ayah suruh kamu mengaji itu agar kamu patuh sama orang tua. Bukan malah bantah ayah, sok nasehat-nasehatin ayah. Mulai besok kamu nggak usah ngaji. Kalau kamu tetep ngeyel habis si Zaenurri ditangan Ayah.”

Ternyata Faiha dan Dhia mengaji cukup lama. Mungkin saking semangatnya Dhia. Dhia rindu suasana semakan ngaji seperti ini. Di telinga keduanya terdengar suara azan Isya’yang menggema di bumi. Akhirnya mereka melanjutkan melaksanakan salat Isya’ menghadap sang Ilahi.

“Aku mau tidur ini, Fa. Ngantuk banget.” kata Dhia sembari melepas rukuhnya.

“Iya Dhi, kamu duluan aja.”

“Oke,”

Faiha mulai membuka laptopnya. Berniat mulai mengerjakan skripsi. Lagi-lagi, belum ada inspirasi. Layar laptop itu masih putih bersih. Belum ada satu huruf pun yang terukir di sana. Faiha mengetik huruf a lalu dihapus.lalu huruf s dan dihapus lagi. Ketik lagi, hapus lagi. Ketk lagi, hapus lagi. Kepalanya kini kian berat. Faiha menunduk bersanggakan meja. Awalnya ingin rehat sebentar, tapi akhirnya keblabasan. Faiha ketiduran.

Terpopuler

Comments

Syahlia Aida

Syahlia Aida

👍👍👍👍

2021-07-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!