Surat Cinta Semoga Saja Dibaca

Bola kecil berwarna hijau alpukat itu melambung tinggi di atas udara membentuk gerak parabola pada hukum fisika. Susanananya masih sama. Permainan kasti sore hari ini masih meriah dengan sorakan suara. Tapi hal lain terjadi pada Faiha. Ia memilih untuk duduk di gapura dekat lapangan menyaksikan teman-temannya. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya tidak bersemangat untuk bermain kasti sore ini.

“Fa! Diem-diem baee,” ucap Pika dari arah belakang sambil menepuk pundak Faiha. Membuat jantung Faiha berdegup lebih kencang. Tindakan Pika yang dadakan itu sunggguh mengagetkan. Faiha masih terdiam. Mengatur napas agar jantungnya sedikit meredam.

Faiq yang tidak sengaja melihat kejadian itu dari arah lapangan entah kenapa tidak suka dengan tindakan Pika.

“Faiq! Buruan, giliran kamu mukul,” teriak Dhia.

“Iya, iya,” kata Faiq sambil mengambil tongkat kasti yang masih tergeletak di tanah.

“Cepet Iq, keburu Si Brontosaurus ngamuk noh,” celetuk Alan.

“Alan!” tongkat kasti yang baru saja berada di tangan Faiq itu segera saja direbut oleh Dhia. Dengan muka geram langkah kakinya menuju ke arah Alan. Alan yang semula pada posisi jongkok itu segera berdiri, menegakkan badan dan berlari. Dhia yang tak mau kalah mengikuti kemanapun arah Alan pergi. Meski massa tubuh Dhia sedikit memberatkannya untuk berlari.

Semua yang ada di lapangan tertawa. Faiq hanya menyunggingkan senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Melihat tingkah kocak yang dilakukan kedua temannya. Faiha dan Pika yang berada di gapura juga ikut tertawa terbawa suasana, setelah sesaat Pika meminta maaf pada Faiha karena telah membuat dirinya terkejut.

“Pik, sepedaan yuk,” Ajak Faiha pada Pika setelah Dhia berhenti mengejar Alan.

“Yuk, pakai sepedamu ya?”

“Oke, tapi kamu yang depan,”

“Rebess.”

“Eh, kalian mau kemana?” Ucap Faiq yang juga sedang berada di dekat gapura untuk mengambil sepeda.

“Apa sih Iq. Mau tau saja. Minggir!” sentak Pika.

“Eh buset, orang tanya baik-baik pedes amat jawabannya,”

Setelah Faiha duduk di boncengan belakang, Pika mengayuh sepeda kuat-kuat. Mereka pergi menghiraukan keberadaan Faiq. Merasa tidak dihargai, Faiq pun mengejar mereka. Ada sesuatu yang ingin Faiq sampaikan.

“Tunggu,Pik!” teriak Faiq. Pika pun memelankan kayuhan sepedanya. Faiha yang membonceng Pika memalingkan wajah ke arah belakang. Terlihat Faiq yang menuju ke arah mereka.

“Tugas taplak meja kita bagaimana? Kata Pak Budi, besok sudah harus siap alat dan bahannya,” Tanya Faiq setelah berhasil menyusul Faiha dan Pika.

“Kalau masalah alat. Seperti jarum dan benang sulam, aku ada. Kan dulu waktu kelas lima kita sudah pernah disuruh buat. Masih banyak sisanya.” Jawab Faiha.

“Emm, berarti sekarang kita tinggal mikir masalah kainnya ya?” timpal Pika.

“Sebentar.. Kain? Sepertinya di pondok ada. ukuran 120x120 cm kan?” kata Faiq.

“Yap.”

“O, iya. Spangkring. Kita belum punya,” Faiha mengingatkan.

“Tenang, spangkring di pondok putri ada banyak,” kata Faiq.

Pondok pesantren yang didirikan oleh Abah memang pondok pesantren yang masih tradisional. Santri-santrinya murni belajar ilmu-ilmu agama. Kesibukan lainnya bagi santri putra adalah menggarap sawah kyainya atau sesekali membantu pekerjaan warga-warga desa. Jangan anggap mereka dijadikan babu. Hal ini merupakan salah satu bagian dari adab. Karena adab penting sekali dipelajari dan diamalkan sebelum seseorang itu berilmu. Sedangkan, kegiatan lain dari santri putri adalah membantu Bu Nyai mengurus anak-anaknya dan menjahit. Maka tak heran jika di pondok putri ada banyak sekali kain dan spangkring.

“Kainnya aku ambil sekarang sekarang, ya. Nanti kamu yang bawa, Fa,” tawar Faiq

“Nggak usah. Langsung dibawa ke sekolah aja besok.”

“Nggak. Takut kelupaan bawa kalau besok, mending kamu aja yang bawa. Aku ambil dulu kainnya,” Faiq memutar arah setang sepedanya.

“Kita tunggu di sawah kakek Faiha ya, Iq.”

“Ya.”

“Alhamdulilah. Sikap Faiq tadi biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh. Alsha dan Dhia kalau ngomong memang suka ngelantur. Semoga saja apa yang mereka bilang tidak benar-benar terjadi,” batin Faiha.

“Sepedanya taruh sini saja ya, Fa,”

“Iya, Pik. yuk duduk disitu” ajak Faiha sambil menunjuk gubuk kecil di tengah sawah. “Suasana sawah di sore hari. Sungguh menyejukkan hati “ batin Faiha sambil menghirup udara dalam-dalam dengan mata yang terpejam.

“Fa, apa benar ya Faiq itu..” belum selesai Pika bicara Faiha sudah menyela.

“Apa, mau mengulang apa yang Alsha dan Dhia bilang kemarin siang?”

“Ah kamu Fa, selalu saja sudah tau apa yang akan aku katakan sebelum kunyatakan.”

“Udahlah, itu gak mungkin. Aku sama Faiq kan dari kecil udah kaya tikus sama kucing. Inget gak dulu waktu kelas satu, pernah kujambak rambutnya sampai dia meringis kesakitan. Sekarang kalau dia masih suka jahilin kalian pengen aku jambak lagi tuh rambutnya. Tapi kita bukan mahrom. Jadi gak bisa jambak lagi sekarang.”

“Masih jengkel kamu sama si Faiq?”

“Nggak jengkel sih, Cuma sedikit heran. Dia itu nakal, sering jailin temennya.”

Standar kata kenakalan anak kecil dan dewasa memang beda. Suka ganggu orang dan bicara sesuatu kasar yang jarang mereka dengar. Itu sudah termasuk kriteria nakal bagi anak-anak seusia Faiha.

“Tapi, sekarang udah nggak kok, Fa.”

“Kata siapa? Kemarin dia masih jailin kan? Nendang bola plastik ke arah kalian?”

“Kalo menurut aku nih ya fa. Nakalnya Faiq itu wajar. Iya sih, hidup di kalangan pesantren. Dikelilingi orang-orang baik. Tapi yang namanya anak kecil kan hiperaktif. Apalagi laki-laki. Anak kecil itu senang mengekspresikan diri. Mungkin perbuatannya yang kita sebuat nakal itu salah satu bentuk pengekspresian dirinya. Sekarang, dia sudah kelas enam. Sudah semakin besar orang bilangnya. Sifat-sifat nakalnya sudah mulai hilang. Walaupun kadang masih suka muncul sih. Kian kemari semakin baik. Yaa, kayak kita kan sama.”

“Sudah seperti psikolog anak saja kamu, Pik.”

“Jangan terlalu ngebenci Fa, kata orang-orang yang biasanya kita benci akan jadi orang yang kita...”

“Ssstt, tuh orangnya dateng,” kata Faiha mengisyaratkan kedatangan Faiq.

“Nih, Fa. Nanti di rumah kainnya di cek kalau ada yang cacat atau gimana,” kata Faiq.

“Cek sekarang aja,” kata Faiha sambil bersiap-siap membentangkan kain

“Jangan! Cek di rumah aja. Udah mau maghrib. Kalian segera pulang. Nanti dicariin.”

“Eh iya, Pik. Yuk pulang. Nanti kakek nyariin.”

“Iya-iya. Kita duluan, Iq.”

“Yaa, semoga saja dibaca,” kata Faiq lirih.

Terpopuler

Comments

Syahlia Aida

Syahlia Aida

👍👍👍👍 suratnya diselipin di kain y? 😄😄

2021-07-24

0

Yunita Dian Kusuma Wardani

Yunita Dian Kusuma Wardani

Auwahhh

2020-03-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!