balikkk lageeeeee
udah kangen belom hahahaha
baru juga update tadi
happy reading yaaa
****
Raga melihat Safira baru saja jalan keluar dari gerbang rumah sakit. Ia bangkit dari duduknya dan beranjak pergi dari tempat yang selama satu jam terakhir ia gunakan untuk menunggu Safira bertemu dengan Angga.
Raga menghampiri perempuan itu dengan cepat. "Ke kantor lagi, Bu?" tanyanya saat berdiri tepat di depan Safira. Perempuan itu nampak berpikir sebentar.
"Kamu udah makan?"
"Saya udah minum kopi, Bu."
Safira menghela. "Saya nanya, kamu udah makan?"
Raga menyengir kaku. "Belom sih, Bu."
"Ya udah, temenin saya makan yuk?" Ajaknya yang membuat Raga mengerutkan dahi. Ia menatap Safira dalam waktu yang lama, membuat perempuan itu tampak risih. "Kenapa?"
Raga terhenyak. "Nggak, Bu ... ibu mau makan dimana?"
"Di Restoran deket kantor aja, biar gak terlalu lama."
"Baik."
Raga ini orangnya sangat lembut, ya meski memang seharusnya ia bersikap seperti itu pada atasan, hanya saja Safira suka dengan sikapnya.
"Saya lupa, umur kamu berapa ya?"
Raga menatap Safira kaget saat perempuan itu melemparkan pertanyaan seperti itu.
"23 tahun, Bu."
Suasana restoran pada jam segitu memang ramai, banyak karyawan kantoran yang makan di sana. Tidak terkecuali Raga dan Safira.
"Berarti kamu dua tahun di bawah saya." Safira terkekeh pelan. "Saya kira kamu lebih tua dari saya, muka kamu tuh kayak gak pantes gitu buat umur segitu."
Raga memiliki wajah dengan rahang yang tajam dan badannya yang tinggi kekar. Tentu saja orang yang melihatnya akan tidak menyangka kalau ternyata lelaki itu baru berumur 23 tahun.
"Wajah saya emang tua, Bu. Banyak yang bilang kayak gitu."
"Hm, Tapi muka kamu ganteng, kok."
Eh
Safira seketika bergeming, ia mengerjapkan matanya cepat saat mendengar ucapannya sendiri, entah dorongan dari mana ia bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu. Pantas Sean selalu meledeknya, ternyata ia pun baru menyadari betapa polos dirinya.
"Saya tahu kok, bu." jawab lelaki itu santai, atau kelewat percaya diri.
Safira berdecak. "Saya cuma mau buat kamu seneng aja, bukan mau muji."
"Iya, bu, iya saya tahu." Raga membalasnya dengan senyum tipis, membuat Safira merasa kalau lelaki itu sedang meledeknya.
"Pede banget kamu."
Sontak Raga mengangkat wajahnya, masih sambil tersenyum tipis. "Percaya diri itu penting, Bu."
"Percaya diri itu bisa buat kamu cepat puas."
"Gak juga, percaya diri itu keberanian dalam diri sehingga seseorang mampu melakukan sesuatu yang dianggapnya benar."
Safira terdiam. Mereka masih saling bertatapan, sebelum akhirnya Raga melanjutkan perkataannya.
"Dan kalo gak percaya diri, maka kepercayaan itu sering kali negatif. Mungkin karena lebih memfokuskan pada apa yang dianggap sebagai kelemahan dan kesalahan yang pernah dibuat."
Safira terkesan dengan perkataan Raga. Mereka memang bisa dibilang seumuran, tapi gaya berbicara dan pola pikir Raga nampaknya lebih dewasa dibandingkan dirinya. Selama ini, Safira selalu berusaha untuk menjadi sangat percaya diri, malah saking percaya dirinya Safira rela melakukan perjanjian aneh dengan Sean. Mencoreng agama, menimbulkan dosa besar.
Maka itu menurutnya percaya diri itu tidak baik. Tapi setelah mendengar perkataan Raga barusan, Safira sadar satu hal. Kelemahan yang dimilikinya adalah karena kurang percaya pada dirinya sendiri, sehingga ia bisa memutuskan sesuatu yang berdampak besar bagi kehidupannya kelak. Sebuah rumah tangga yang tidak akan pernah ada cinta di dalamnya.
"Bukan cuma wajah kamu yang tua, tapi pemikiran kamu juga cukup dewasa ya." ledek Safira dengan tawa kecil. "Saya suka sama kamu."
***
Safira merogoh kantung tas-nya, mencari kunci untuk membuka pintu rumah. Ada perasaan kesal, takut, marah, dan anehnya ada perasaan yang membuat hatinya berapi-api. Entah apa itu yang jelas ia hanya butuh penjelasan dari Sean tentang wanita yang bersamanya tadi pagi.
Sean pasti sudah di dalam, ia tahu itu saat melihat mobil Mercedes-Benz hitam terparkir rapih di halaman rumah. Safira menemukan lelaki itu yang sedang duduk bersandar di ruang tv. Ingatannya kembali pada saat pagi tadi. Sean mudah sekali mengumbar-ngumbar kemesraannya di depan publik dengan seorang wanita yang jelas-jelas bukan istrinya.
"Lo bilang harus pulang cepet," ujar lelaki itu santai tanpa mengalihkan pandangannya dari game pada ponselnya.
Safira melangkah mendekati Sean, berdiri di hadapannya. "Saya mau ngomong sama kamu." Terpancar jelas aura serius di wajahnya saat ini.
"Hm, bilang aja." sahut Sean masih tidak terlalu perduli dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Safira, sampai kemudian ia mendengar kalimat selanjutnya.
"Arrabella."
Seketika itu juga jari tangan Sean berhenti bekerja. Padangannya teralih menatap Safira yang juga menatapnya dengan sorot mata tajam. Tebakannya tepat sasaran.
"Kamu masih berhubungan sama dia, kan?" lanjut Safira.
"Elo tau dari mana?"
"Jawab aja pertanyaan saya!" Safira sedikit meninggikan suaranya. Sumpah demi apapun, ia benci sekali dengan lelaki di depannya ini.
"Bukan urusan lo." Memilih untuk tidak mau membahas masalah ini, Sean lantas beranjak dari sana dan berlalu dari hadapan Safira.
"Kenapa kamu gak bilang sama saya kalo kamu masih punya pacar? Saya berhak tahu, Sean!"
Sontak langkah kaki Sean berhenti, ia berbalik dan melangkah kembali menghampiri Safira. Lelaki itu membuang napasnya kasar, Safira bisa melihat dengan jelas mata Sean yang menatapnya geram.
"Elo lupa! di dalam perjanjian tertulis kalo dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing!" Bentak Sean.
"Saya gak pernah ingin tahu semua urusan kamu, termasuk skandal kamu dengan banyak wanita. Tapi yang orang-orang tahu kamu itu suami saya, apa yang akan mereka katakan kalau melihat kamu masih jalan dengan mantan pacar kamu!"
"Bella bukan mantan pacar gue!"
"Apa? Selingkuhan?" balas Safira tidak kalah menantang, dan hal itu membuat emosi Sean kian tersulut.
"Fir!"
"Kamu gak pantes Sean bermesraan di ruang publik seperti tadi!"
"Gue gak peduli!" Suara Sean tetap pada nada tingginya, dan membuat Safira terpancing.
"Saya gak terima!"
"Terus mau lo apa? Gue putusin dia gitu?" Sean berdecih geli. "Jangan harap."
"Kamu egois kalo hanya memikirkan diri kamu sendiri." Satu tetes air mata jatuh di pipi Safira. Perempuan itu menangis, membuat Sean tertegun menatapnya.
"Tadi pagi Mas Angga hampir ngelihat kamu sama Bella di dalam restoran, kalo aja saya gak buru-buru membawa dia pergi dari sana, saya gak pernah tahu apa yang akan terjadi. Bisa aja semua orang tahu tentang perjanjian kita. Ayah saya, Papa kamu." ungkap Safira masih dengan tetesan air bening itu.
Sean bergeming, sungguh ini pertama kalinya ia melihat Safira menangis. Kenapa? Karena apa? Apa ia membentaknya terlalu keras?
"Saya minta tolong sama kamu, jangan temui Bella lagi."
Sean tidak tahu ingin membalas ucapan Safira seperti apa. Ia hanya bingung, ia sulit mencerna setiap tetes air mata yang jatuh di pipi Safira.
"Saya ...."
"Elo nangis?"
Bodoh, pertanyaan macam apa itu, jelas-jelas ia bisa melihat air mata Safira yang meluncur bebas di pipinya. Dari banyaknya kosa kata kenapa ia harus bertanya seperti itu?
"Elo nangis, Fir?"
Safira buru-buru menghapus air matanya.
"Saya benci kamu, Sean!"
Lalu perempuan itu berbalik dan lari menuju kamarnya, meninggalkan Sean dalam kebingungan.
****
Sean ngeselin banget yaaaa, yang kesel sama Sean bagi poin nya dong hahaha tetep dukung cerita ini ya maaf kalo ada salah-salah kata, atau saya sering emosi ngebales komen kalian.
enjoy gaess!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 305 Episodes
Comments
Dahlia Anwar
sean tolol
2024-03-30
0
Rebeka
novel terkrren
2022-02-02
0
Siti Komariah
pengen nabok muka sean pke sendal😠😠
2021-10-09
0