Cinta bisa datang karena terbiasa
****
Dihari ke dua setelah pernikahan, Sean sudah kembali bekerja, sedangkan Safira akan kembali bekerja pada minggu ke dua setelah pernikahan, itu atas perintah Ayahnya. Selama Sean bekerja Safira selalu menggerutu bosan. Setiap hari, ia dipaksa belajar memasak dengan Mama Olive dan sudah banyak sekali kesalahan yang ia buat.
Seperti halnya di hari pertama. Safira tidak bisa membedakan mana gula dan yang mana garam. Dan kemudian di hari kedua, ia tidak bisa memecahkan telur, hingga berakhir sampai dipercobaan ke enam. Selanjutnya di hari ke tiga, ia menumpahkan adonan kue. Dan yang lebih buruk di hari ke empat, daging yang dimasaknya gosong. Semua itu tentu membuat kupingnya panas mendengar ocehan Mama Olive, sementara yang menjadi pembuat onar hanya tertunduk lesuh. Mama Olive hanya mampu memijat pelipisnya.
Ini hari ke lima setelah pernikahan, sudah lima hari Safira dan Sean tidur satu kamar, dan sudah lima hari juga Safira menyandang status sebagai Istri Sean. Lima hari bukan waktu yang lama, tapi dalam kurun waktu yang sebegitu singkatnya Safira sudah mulai memahami kebiasaan Sean. Seperti, Sean yang tidak suka gelap, Sean lebih suka kopi dari pada susu saat pagi hari. Sean hanya ingin roti dengan selai nanas, warna favoritnya hitam, lebih suka pisang dari pada apel. Terkadang suka berbicara saat tertidur. Dan sangat takut dengan kecoa. Untuk bagian yang terakhir adalah senjata Safira untuk meledeknya.
"Lo kenapa?"
Safira menolehkan wajahnya. Sean sudah pulang. Ia bergegas menghampiri Sean, membantunya membuka jas kerja dan dasinya, itu sudah dilakukannya semenjak Sean mulai bekerja. Hanya sekedar formalitas di depan kedua orang tua Sean. Awalnya Safira merasa canggung untuk melakukan hal itu, tapi mau bagaimana lagi, jika tidak seperti itu mungkin orang tua Sean akan mencurigai mereka berdua.
"Saya bingung." Ucap Safira lesuh. Sambil mengekori Sean yang sedang berjalan menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar mereka.
"Nyokap bikin lo susah lagi?"
"Bukan." jawab Safira lagi saat tubuh mereka sudah masuk ke dalam kamar. "Kamu tahu kan saat pertama kali saya belajar masak, saya gak bisa ngebedain mana garam sama gula?" lanjutnya sambil membawa jas dan dasi Sean ke keranjang cucian.
"Hm, gue tahu ... terus apaan lagi hari ini?"
Safira duduk di ujung ranjang. Wajahnya lesu dan tidak bersemangat sama sekali. "Saya patahin spatula Mama kamu."
sontak saja Sean tertawa lepas. Ia sudah yakin kalau Safira pasti akan berbuat onar lagi di dapur ibunya. Walaupun Sean tidak pernah menyaksikan kejadian itu secara langsung, tapi melihat cara Safira menceritakan semua kejadian buruk yang menimpanya itu, membuat Sean tertawa geli.
Sean selalu mendengar berita tentang acara belajar memasak Safira dari mulut Mama Olive, setiap makan malam obrolan mereka hanya seputar Safira yang selalu berbuat onar di dapur.
"Ngapain maksain diri kalo lo ga bisa. Cuma tinggal bilang sama nyokap kalo lo sulit ngelakuin itu." Sean membuka lemari pakaian sekedar mencari baju ganti. Kikikan geli itu masih bisa Safira dengar keluar dari bibir Sean.
"Saya mau jadi menantu yang baik, setidaknya bisa memenuhi keinginan Mama kamu. Saya sudah lama tidak memiliki ibu, jadi bersama Mama kamu saya merasa seneng aja, tapi ya gitu ...." Safira menunduk sayu. "Mama kayaknya senang banget saat saya ingin belajar masak. Bahkan meski saya selalu membuat kekacauan di dapur dia hanya marah seperlunya, dia tidak pernah mengeluh."
Sean menutup pintu lemari dan berjalan pelan menghampiri Safira. Bagaimana pun, Sean tidak ingin jika Safira merasa keberatan dengan sikap Mamanya. Sean tahu kalau Safira merasa terbebani untuk ikut belajar masak, walaupun gadis itu tidak pernah mengeluh.
Safira memang tidak pernah mengeluh, ia tidak pernah menunjukan bagaimana dirinya kesulitan untuk tinggal di rumah ini selama seminggu, terlebih kesulitan itu ia dapat dari Olive, ibu mertuanya.
"Lo tahu, kalian berdua itu cocok. Nyokap gak pernah segitu sabarnya ngehadapin orang, tapi pas sama lo, dia bisa nahan itu semua. Nyokap bahkan gak pernah bosan ngajarin lo masak—ya meski dia begitu buat kebaikan gue juga. Tapi gue rasa nyokap seneng bisa ngajarin lo masak." Sean berjalan ke arah kamar mandi. "Fir ...," panggilnya, perempuan itu menoleh. "Semangat, dong," katanya sebelum kemudian menghilang masuk ke dalam kamar mandi.
***
Sesuai perjanjian dengan Mama Olive, kini Sean dan Safira sudah pindah dari rumah besar itu, untuk menempati rumah yang dibeli Sean sehari sebelum pernikahan mereka. Rumah yang terlihat sangat mininalis, tapi juga mewah. Halaman depannya lumayan luas setidaknya bisa untuk meletakan beberapa pot bunga.
Rumah itu memiliki dua lantai, lantai bawah hanya terdapat kamar mandi, dapur dan ruang tv, sementara lantai atas ada dua kamar yang masing-masing di dalamnya memiliki kamar mandi. Dapurnya lumayan luas untuk seorang Safira yang bisa dibilang tidak bisa memasak.
Dan sesuai surat perjanjian yang mereka tanda tangani, Sean dan Safira akan tidur terpisah. Sean menggunakan kamar utama, sementara Safira menggunakan kamar tamu. Kamar mereka bersebelahan, hanya saja jika dibandingkan dengan kamar Sean, kamar Safira terlihat lebih kecil.
"Mau sarapan gak?"
Safira sedang mengoleskan beberapa lembar roti di tangannya saat Sean baru saja turun dari kamar. Lelaki itu sedang sibuk dengan lilitan dasi, dan beberapa kancing kemeja miliknya yang berwarna navy blue.
"Elo masak?" tanya Sean saat ia berada di undakan anak tangga yang terakhir.
"Nggak, cuma roti." Safira memperlihatkan roti lapis selai coklat yang ada di tangannya
"Gue mau kopi aja."
"Hmm ... saya buatin dulu."
Safira meletakan roti lapis coklat itu di piring dan berbalik ke arah dapur. Sudah dua minggu Safira melakukan ini. Walaupun saat di rumah mertuanya, melayani Sean hanya sebuah formalitas, tapi Safira tidak merubahnya saat berada di rumah mereka sendiri. Hanya untuk yang satu itu, jika membukakan jas kerja dan dasi Sean itu tidak perlu menurutnya. Sean bisa melakukannya sendiri dengan kedua tangannya.
Safira membawa secangkir kopi yang masih terlihat kepulan asapnya dan meletakan itu di atas meja makan. Safira masih memiliki akal untuk tidak membiarkan Sean kelaparan setiap harinya. Terkadang, saat pulang kerja, Safira masih menyempatkan diri untuk membuat makan malam. Sebenarnya itu ia lakukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi Safira selalu melebihkan porsi masakannya untuk Sean. Walaupun terkadang pria itu tidak menyentuhnya sama sekali.
"Kamu beneran gak mau roti?" tanyanya lagi.
"Lagi gak mau aja, gue juga nanti mau makan di luar," jawab Sean sambil menyeruput kopi hitam miliknya. "Elo mau berangkat bareng gue apa enggak?" tanyanya setelah meletakan cangkir kopi itu ke atas meja.
"Saya berangkat sendiri aja, mau ketemu sama Mas Angga sebentar."
Sean hanya menganggukan kepalanya seolah tak acuh. Tidak penting juga untuknya Safira ingin pergi bersama siapa pun.
"Oke, kalo gitu gue berangkat sekarang."
"Hmm."
Sean menghabiskan setengah kopi miliknya dan berlalu dari hadapan Safira begitu saja. Sebenarnya Sean adalah tipe pria hangat, hanya saja dari kecil ia selalu dimanjakan dengan kemewahan yang kedua orang tuanya berikan, terutama ibunya.
****
kalo yang baca bisa sampe 200ribu, saya up banyak nanti haha kira-kira bisa gak yaa??? sama share cerita ini yaa, ajak teman teman kalian untuk baca
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 305 Episodes
Comments
aileerain
serba salah jadi menantu. wanita sibuk karir, ga bisa masak, salah. dapet yang pinter masak tapi ga kerja ntar salah lagi 😄😄
2024-10-07
0
Laila Yusra
terpaksa nikah, tak perlu marah marah,p ni baru ok.👍👍 mantap Thor..klu dapat Safira pintar nyanyi, meski ga pintar masak, biar seannya.....
2023-07-16
0
Ekawati Hani
😂😂😂😁😁😁
2022-10-06
0