"Gus, sedang buat apa?"
"Mas Nawir! mengagetkan saja," kata Faiq tersentak. Dengan cepat ia membereskan kertas-kertas yang bercecer di depannya.Faiq seperti tak mau Mas Nawir tahu apa yang sedang ditulisnya.
"Hehe, ngapunten,Gus (Maaf~Bahasa Jawa) Lagian Gus Faiq serius sekali, memangnya yang ditulis apa, to? Sini tak pirsani (Sini, biar saya lihat~Bahasa Jawa)," kata Mas Nawir.
"Eh, jangan-jangan," tolak Faiq. Kertas yang tadi digenggam oleh tangan kanannya kini dipindah ke sisi badan sebelah kiri karena Mas Nawir mulai mempersiapkan diri untuk duduk di sebelah kanan Faiq. Bagi Faiq, kertas itu teramat keramat. Perlu dijaga karena ini rahasia. Lebih rahasia daripada kertas soal ulangan semester yang bertuliskan 'dokumen rahasia negara' di pojok atas sebelah kiri.
"Kertas yang akan menghasilkan nilai untuk dituliskan di rapor saja dilindungi negara, apalagi kertasku ini, kertas yang akan menghasilkan keputusan untuk keberlangsungan hidupku di masa depan," batin Faiq, "tak ada yang boleh mengetahui isinya kecuali aku, dia, dan Dia."
"Mas Nawir," panggil Faiq.
"Nggih? (ya?~Bahasa Jawa)"
"Mas Nawir, nate remen kaliyan tiyang estri? ( Mas Nawir pernah suka sama anak perempuan?~Bahasa Jawa)" tanya Faiq membuka obrolan antara ia dan Mas Nawir malam ini.
"Kenapa tiba-tiba panjenengan (Kamu, Anda~Bahasa Jawa Krama) tanya seperti itu, Gus?" jawab Mas Nawir terkejut. Selang beberapa detik kemudian ekspresi wajah Mas Nawir berubah menjadi cengar-cengir, "Wah jangan-jangan.................." lanjut Mas Nawir.
"Sudah, jawab saja pertanyaan Faiq," potong Faiq. Ia tahu pasti Mas Nawir akan menggodanya. Mata Faiq melirik ke arah Mas Nawir sejenak, lalu pandangannya ia alihkan ke langit. Entah mengapa langit malam ini seolah memiliki magnet yang menarik pandangan Faiq.
"Haha, Nate, ( Pernah~Bahaasa Jawa)" jawab Mas Nawir.
"Terus?"
"Nggih mpun (Ya sudah~Bahasa Jawa)."
"Eemmm, Mas Nawir tidak coba menyatakan perasaan ke dia?" tanya Faiq. Tangan kanannya menggaruk kepala dengan alis sebelah kiri yang sedikit terangkat, sedangkan Mas Nawir, bibirnya tersenyum, menyungging kecil. Sepertinya ia sadar bahwa anak kiainya ini sedang dilanda masalah hati. Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, anak kecil yang sejak kecil selalu lengket dengan dirinya ini, kini telah beranjak remaja.
"Mboten, Gus. ( Tidak, Gus~Bahasa Jawa)"
"Kenapa?"
"Lare estrine mboten remen kaliyan kulo, ( anak perempuan itu tidak suka sama saya~Bahasa Jawa)" jawab Mas Nawir dengan cekikik.
"Tau darimana? Kan belum dinyatakan perasannya."
"Perasaan sayaaaa, bilang seperti itu, Gus." Jawab Mas Nawir dengan cekikik yang lebih keras dari sebelumnya.
"Ah, Mas Nawir bercanda saja," timpal Faiq kesal, tapi ia sendiri tidak kuasa untuk menahan tawa. Mas nawir sedang tidak berekspresi saja mukanya sudah membuat orang ingin tertawa. Apalagi kini ia sedang tertawa. Anak-anak santri lain bilang Mas Nawir ini memang punya wajah-wajah dagel.
"Lare jaler remen kaliyan lare estri niku wajar. Malah bahaya menawi lare jaler remen kaliyan lare jaler. Niku malah mboten dibeneraken dening syariat. Tentang hal-hal dan perasaan seperti itu semuanya dikembalikan kepada diri kita, Gus. Bagaimana cara kita mengelolanya. Maka, penting sekali kita belajar agama agar diri kita ini selamat."
"Memangnya, bagaimana cara mengelolanya?" tanya Faiq dengan polosnya.
"Yaa.. dikembalikan pada syariat, Gus. Biarkan saja dulu. Diamkan. Kalau bisa hilangkan. Jangan dipupuk atau disiram agar bertambah mekar. Jika sudah waktunya baru dinyatakan. Sayang, jika seorang pemuda waktunya ia habiskan untuk memikirkan hal yang pasti telah ditentukan untuknya. Mendingan dibuat ngaji to."
Tak merespon apa-apa. Faiq hanya manggut-manggut mencerna apa yang disampaikan oleh Mas Nawir, Hubungan Mas Nawir dan Faiq memang sangat dekat. Ibarat kakak dengan adik. Mereka tak punya hubungan darah tapi serasa sedarah karena dari kecil, Mas Nawirlah yang mengurusi Faiq.
"Yang ndak dibolehkan itu pacaran, tapi jika menyatakan agar dia tau? karena mungkin setelah ini kita akan lama tidak bertemu.. kan ndak pacaran, orang jauhan, agar sama-sama saling menjaga saja, " batin Faiq.
"Gus, nggo ngaos riyen," Ajak Mas Nawir, membuyarkan lamunan Faiq.
"Nggih,"
Keduanya beranjak dari balkon pondok lantai atas. Dari balkon itu ketika malam hari akan tampak rembulan yang memancarkan cahayanya dan bintang-bintang yang berkedip menyapa setiap pasang mata. Anak-anak santri menggunakan balkon itu sebagai tempat mengagumi ciptaan Tuhan-Nya. Sepasang mata menangis karena takjub. Sepasang mata lainnya menangis karena kerinduan akan ibu bapak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Linggarini
cerita beda dr yg lain krn mengangkat budaya nyantri n pesantren...
2021-08-25
2
Syahlia Aida
👍👍👍👍 sip
2021-07-24
0
Dulur Cedak Mu
wah makin seru ya
bisa menguasai hati pembaca 🤩🤩
2021-06-21
2