Ngaji. Ora bakal rugi tiyang ingkang ngempenake ngaji.

Sekolah Dasar Negeri 1 Pringan adalah salah satu sekolah dasar negeri yang terletak di Desa Pringan. Salah satu desa yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Sekolah ini berdiri kokoh dengan bangunan baru pada kelas satu, dua, dan tiga. Lapangannya cukup luas. Para siswa sering membanggakan sekolahnya ini karena bangunannya mewah (mepet sawah).

Meskipun begitu, muridnya tidak banyak. Kelas satu saja hanya terdiri dari tiga orang. Kelas dua kosong, karena tahun lalu tidak ada sama sekali yang mendaftar. Sekolah dasar negeri ini terancam tutup. Zaman semakin berkembang dan peradaban semakin maju. Para orang tua Desa Pringan yang memiliki wawasan lebih tentang masalah pendidikan kini lebih berminat menyekolahkan anak-anaknya di Madrasah Ibtidaiyah.

Faiha, Alsha, Pika, Dhia, Alan, dan beberapa teman yang lainnya masih tetap bertahan di SD Negeri 1 Pringan. Dulu waktu kelas satu mendaftar, sekolah itu masih memiliki banyak murid. Sekarang mereka sudah kelas enam. Sebentar lagi lulus. Mungkin ini adalah angkatan terakhir. Terdengar kabar simpang siur jikalau sekolah ini akan segera ditutup oleh pemerintah karena kekurangan murid. Walaupun begitu, kegiatan belajar mengajar masih berjalan seperti biasa.

"Faiq! Nakal banget sih. Kalau main bola ya main bola aja, gak usah ditendang-tendang ke arah kita. Semisal kena bagaimana? Mau tanggung jawab?" kata Pika kesal.

"Iya nih, usil banget kamu Iq," sahut Alsha.

"Faiq-Faiq, orang gak salah apa-apa dijahili," batin Faiha sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Bola plastik bercorak biru putih harga lima ribuan masih melekat di kaki Faiq. Bola itu dimainkannya dengan sangat lihai. Bakatnya dalam memainkan bola memang tidak diragukan lagi. Tiap sore, jika ada waktu luang, kalau tidak bersama teman-teman bermain kasti ya main sepakbola dengan para santri. Tak menghiraukan apa kata teman-temannya, Faiq tetap menjahili mereka dengan dukungan teman-teman putranya. Meski sekarang sudah kelas enam, jiwa kekanak-kanakan masih kuat melekat pada mereka. Tak terkecuali Faiq. Anak SD memang begini. Sering terjadi perang sengit antara anak putra dan putri. Bahkan, dalam hal yang sepele. Berebut tempat duduk, misalnya atau saling berebut perhatian Bapak/Ibu Guru. Perbedaan pendapat juga merupakan hal yang sering sekali terjadi.

"Faiq!" teriak Pika. Bola plastik biru putih itu melesat persis di samping kepala Pika. Beruntung, tidak kena. Bola itu melesat lurus hingga mengenai tembok dan memantul kembali ke arah Faiq

"Kita sembunyi saja di belakang Faiha, pasti Faiq tidak akan menendangkan bolanya ke arah kita lagi," usul Alsha.

"Betul betul betul," kata Dhia menirukan salah satu tokoh kartun lokal kesukaanya.

"Faiq! Ayo tendang kalau berani!" teriak Alsha. Raut wajahnya tersenyum yakin. Faiq tidak akan menendangkan bola itu. Perseteruan kali ini akan dimenangkan oleh tim putrinya.

"Wah nantangin kita mereka Iq, ngga bisa dibiarin nih, buruan tendang, Iq!" sahut Alan.

Kaki kanan Faiq mengayun ke belakang, bersiap-bersiap untuk menendang. 'Glek'. Tiba-tiba kaki Faiq terhenti setelah sekilas melihat siapa yang di depannya. Bukan, bukan guru. Bukan juga teman-temannya yang sedari tadi ia ganggu. Ia pun membalikkan badan, berencana menggiring bola ke arah lapangan.

"Ayo main bola di lapangan, ajak anak-anak kelas lima," kata Faiq pada Alan.

"Yeay, kita menang," ucap Pika.

"Tuh kan, aku bilang apa," sahut Alsha.

"Kok ngga ditendang sih, Iq? bisa kegirangan nanti mereka, noh liat!" protes Alan.

"Udahlah, ngga penting." jawab Faiq santai.

"Ngga bisa, Iq. Ini masalah harga diri."

"Ayo!" Faiq menarik lengan Alan. Alan tak bisa melakukan pembalasan kali ini, karena Sang Ketua tak meridhoi.

"Eh, ini belum selesai ya, liat aja nanti!" sorak Alan. Sebagai wakil ketua geng putra ( begitu ia menganggap dirinya ). Alan tidak mau kalah dengan teman-teman putrinya.

"Yee, kalah ya kalah aja," kata Pika yang sedang mempersiapkan diri untuk duduk di depan kelas, mengikuti teman-temannya yang terlebih dahulu mendahuluinya duduk.

“Si Faiq kenapa? Tidak biasanya seperti ini. Kenapa tiba-tiba dia tidak mau menendang ke arah kita tadi?” tanya Faiha pada teman-temannya.

“Fa, apa selama ini kamu tidak sadar?” tanya Dhia. Wajahnya serius. Di mulutnya pun kini dipenuhi kue sus. Tubuh yang gemuk karena sering diisi kue sus membuat orang memanggilnya Brontosaurus.

“Sadar apa?” Faiha balik bertanya sambil menahan tawa, tak kuasa melihat ekspresi Dhia.

“Faiq itu, suka sama kamu,” jawab Dhia polos. Mulutnya masih menyimpan banyak kunyahan kue sus. Entah sudah berapa biji kue susu yang ia makan sejak tadi pagi.

“Ngomong apa si, telen dulu tuh kue,” elak Faiha.

“Eh, tapi apa yang Dhia bilang bener, Fa, Alan pernah cerita sama aku,” sahut Alsha. Alsha ini adalah sepupu Alan. Ayah Alsha kakak dari Ibu Alan. Rumah mereka pun berdampingan.

"Cerita gimana, Sha?" tanya Pika penasaran.

"Ya itu, si Faiq suka sama......" mata dan alis Alsha menunjuk ke arah Faiha.

"Alan kan temen deketnya Faiq banget. jadi ceritanya ini pasti sahih," respons Dhia.

Faiha tak menanggapi obrolan teman-temannya itu dengan kata. Hanya sebuah ekspresi muka yang terkesan tak peduli, masa bodoh.

"Ciyee, Faiha," goda Pika sambil menyenggol pundak Faiha.

"Kalian kurangi menonton televisi. Apalagi sinetron-sinetron orang dewasa. Akibatnya jadi begini." kata Faiha pada teman-temannya.

"Tenang aja, Fa. Kalau Dhia mah yang ditonton bukan sinetron, tapi Mistersep," kata Dhia.

"Iya, percaya, kan Dhia suka makan."

"Haha," semuanya tertawa serentak.

......................................................................

    “Sikap Faiq akhir-akhir ini memang sedikit beda. Sebelum ini sering sekali jahil, membuat orang geram, tapi sekarang lebih pendiam," batin Faiha, "Ndak-ndak. Faiha-faiha.. Mikir apa too.." Tak sadar, Faiha menggeleng-gelengkan kepala agar yang dipikirkannya itu segera membuyar. Masih pada titik yang sama. Faiha tak ingin peduli dan jangan sampai peduli. Hal semacam itu dirasa belum patut untuk saat ini, yang terpenting saat ini adalah belajar dengan sungguh-sungguh meniti harapan di masa depan yang masih jauh. Teman-temannya itu memang suka bercanda.

#

"Alhamdulillah. Semakan ngaji Alqurannya disudahi dulu. Berarti besok kita ganti ngaji kitab, Mabadiul Fiqh ya, yang jilid satu, sampulnya warna oren," kata Ustadz Zaenurri.

"Ngapunten (Maaf~Bahasa Jawa) Ustadz. Beli kitabnya di mana?"

"Cari saja di toko pesantrennya Abah, Kiai Malik, tanya sama mbak santrinya. Murah, ndak sampai 5000. Kalau bisa belinya pakai uang saku Faiha yang disisihkan setiap harinya, biar ada sedikit pengorbanan. Jangan minta Ibu atau Kakek,"

"Iya, Ustadz."

"Ajiibb... Oh ya, Meskipun ngajinya ndak semakan (menyimak~Bahasa Jawa) Quran lagi. Al-Qurannya jangan dilupakan. Diistiqomahkan nderesnya. Setiap harinya dibaca. Orang yang hidup bersama Alquran hatinya dipenuhi cahaya. Ora bakal rugi tiyang ingkang ngempenaken ngaji. (tidak akan rugi orang yang sungguh-sungguh dalam mengaji~Bahasa Jawa)," kata Ustadz Zaenurri.

"Nggih, Ustadz (Ya~Bahasa Jawa). Bismillah," jawab Faiha dengan penuh rasa takzim.

Ustadz Zaenurri. Dahulunya adalah santri dari Abah, ayah Faiq. Beliau berasal dari Kebumen. Setelah mondok selama lima belas tahun. Beliau dijodohkan oleh Abah dengan seorang gadis Desa Pringan. Akhirnya, beliau menetap di Desa Pringan dan mendirikan taman pendidikan Alquran bagi anak-anak kecil di Desa Pringan di rumahnya. Perjodohan di kalangan santri oleh para kiainya sudah lazim terjadi di kalangan pondok pesantren.

TPQ Darul Falah. Bangunan gubuk kecil yang amat menentramkan hati dan jiwa. Tempat dimana ilmu agama dasar dikaji oleh anak-anak usia dini. Mayoritas mereka teridiri dari anak-anak TK dan SD. SD kelas enam sudah dianggap anak paling senior disini. Membantu Ustadz Zaenurri bersama istri mengajar anak-anak yang masih dalam tahap iqra. Tempat ini tak akan mungkin Faiha lupa sepanjang hayatnya. Disinilah pertama kali ia mengenal dan menempa ilmu agama. Belajar agama sama saja belajar tentang kehidupan. Entah kenapa, Tiba-tiba Faiha teringat sabda Rasulullah bahwa salah satu dari taman-taman surga adalah majelis ilmu.

"Tamannya saja seperti ini, damai dan menentramkan. Apalagi surganya," gumam Faiha dengan memejamkan kedua mata. Terbawa arus suasana yang ada. Setelah beberapa saat menikmati aura kesejukan gubuk kecil itu. Matanya terbuka. lalu, ia tanggalkan standar sepeda ontelnya.

"Hati-hati Mbak Faiha, " kata seorang anak kecil berusia lima tahun yang ternyata sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Faiha dari emperan rumah Ustadz Zaenurri yang dijadikan TPQ ( Taman Pendidikan Quran ). anak kecil itu dipangku oleh sang Ibu. Ia adalah anak Ustadz Zaenurri.

"Iya, Ziya.." jawab Faiha dengan senyuman yang lebar.

"Dadaaa... " ucap perempuan dewasa yang memangku Ziya. Ibu dari anak kecil itu dengan halusnya memegang tangan anak kecil yang sedang ia pangku. Diajarkannya melambai-lambai ke arah Faiha.

Setelah membalas dengan lambaian tangan, Faiha pun membalikkan sepedanya. Lalu dikayuh untuk dibawa pulang. Ia mengayuhnya pelan-pelan sembari melihat keadaan sekitar. Di Sore hari, mentari tidak terlalu bersemangat untuk menghangatkan bumi, tapi juga tidak terburu-buru untuk pergi. Maka, terciptalah di waktu itu suasana yang sejuk, menghilangkan suntuk. Apalagi sepulang dari ngaji, semua penat terobati. Faiha merasa menjadi orang yang paling bahagia di bumi, sore ini.

"Nggo, Bude... (B. Jawa~Mari, Bude)" sapa Faiha kepada seorang Ibu yang sedang meramban dong so di depan rumahnya. Dong so ini bukan nama dari Bahasa Korea atau semacamnya. Dong so adalah sebutan orang Jawa untuk daun yang masih muda dari pohon melinjo. Masyarakat biasa menggunakan daun ini untuk dibuat sayur lodeh.

"Yoo, Nduk.. " jawab Ibu itu, "Bar mantuk ko ngaji to? (Habis pulang dari ngaji ya?~Bahasa Jawa)

"Nggih , Bude, (B. Jawa~Ya, Bude)

Yang muda menghormati yang tua. Yang tua menyayangi yang muda. Saling sapa, menebar bahagia. Grapyak. Salah satu budaya Jawa yang mungkin kini mulai hilang eksistensinya. Banyak anak muda yang sekarang tak acuh dengan hal ini. Melintas di hadapan yang tua tanpa ucap sama sekali. Apa susahnya menyapa mereka, orang lain yang lebih tua. Para orang tua itu hatinya senang apabila disapa. Bukan, karena gila hormat agar terlihat lebih bermartabat. Akan tetapi ini tentang adab. Bagaimana seorang manusia itu memanusiakan manusia. Para orang tua yang disapa itu akan merasa dihargai, diakui keberadaannya walau hanya sekadar dengan ucapan "Nggo.. (Mari~Bahasa Jawa)"

Faiha kini sudah sampai di rumah. Terlihat Ibu sedang menaiki kursi, mengambil sesuatu di atas empyak (genteng rumah~Bahasa Jawa). Ternyata yang diambil ibu adalah tampah. Tampah adalah perabot rumah tangga yang sering digunakan orang Jawa untuk menampi beras, yaitu membersihkan beras dari kotoran-kotoran sebelum dicuci dan dimasak dengan cara di ayak secara manual dengan tangan. Tampah terbuat dari anyaman bambu, berbentuk bulat seperti piring, tetapi ukurannya besar. Kali ini Ibu tidak menggunakannya untuk menampi beras. Akan tetapi, untuk menjemur karak. Karak adalah kerupuk yang terbuat dari irisan-irisan gendar (adonan nasi yang telah diulen dengan bumbu rempah) yang dikeringkan dengan dijemur di bawah panas matahari. Karak-karak itu nantinya akan Ibu ditipkan ke warung-warung, seperti Warung Mbok Sumi. Sebagian disisihkan menjadi lauk untuk dimakan sendiri.

"Sudah pulang, Fa?" kata Ibu basa-basi sesaat setelah melihat putrinya menanggalkan standar sepeda ontelnya.

"Iya, Bu. Mas Yusuf dimana, Bu?"

"Ada, di kamarnya."

#

"Mas Ucuuuppp"

"Wa'alaikumussalam"

"Eh iya, lupa, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh"

"Mas Ucup sedang baca apa?"

"Yusuf. Y U S U F. Bukan Ucup!"

"Hehe, abisnya bagus Ucup. lucuu..."

"Ngejek apa gimana nih?"

"Mbah Jito panggil Mas Yusuf, Ucup, Mas Yusuf ngga papa, ngga marah. Ini kenapa kalau Faiha yang panggil mukanya jadi pahit gitu?"

Mbah Jito adalah tetangga Faiha. Rumahnya persis di samping Rumah faiha, hanya terpisah oleh sepetak kebun kecil yang ditanami bayam. Setiap kali di pagi hari ketika Mas Yusuf membuka jendela kamarnya terlihat Mbah Neni, istri Mbah Jito meramban bayam.

"Lah, kalau Mbah Jito mah udah tua, Fa. kalau kata burung kakatua yang hinggap di jendela giginya tinggal dua. Jadi Susah kalau mau panggil Yusuf, jadinya Ucup. Ya, Mas Yusuf maklumin, Orang kalau manggil Faiha aja jadinya PeHa kan? Mas Yusuf kira tingkat derajat keasaaman, Haha. "

"Derajat keasamaan itu apa?"

"Dahlah, pelajaran kimia anak SMA, mau dijelaskan pun Faiha ngga akan paham juga, ," kata Mas Yusuf malas. Adiknya ini selalu saja bertanya kalau mengenal hal baru yang belum diketahuinya.

"Oh ya, Mas Yusuf nanti mau ndak antar Faiha ke pesantrennya Kiai Malik?"

"Boleh, kesana mau ngapain?"

"Beli kitab."

"Kitab apa?"

"Mabadiul Fiqh."

"Mabadiul Fiqh Mas Yusuf punya."

"Oh iya ya. Mas Yusuf kan dulu pas kecil ngajinya juga di tempat Ustadz Zaenurri, kenapa Faiha bisa lupa?"

"Hmm.. coba cari di rak Mas Yusuf, yang sampulnya warna oren jilid 1, biru jilid 2, ungu jilid 3, hijau jilid 4."

"Yap, ketemu.." kata Faiha setelah celingak-celinguk di rak buku milik Mas Yusuf.

"Dah khatam kamu ngaji Qurannya?"

"Dah.. Baru sore tadi."

"Oh ya, Fa. titip ini buat Ustadz Zaenurri," Mas Yusuf memberi sebuah kotak pada Faiha. Kotak itu diambil dari lemarinya.

"What is it?"

"Apa sih, kepo, tinggal kasih aja."

"Kenapa ndak Mas Yusuf sendiri yang kasih? Kan setiap hari ketemu di masjid."

"Ngga akan mau Ustadz Zaenurri kalau Mas Yusuf sendiri yang kasih."

"Emang isinya apa sih?" Faiha menggoyang-goyangkan kotak itu.

"Sarung sama baju koko," Jawab Mas Yusuf segera agar Faiha berhenti menggoyang-goyangkan kotaknya.

"Nah, tinggal jawab aja gitu kan bisa, pake ngatain Faiha kepo segala," kata Faiha sambil tertawa kecil.

"Yayaya" kata terakhir yang keluar dari mulut Mas Yusuf sebelum ia kembali ke kursi kebesarannya untuk kembali membaca.

"Itu orang, belajar terus, ngga capek apa?" Faiha menggerutu lirih seorang diri, mengherani kakaknya, lalu Ia teringat kitab yang tadi diambilnya dari rak, ia raih, dibuka, dan mulai dibaca.

"Mal islaamuu, huwaddiinulladzii ba'atsallaahu bihii sayyidinaa muhammadan......" ucap Faiha, nada suaranya seperti anak kecil yang sedang membaca Alquran.

Mas Yusuf yang sedang melanjutkan membaca buku di kursi kebesarannya itu seketika mengeluarkan suara, ia sedikit tertawa..

"Itu kitab, Fa, ngga gitu bacanya, ya ngga salah sih, cuma lucu aja."

"Hehe, Faiha ndak tau, Mas. Susah bacanya, trus ini tulisan-tulisan arab kecil miring ini apa? kok beda sama yang biasanya,"

"Sini, biar Mas Yusuf kasih spoiler," kata Mas Yusuf yang seketika itu langsung menutup buku yang sedang dibacanya, "Ah, jadi keinget dulu pas Ustadz Zaenurri bacakan kitab ini persis di depan Mas Yusuf. " Mas Yusuf tersenyum kecil.

"Bismillahirrahmanirrahim.

(sual= soal) س

***Maa?***\, iku opo?

Al-islaamu, utawi kang aran islam.

ج (jawab)

Huwa, utawi kang aran islam iku..

Addiinu, agomo...

Alladzi ba'atsallahu, kang wus ngutus sopo Allahu, Allah...

Bihii, kelawan ad-din...

Sayyidanaa, ing bendoro kito...

Muhammadan, Nabi Muhammad..

Sholallahu 'alaihi wa sallam, mugo-mugo Allah paring rohmat ta'dzim lan keslametan , ing ngatase Nabi Muhammad.

Lihidaayatinnasi, kerono nuduhake para manungsa...

Wasa'aadatihim, lan kebahagiyaane para manungsa................................"

Mas Yusuf terbangun dari lamunannya. Ada selembar kertas yang jatuh dari halaman paling belakag kitab. Tulisan yang ada di kertas itu sepertinya ia kenal. Ah iya, itu tulisannya ketika ia masih duduk di bangku SMP.

-Goresan Pena -

Tentang Perbedaan

*Apa - apa yang dipandang oleh mata dan yang didengar oleh telinga memengaruhi cara pandang dan berfikir seseorang. Maka, BERBEDA itu wajar.*

Ketika kita tidak sama dalam cara, itu tak apa. Akan tetapi, kita harus saling bekerja sama demi mencapai tujuan yang sama, meskipun caranya beda. Saling menguatkan bukan menyalahkan, memberikan dukungan bukan melontarkan cacian. Memang susah mempraktiknya di lapangan, tapi bukankah bisa jika kita melakukannya dengan kelapangan?

BEDA itu jangan dijadikan sebagai ajang perpecahan, tapi himpun jadi sebuah kesatuan, berdasar asas keyakinan dalam ketakwaan kepada Tuhan.

Ingat secercah kalimat mutiara dari Sang Guru

Nilai sesuatu berdasarkan ilmu\, bukan hawa nafsu\, karena yang kita cari ini kebenaran\, bukan pembenaran dan kejayaan hanya bisa diwujudkan lewat persatuan bukan satuan-satuan***  \~Yang Terdalam

"Wowww..." kata Faiha yang ternyata juga ikut membaca tulisan itu.

"Faiha paham nggak maksud dari tulisan ini apa?" Faiha menggeleng. Mas Yusuf tersenyum kecil.

"Suatu saat pasti paham, yang penting jangan pernah berhenti belajar," ucap mas Yusuf meyakinkan.

Terpopuler

Comments

sebutir debu

sebutir debu

saya menangis dengan kalimat ini.terimaksih kak sudah mengingatkan 😢

2022-07-12

1

Syahlia Aida

Syahlia Aida

👍👍👍👍

2021-07-24

1

💞mulan merindu💞

💞mulan merindu💞

makin seru,,

2021-03-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!