Sang surya mulai muncul dari tempat peristirahatannya. Kakek sudah tidak ada di rumah karena setelah menunaikan salat subuh berjamaah ia pergi melihat sawah. Mas Yusuf berada di ruang tengah ditemani bolpoin dan buku-bukunya sedangkan, Ibu mempersiapkan sarapan untuk Faiha.
“Fa, sudah selesai belum siap-siapnya. Ini sarapannya sudah jadi.”
Faiha keluar dari kamarnya. Terlihat meja makan dengan lauk telur dadar dan kecap kesukaan Faiha.
“Mas Yusuf tidak sarapan?” tanya Faiha.
“Mas yusuuf sedang puasa,Fa,” jawab Faiha.
“Oh iya ini hari kamis. Ibu juga puasa?”
Ibu menundukkan kepala pertanda iya.
“Kenapa tidak membangunkan Faiha tadi untuk sahur. Tahu begitu, Faiha ikut puasa.”
“Kan faiha hari ini mau lomba, jadi tadi ibu tidak membangunkan faiha”
“Gak apa-apa Ibu, faiha kuat kok”
“Sudah, cepat dihabiskan sarapannya. Mas yusuf mandi dulu. Nanti, selesai mas yusuf mandi faiha harus sudah selesai makannya.” Kata Mas Yusuf sambil mengelus-elus sebentar kepala adiknya sebelum ia beranjak ke kamar mandi.
“Oke.”
#
“Aku serius, Fa.”
“Jika kamu perlu jawaban, jawabannya tidak.”
Kejadian saat mengerjakan tugas taplak meja kemarin benar-benar terngiang-ngiang di kepala Faiq. “...jawabannya tidak.” Apa jawaban Faiha itu sungguh-sungguh? Mengapa cepat sekali mengambil keputusan? Mengapa tidak dipikirkan dulu? Padahal aku juga tidak menyuruhnya terburu-buru. Batin Faiq yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Lalu, ditutupnya resleting dari tas itu.
“Huft, akan kutanyakan sekali lagi pada Faiha. Semoga kali ini jawabannya beda,” kata terakhir Faiq sebelum ia keluar dari bilik kamarnya.
“Nggo, Gus,” sapa seorang santri yang sedang menyapu halaman rumah pak kyai. Dengan sigap santri itu meraih sepatu Faiq. Membalikkan hadapannya agar searah dengan badan anak kyainya itu. Berkahnya ilmu itu karena memuliakan guru. Tidak hanya gurunya, tetapi juga keluarganya termasuk anak-anaknya.
“Ah, tidak usah mas. Jenengan lebih tua dari saya.”
“Ndak apa-apa, gus.”
“Matursuwun, Mas”
“Mau diantar atau...”
“Jalan kaki saja, lebih sehat, lagipula kan dekat,” jawab Faiq sembari memakai sepatu.
“Saya berangkat dulu ya, Mas.”
“Nggih, Gus ngatos-atos.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Gus Faiq, Gus Faiq. Tidak jauh beda dengan Abah,” ucap Mas Santri ketika Faiq sudah berjalan menjauh.
#
“Faiq, Faiha. Tunggu disini dulu ya. Pak Rahman ini masih perjalanan, sebentar lagi datang. Bu Sulimah mau ngajar ke kelas dulu”
“Iya, Bu.”
“Ee,Fa jawabanmu yang kemarin,”
“Itu, Pak Rahman sudah datang,” Faiha tau Faiq akan menanyakan lagi perihal kemarin. Untung Pak Rahman sudah datang, ini bisa dijadikan elakan untuk menghindari pertanyaan Faiq.
“Faiq, Faiha. Ayo naik,” seru Pak Rahman dari dalam mobil, “Faiha di kursi belakang, Faiq di depan samping Pak Rahman, ya.”
Menikmati perjalanan, juga salah satu hal yang disukai Faiha. Apalagi hari ini warna langit cerah. Terlihat biru, tetapi tidak menyilaukan. Memandang langit memberi rasa tersendiri. Tenang mendamaikan. Sejuk menentramkan. Serasa insan yang sedang dekat dengan tuhan. Memandang langit merupakan salah satu perenungan untuk mengenal tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah. Siapa yang dapat membuatnya kokoh di atas bumi tanpa pasak? Siapa yang dapat menggerakkan awan-awan? Jika menurut ilmu meteorologi, yang menggerakkan awan adalah angin. Tapi, jika digali pertanyaan lebih dalam, siapakah yang membuat angin-angin itu dapat bergerak?. Perenungan terhadap fenomena-fenomena alam akan melahirkan kesadaran bahwa dibalik itu semua ada Dzat Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, Yang Maha Bijaksana yaitu Sang Pencipta Allah subhanahuwataala.
“Nah, kita sudah sampai. Yuk, turun,” kata Pak Rahman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Syahlia Aida
👍👍👍👍 semangat untuk Faiq dan Faiha
2021-07-24
0
Yunita Dian Kusuma Wardani
Benar begitu?
2020-03-21
0