Guruku, Cinta Pertamaku
‘Sunyi... Sunyinya hati ini. Tak terungkapkan lewat kata. Hanya semilir angin yang mampu menyampaikan kerinduanku ini padamu.’
“Pak Rendra... Dimanakah dirimu saat ini? Adakah kau juga rindu padaku?” gumamku sambil melihat langit yang biru dan merasakan sejuknya angin yang menyapu lembut rambutku yang sedang terurai.
Sambil terduduk di bawah pohon yang rindang, ku pejamkan mataku dan membayangkan tentang semua kejadian di masa lalu.
Saat itu...
Juli 2000
“Tiara..!!! Bangun..!!” teriak ibuku dari balik pintu kamarku.
“Apa sih, bu? Masih pagi juga sudah teriak-teriak. Malu di dengar tetangga.” Ucapku dengan suara teriak dan dengan nada bermalas-malasan.
“Apa sih... Apa sih... Lihat tuh, jam. Sudah jam berapa sekarang. Kamu tidak berangkat ke sekolah?” tanya ibu dengan nada yang masih teriak.
Mendengar jawaban ibu, aku pun langsung membuka mataku lebar-lebar dan berkata, “Ah iya, ya. Hari pertama sekolah. Aduh... Aku harus cepat siap-siap, nih. Kalau tidak bisa gawat.”
Aku pun dengan segera bangkit dari tidur panjangku... Eh salah... Aku pun langsung bangkit dari tempat tidurku dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
Saat semua sudah selesai, aku pun langsung keluar dari kamarku dan berjalan menuju ruang makan.
“Bagaimana, sayang? Apakah kamu sudah siap untuk hari pertamamu sekolah di SMU?” tanya Ayah.
“InsyaAllah siap, Ayah.” Sahutku mantap
“Bagus. Sekarang cepatlah kamu habiskan sarapanmu. Setelah itu Ayah akan antarkan kamu ke sekolah.” ucap Ayah dan aku pun mengangguk.
Tak berapa lama kemudian, kami pun sudah selesai sarapan. Dengan sedikit agak terburu-terburu, ayah pun mengendarai mobil untuk mengantarkan ku sampai di sekolah.
Sesampainya di pintu gerbang, ayah berpesan, “Sayang... Kamu harus belajar baik-baik. Jangan pacaran dulu sebelum kamu lulus.”
“Ah, Ayah. Boleh lah coba-coba. Plis.” ucapku memohon.
“No. Tidak boleh. Oke.” ucap Ayah.
Ayahku ini memang agak sedikit kolot pikirannya. Tapi aku tahu kalau apa yang dia lakukan ini adalah untuk kebaikanku juga.
“Baiklah, ayah.” sahutku pada akhirnya.
“Nah, begitu donk. Itu baru namanya anak Ayah. Ya sudah. Sana kamu turun.” Ucap Ayah dan aku pun mengangguk lalu turun.
Tak sampai menunggu lama, ayah pun sudah melajukan mobilnya lagi menuju kantor.
Aku yang semula turun di depan gerbang pun akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam.
Saat aku hendak memasuki gerbang sekolah, tiba-tiba...
‘Pletak..’
“Aw...” pekikku sambil memegang kepalaku yang tertimpa sebuah kaleng minuman.
“Eh... Sori... Sori... Kamu tidak apa-apa?” tanya orang itu.
“Oh... Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.” Sahutku yang sebenarnya merasa sedikit sakit.
“Benar kah?! Mana sini coba aku lihat.” Ucapnya yang langsung turun dari atas pohon.
Setelah sampai di bawah, cowok itu langsung melihat keningku dan berkata, “Waduh, sampai merah seperti ini. Aduh... Aku minta maaf, ya.”
“Iya... Iya... Tidak apa-apa kok.” ucapku.
“Hmm... Begini saja. Bagaimana kalau sebagai permintaan maaf dari aku, aku berikan kamu servis tambahan.” ucapnya berbisik di telingaku.
“Ha?” itu lah kata yang spontan aku keluarkan.
“Ya ampun... Mimpi apa aku semalam?! Pagi buta seperti ini ada cowo yang bilang mau kasih aku servis tambahan. Hadeuh... “ gumamku.
“Kok ha, sih?! Aku serius, tahu.” Ucapnya lagi.
“Eh..” sahutku singkat yang bingung mau memberi respon apa.
“Hadeuh... Ya sudahlah. Pokoknya, begitu saja. Aku akan kasih kamu servis tambahan. Titik tidak ada koma.” ucap cowok itu dan langsung nyelonong masuk meninggalkan aku sendirian di pintu gerbang.
“Ha?! Ini apa sih maksudnya? Siapa juga cowok itu?!” gumamku lirih.
Aku yang sedang bingung sekaligus heran, tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah tepukan di pundakku.
“Tiara. Kamu ternyata sekolah di sini juga?” tanya orang itu yang ternyata temanku waktu di SMP, Mia.
“Eh kamu, Mi. Kamu juga sekolah di sini?” tanyaku.
“Iya, donk.” sahutnya.
“Wah... Asiknya. Ternyata aku ada teman juga yang sekolah di sini.” ucapku.
“Huh, dasar kamu ini.” Celetuknya.
“Ya sudah... Ayo kita masuk ke dalam.” ucap Mia sambil merangkul pundakku dan membawaku masuk.
Saat setelah berada dalam gedung sekolah, Mia lagi-lagi berkata, “Hai, Ra. Kamu memangnya di kelas mana?”
“Oh... Hmm... Aku sih kalau tidak salah ingat.. Hmm... Aku masuk di kelas I.3.” sahutku.
***
Skip...✏️
Saat tahun 2000, istilah untuk ruang kelas yang di pakai saat itu adalah I.1, I.2. I.3, dst.
***
“Wah... Kita sekelas, Ra.” ucap Mia senang.
“Beneran kita sekelas, Mi?” tanyaku memastikan dan dia pun mengangguk.
“Wah, senangnya.” Ucapku.
“Tapi sekarang coba kita cari dulu satu-satu ruang kelas kita ada di mana. Mumpung upacara penerimaan siswa belum di mulai.” Ucap Mia yang mengajakku berkeliling.
Dan ketika kami sedang berkeliling, tiba-tiba aku melihat seseorang yang cukup tidak asing dalam ingatanku.
“Ah... Iya. Dia kan cowo yang tadi bilang ingin memberikaku servis tambahan. Memangnya siapa sih dia?! Kenapa ada banyak sekali kakak kelas yang mengerumuninya?” gumamku dalam hati sambil tanpa sadar memperhatikannya.
Di saat yang bersamaan, rupanya, dia pun melihat ke arahku. Otomatis tatapan mata kami pun bertemu. Saat itu, dia pun menunjukkan senyumnya padaku. Aku pun seketika langsung mengalihkan pandanganku.
“Hadeuh... Awal sekolah yang sangat di luar perkiraan.” gumamku lagi dalam hati.
Setelah beberapa saat berkeliling, akhirnya kami pun menemukan di mana kelas kami.
Di saat yang bersamaan, ada pengumuman agar seluruh siswa baru berkumpul di lapangan.
Kami yang mendengar pengumuman itu pun akhirnya segera menuju lapangan.
Setelah semuanya telah berkumpul di lapangan, upacara penyambutan siswa baru pun di mulai.
Kami pun mendengarkan beberapa patah kata sambutan dari wakil sekolah. Kami juga diperkenalkan satu persatu nama-nama guru yang akan mengajar di sekolah ini.
Tapi tunggu dulu. Kenapa firasatku jadi tidak enak seperti ini?! Yup... Benar saja. Cowok yang tadi bertemu denganku itu ternyata guru di sekolah ini.
“Ya ampun...” celetukku lirih.
Setelah beberapa saat kemudian, upacara pun selesai. Kini kami di suruh untuk memasuki ruang kelas masing-masing dan duduk sesuai dengan yang sudah di tentukan.
Saat sudah masuk ke dalam kelas, ternyata posisi dudukku ada di depan percis meja guru.
“Aduh... Ampun deh kalau caranya begini.” gerutuku.
“Kamu kenapa, Ra?” tanya Mia.
“Kenapa aku bisa kebagian di sini sih?” gerutuku.
“Tenang, Ra. Ada aku. Aku ada di belakangmu kok. Nih, lihat.” Ucap Mia.
“Ya ... Tapi kan sama saja.” gerutuku.
“Sudah... Sudah... Sabar. Paling hanya untuk sementara saja.” ucap Mia mencoba menenangkanku.
“Mudah-mudahan saja, Mi.” Sahutku.
Tak selang berapa lama, wali kelas kami pun masuk. Aku yang sedang merasa kesal dengan pembagian bangku ini pun tiba-tiba syok melihat siapa yang datang untuk menjadi wali kelas kami.
“Apa? Kok bisa?” gumamku
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Ney Maniez
mampir
2022-07-17
0
Zifa Zifa
hahaha🤣🤣🤣🤣🤣 hadapi hari much dengan senang hati ra, semangat deh😆😆😆😆😆
2021-03-24
1
Reni Handayani
hai kak aku hadir
semangat kak
jangan lupa mampir di ceritaku juga ya judulnya arya dan hilam putih kehidupan
2020-09-15
2