Gak ada yang gak gue tahu tentang lo
—Sean—
••••
Safira menatap lelaki yang baru saja berjalan memasuki kafe tempat dimana ia duduk saat ini. Wajah lelaki itu memang tidak asing untuknya karena mereka sudah pernah bertemu walaupun baru sekali.
Tubuhnya yang tinggi bak seorang model mampu membuat wanita manapun tidak akan ada yang bisa menolak pesonanya. Tampan, hidung mancung dan kulit yang putih. Tapi tidak dengan Safira, menurutnya lelaki ini adalah bencana.
Di umurnya yang ke 24 tahun dan dengan karir yang baik, Safira harus merelakan statusnya berubah menjadi seorang istri. Bahkan lebih dari itu, ia harus menikahi laki-laki yang tidak ia cinta. Ingin rasanya Safira menendang bokong Sean yang seksi itu.
"Lo udah lama nunggu?" Sean bertanya sembari menarik kursi yang berada di depan Safira, membuat gadis itu tersentak dari lamunannya tentang Sean.
"Belom."
"Gimana kondisi bokap lo?"
Safira menatap Sean ragu-ragu. "Udah baikan, besok juga udah bisa pulang ke rumah."
Sean menganggukan kepalanya dan segera menyodorkan beberapa lembar kertas ke depan Safira. "Baca dulu. Kalo ada yang gak lo suka, lo berhak mengajukan penolakan. Dan lo juga boleh mengajukan beberapa poin untuk diri lo."
Alis Safira mengernyit bingung. "Ini ... apaan?"
"Surat perjanjian."
Benar, perjanjian itu. Safira hampir lupa dengan perjanjian mereka, yang sebenarnya adalah urusan utama mereka sekarang ini.
Beberapa menit Safira membaca isi perjanjian tersebut. Ia tidak pernah menduga kalau hidupnya akan sangat bergantung pada selembar kertas menjijikan yang ada di tangannya ini.
Surat perjanjian
Sean Arista Pradipta selaku pihak pertama
Safira Nadia selaku pihak kedua
"Setelah menikah pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan kegiatan apapun dan berjanji tidak akan mengurusi kehidupan pribadi masing-masing," ujar Safira membaca poin pertama dari perjanjian itu. "Saya setuju dengan poin ini."
Seann hanya bergumam sambil menganggukan kepalanya.
"Pihak pertama dan pihak kedua hanya boleh menempati rumah yang telah disediakan oleh pihak pertama tanpa ada pengurus rumah." Safira menatap Sean. "Maksudnya?" Bertanyaan polos itu meluncur bebas dari bibirnya.
"Gue sama lo bakalan tinggal satu atap, tapi dengan kamar yang berbeda. Gak boleh ada yang tahu tentang hal ini, terutama bokap gue. Maka itu gue saranin kita berdua gak usah pake jasa asisten rumah tangga."
"Terus siapa yang bakalan beresin rumah kalo gitu." Safira merengut.
Sean mengedik dengan tangan terlipat di depan dada. "Ya menurut lo siapa lagi? Rumah, gue yang beli, yang beresin ya elo!" ujarnya santai.
Safira menggeram. Sialan. Mentang-mentang dirinya menumpang di rumah itu, bukan berarti Sean bisa memerintahnya begitu saja. Apa lelaki itu berpikir hanya dirinya yang sibuk bekerja?
"Saya gak setuju sama poin yang ini! Kamu pikir cuma kamu yang bekerja, saya juga. Kalo untuk mengurus rumah itu sendirian saya keberatan," katanya kesal dan memberengut. "Saya maunya kita bagi tugas. Untuk cuci baju kita bisa gunain jasa laundry terdekat, dan untuk bersih-bersih rumah, kita harus ngelakuin itu bergantian."
"Gue gak setuju. Gue gak bisa ya beres-beres rumah."
"Ya udah, kalo gitu kita batalin aja perjanjiannya!"
Mata Sean membelalak. "Gak bisa lah!"
"Bisa! Saya gak masalah nikah sama kamu, entah nanti tinggal di rumah orang tua kamu atau orang tua saya. Itu gak masalah!" ancam Safira dengan wajah kesal. "Sekarang keputusan ada di kamu!"
Sean melongo takjub. Hebat sekali perempuan seperti Safira bisa mengancamnya, dan anehnya ia merinding mendengar ancaman itu. Sean tidak memiliki pilihan lain, memang ada baiknya ia mengalah dengan poin ini.
"Oke-oke. Tapi inget ya, tugas ini dikerjain sama-sama."
"Iya." Safira mengulas senyum tipis dan kembali menatap kertas perjanjian itu. "Poin ketiga; pihak pertama dan pihak kedua boleh meninggalkan rumah untuk waktu yang lama dengan alasan yang jelas dan diketahui oleh pihak lainnya."
Safira mengalihkan pandangannya. "Ini maksutnya saya harus kasih tahu kamu kalo saya ingin pergi? Bukannya poin pertama udah ngejelasin ya kalo kedua belah pihak dilarang mengurusi urusan peribadi masing-masing?"
"Kalo lo mau keluar buat kerja itu gak perlu. Elo cuma perlu ngabarin gue kalo ada urusan mendadak, kayak gak bisa pulang ke rumah atau ada pekerjaan di luar kota. Ini cuma jaga-jaga aja kalo seandainya ada yang nanya, untuk menyamakan jawaban."
"Oh ...," timpal Safira dengan anggukan kepala. "Oke, saya paham."
Ia lalu kembali membaca poin ke empat dari surat perjanjian itu. Matanya tiba-tiba melebar sempurna. "Ini, maksudnya apa?"
"Pihak kedua gak boleh jatuh cinta dengan pihak pertama, begitupun sebaliknya," sambar Sean.
Safira merengut. "Kenapa harus gitu?"
"Emangnya lo bakalan jatuh cinta sama gue?"
"Ya enggak lah!" sahut Safira cepat.
Sean memandangnya dengan alis tertaut. "Terus? Gak masalah kan?"
"Gak!" balas gadis itu galak. Ia kembali membaca kertas itu. "Masing-masing pihak dilarang memberitahukan perjanjian ini kepada pihak manapun." Pandangan Safira lagi-lagi jatuh pada lelaki di depannya itu. "Gimana kalo saya gak sengaja ngebocorin ini sama orang lain?"
"Otomatis perjanjian batal dan kita akan bercerai." jelas Sean.
Safira bergeming di kursinya dengan pandangan kosong. Menikah saja belum, tapi mereka sudah membicarakan perpisahan saja.
"Poin ke enam," Safira tersentak saat Sean menarik kertas di tangannya dan memajukan tubuh tegap itu ke arahnya. "Perjanjian pernikahan ini hanya berlaku sampai 8 bulan pernikahan. Setelah 8 bulan menikah, pihak pertama dan pihak kedua akan bercerai dan otomatis perjanjian pernikahan ini akan berakhir." ujar Sean mengakhiri.
Mata mereka saling memandang dalam satu garis lurus. Safira bisa melihat bibir Sean yang menyeringai ke arahnya. "Kalo gak ada yang mau lo tambahin lagi, lo bisa tanda—"
"Ada!" sela Safira cepat. Ia lalu menarik kembali kertas perjanjian itu, dan menuliskan sesuatu di atasnya. "Poin ke tujuh, tidak ada kontak fisik!"
Sean mendesis geli. "Siapa juga yang mau nyentuh lo."
"Saya hanya mau berjaga-jaga. Kamu kan laki-laki, dan saya perempuan. Bisa aja kamu ngambil kesempatan dalam kesempitan." Safira berujar gugup dan kaku.
Mau bagaimana pun mereka adalah manusia dengan jenis kelamin berbeda, dan manusia dewasa dengan pikiran normal. Itu semua bisa saja terjadi. Terlebih kalau misalkan semua itu terjadi Safira adalah pihak yang dirugikan.
"Oke! Lagi juga gue gak akan nyentuh lo!"
"Gimana kalo kamu ngelanggar?"
"Gue?" Sean menunjuk dirinya sendiri, lalu gelak tawa terdengar setelahnya. "Gue gak nafsu mau nyentuh lo juga, tapi kalo emang itu terjadi gue bakalan kasih apa pun yang lo minta! Meskipun itu gak mungkin!"
Safira mengangguk setuju.
"Kalo pun harus ada kontak fisik, itu harus dengan persetujuan masing-masing pihak," lanjut Sean.
"Hem, saya setuju."
Sean dan Safira mulai menandatangani kertas perjanjian tersebut setelah ditambah dengan poin ke tujuh dari Safira. Masing-masing dari mereka menyimpan satu, agar tidak ada kecurangan.
"Nanti malam gue mau ngajak lo makan di rumah." ucap Sean seraya memasukan kertas tersebut ke dalam amplop coklat.
Safira terkejut. Cepat sekali menurutnya. "Untuk apa?"
"Ngeyakinin bokap gue kalo kita emang sungguh-sungguh mau nikah. Asal lo tahu, bokap gue itu hebat, matanya ada dimana-mana. Usahain kalo di depan dia kita harus kelihatan meyakinkan."
Safira mengangguk lagi. "Tapi, saya belum bilang apa-apa sama ayah. Saya takut kalo harus berbohong sama dia."
Anak penurut. Anak yang berbakti pada orang tua. Sean yakin kalau Safira sama sekali belum pernah berpacaran. Gadis itu terlihat sangat polos untuk urusan seperti ini. Gadis lugu. Tidak salah memang kalau papanya memilih Safira sebagai menantu di keluarga mereka. Safira gadis polos yang tidak pernah mengerti dunia luar.
"Biar gue yang bilang sama bokap lo."
"Beneran?" Sean mengangguk, membuat Safira tersenyum. Ya Tuhan, kenapa cantik sekali. Sean menyadarinya. "Makasih kalo begitu."
Sean gelagapan, berpaling menunduk dan kemudian kembali memandang Safira. "Em ... iya, entar jam enam sore gue jemput."
"Dimana?"
"Di rumah lo!"
Safira menyipitkan matanya. "Emangnya kamu tahu rumah saya?"
Safira terlihat menggemaskan saat mengatakan itu, seperti anak kecil. Siapa sangka umurnya sudah menginjak 24 tahun.
"Gak ada yang gak gue tahu tentang lo! Bahkan ukuran dada lo aja gue tahu." Sean menatap gundukan kecil yang ada di depan dada Safira sambil terkekeh geli.
Sontak gadis itu langsung menyilangkan tangannya di depan dada. "Ihh! Seaaaaan!!"
••••
Tolong dukungannya ya, tekan like dan berikan vote dalam bentuk poin dan koin bagi yang punya. Terima kasih ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 305 Episodes
Comments
🍁ɳιҽℓα❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
.kutunggu bucinmu yah sean awas aja
2023-02-21
0
TikTikTik
ya kamu udah bocorin duluan ke Bella
2022-02-08
0
Momyrangga
Gayo Lo gokil Sean...jadi keinget am kaisar....
2022-02-02
0