Tidak punya pilihan lain selain hadapi
—Safira—
••••
Safira melangkahkan kakinya di lorong koridor rumah sakit. Setelah selesai bertemu dengan Bagaskara dan juga pertemuan yang tidak disengaja dengan Sean, Safira memutuskan untuk mengunjungi ayah yang masih terbaring di rumah sakit.
Dengan sedikit memaksakan senyum yang berkembang di bibir, ia membuka pintu kamar inap itu dan masuk ke dalamnya.
"Hai ayah." Safira menghambur memeluk Adrian yang berbaring. "Gimana keadaan ayah?" Ia lalu mengambil duduk di sebelah ranjang.
"Baik," balas lelaki tua itu, dahinya sedikit mengernyit melihat senyum di wajah anaknya. "Ada apa? Kok ayah lihat kayaknya kamu lagi seneng."
Safira tersenyum. "Fira punya kabar baik," katanya, yang membuat Adrian semakin kebingungan.
"Apa?"
"Perusahaan Pradipta Group, mereka mau investasi di perusahaan kita, yah."
Kedua bola mata Adrian membeliak dan mulutnya tebuka lebar. Lelaki tua itu tercengang dengan tampang senang. "Ini kamu serius?" tanyanya tidak percaya.
Kepala Safira mengangguk. "Iya, yah. Fira beneran."
"Pradita Group? Ya ampun, perusahaan itu kan sangat besar. Rasanya gak mungkin mereka mau bekerja sama dengan kita. Apa alasan mereka memilih Bara Corporation, Fir. Pasti ada sesuatu?"
Safira hanya mampu memaksakan senyumnya saat mendengar itu. Benar seperti yang ayah katakan, mana mungkin perusahaan besar seperti Pradita Group mau menanamkan modal di perusahan kecil miliknya yang jelas-jelas akan bangkrut kalau bukan dengan satu syarat.
"Apa pun alasan mereka, buat Fira itu gak penting, yah. Yang terpenting sekarang perusahaan kita bisa menutupi kerugian dan bisa membayar bonus karyawan yang tertunda. Fira yakin, perlahan pasti perusahaan kita akan membaik."
Adrian menggenggam tangan anaknya, ia tersenyum lemah menatap sang buah hati yang kini sudah beranjak dewasa. "Pasti, ayah juga yakin."
"Fira!" sebuah suara sukses membuat kedua pasang mata itu menoleh ke arah pintu.
"Mas Angga?" teriak Safira dengan dua bola mata membulat. Ia terkejut, sekaligus senang melihat sosok laki-laki yang sudah lama tidak ia jumpai. Secepat mungkin ia beranjak, lalu menghampiri orang tersebut dan memeluknya erat. "Fira kangen, kapan mas Angga balik ke Jakarta? Kok gak bilang-bilang."
Pelukan itu terlepas.
"Mas baru sampe tadi pagi, terus langsung ke rumah, tapi kata mbok Nah om Adrian dirawat di rumah sakit," jelasnya.
Angga adalah anak angkat di keluarga ini. Ayah Safira dan ayah Angga dulu tumbuh besar bersama. Keduanya diasuh oleh oma Ros. Ketika Safira berumur 6 tahun, bundanya meninggal karena sakit kanker. Adrian sengaja membawa Angga untuk menemani Safira yang saat itu juga telah ditinggal lebih dulu oleh ayah dan ibunya untuk menghadap sang pencipta.
Safira dan Angga tumbuh besar bersama, umur mereka hanya terpaut tiga tahun. Sejak lulus sekolah, Angga melanjutkan pendidikannya di Melbourne, dan sekarang ia sudah menjadi seorang Dokter. Dua tahun menjadi Dokter Junior di Osteopathy CBD dan kemudian kembali ke Jakarta untuk bekerja disalah satu rumah sakit besar yang ada di sini.
"Om Adrian kenapa bisa masuk rumah sakit?" tanya Angga, begitu mereka sudah duduk.
"Ceritanya panjang, mas. Nanti aku ceritain, tapi yang penting sekarang ayah udah baikan."
"Iya, tapi besok-besok usahain kasih tahu mas. Kalo kayak gini mas gak akan tahu om Adrian ada di rumah sakit kalo aja gak pulang ke Jakarta." dengus Angga.
"Udah-udah," sela Adrian. "Om udah baikan kok, Ga. Mending sekarang kamu istirahat, udah makan belum?"
"Ah iya, Angga belom makan om, laper banget, nih."
"Ya udah, minta Safira temenin kamu makan sana," perintah lelaki tua itu.
Safira mengangguk. "Tapi traktir ya, mas," ujarnya dengan cengiran lucu.
Mata bening dan polos itu berbinar, membuat siapa saja yang melihatnya pasti langsung menuruti kemauan gadis itu. Apalagi Angga, untuknya Safira adalah adik kecil yang harus ia jaga dan lindungi. Rasa sayang Angga sangat besar hingga terkadang ia selalu menuruti apapun kemauan Safira.
"Oke."
***
"Aku benci kamu!"
Teriakan seorang gadis dari dalam kamar membuat Sean menghembuskan napasnya gusar. Beberapa menit yang lalu, setelah ia selesai menjelaskan semuanya pada Bella, Sean menjumpai kekasihnya menangis di dalam kamar. Sesegukan kecil terdengar jelas di telinganya.
"Maafin aku, Bel." Bella bergeming. Sudut hatinya sudah terlanjur hancur karena diberikan kekecewaan. "Aku bersumpah, sayang, kalo pernikahan itu memang cuma sebuah perjanjian. Ini demi kita juga," terang Sean.
"Aku udah berjuang sejauh ini, Yan. Melawan papa kamu bukan sesuatu yang mudah. Bahkan aku rela kalo dia selalu ngehina aku. Aku udah banyak berkorban untuk kamu, tapi apa? Kamu lebih memilih nikah sama gadis pilihan papa kamu!"
Nada suaranya dingin, matanya mendongak tajam pada lelaki yang berdiri di depannya ini.
"Aku nikahin dia bukan karena cinta, tapi ini kesepakatan. Cuma ini caranya supaya papa mau ngasih perusahaannya buat aku!" Sean berujar dengan sangat frustrasi. "Gak jauh berbeda dari aku, cewek itu juga terpaksa nerima pernikahan ini karena perusahaan ayahnya hampir bangkrut dan papa akan ngebantu kalo dia mau nikah sama aku!"
"Tapi gak harus dengan pernikahan, Yan! Kamu pikir gimana perasaan aku saat tahu kalo pacar aku mau menikah sama cewek lain!"
Jangankan untuk mendengar, membayangkannya saja rasanya sakit sekali. Pernikahan itu bukan untuk main-main. Mereka akan hidup selamanya bersama. Menua bersama. Memiliki anak dan cucu sebagai penerus. Bagaimana mungkin Sean mempermainkan pernikahan hanya untuk sebuah perusahaan. Ini terdengar konyol.
"Aku gak punya pilihan lain. Kamu tahu kan papa kayak gimana? Dia gak akan tinggal diam kalo aku nolak. Lihat sekarang, aku aja gak punya pekerjaan, aku gak bisa kerja di tempat lain karena papa nyuruh semua perusahaan di sini untuk nolak aku! Papa itu kayak monster, Bel." Wajah Sean memerah, menahan kesal. Bukan ia tidak mengerti seperti apa perasaan Bella saat ini, hanya saja Sean terlalu putus asa untuk menghadapi Bagaskara, papanya.
"Aku bener-bener gak ngerti sama jalan pikiran kamu." Bella berbalik, berpaling dari Sean." Aku butuh waktu. Jujur, hati aku sakit banget saat ini!"
Satu tarikan napas frustasi Sean raup. Ia tahu Bella bukan gadis keras kepala, dan Sean paham bahwa kekasihnya ini sedang butuh waktu untuk mencerna semuanya.
"Aku cinta kamu," lirih Sean.
••••
Jangan lupa tekan like dan juga berikan vote. Terima kasih genks!! ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 305 Episodes
Comments
san_94
kenapa nama bella sllu jdi antagonis atau orang ketiga...
2022-01-18
0
marya
gak ada yang simpati sama kamu bell.karna kamu bukan pemeran utama ok.
2021-11-22
0
afrena
beh sean telah ingkar janji katanya gk ada yg boleh tau kesepakatan yg mrk sepakati antara safira dg dia. ini kok dg mudah dicerita ama wanita rubah itu rubah. dasar peak sean tar disakiti bru mewek dah...
2021-09-16
1