“Hai, Tiara. Masuklah.” ucap orang itu yang ternyata pak Rendra.
“Hmm... Bapak. Aku sedang menunggu jemputan.” ucapku.
“Lha, ini jemputannya sudah datang. Masa’ kamu tidak mau naik?” ucapnya dari dalam mobil.
“Ha?! Pak, aku tidak bercanda. Aku benar-benar sedang menunggu jemputan.” ucapku.
“Ya ampun, Tiara. Siapa juga yang sedang bercanda sama kamu?! Aku ini tadi di suruh kakakmu untuk mengantarmu pulang.” jelas pak Rendra yang ternyata memang di suruh oleh kak Zaki.
Memang, pak Rendra ini, entah mengapa jika sedang berdua denganku selalu menyebut dirinya dengan sebutan ‘aku’.
“Bapak kenal dengan kak Zaki?” tanyaku.
“Kenal. Nah, sekarang kamu sudah bisa masuk, kan? Tidak enak di lihat oleh orang-orang di sekolah.” ucapnya yang terdengar membingungkan buatku.
Aku pun segera masuk ke dalam mobil dan bertanya, “Memangnya kenapa, pak? Kok sampai merasa tidak enak di lihat orang?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku melainkan hanya tersenyum sambil mulai menjalankan mobilnya.
Sesampainya di rumah, aku melihat kakakku.
“Kakaaaaaaaaak..!!” teriakku sambil berlari ke arahnya karena kesal, ternyata dia sudah membohongiku.
“Ha? Ya ketahuan deh. Kabuuuuuuuuuur....” sahutnya sambil berlari ke arah pak Rendra dan bersembunyi di belakang pak Rendra yang memang saat itu aku persilahkan masuk. Sementara itu, di rumah cuma ada kakak saja. Ayah masih kerja dan ibu juga sedang bekerja.
“Kak, jangan bersembunyi. Sini kalau berani. Hadapi aku.” Ucapku sambil berusaha menangkap kakakku yang sedang barada di balik badannya pak Rendra.
“Ren... Tolong aku. Buat bocil ini tidak mengejarku terus.” ucap kakak membuatku semakin emosi.
“Kakaaaaaaaaaaaak..!!! Sekali lagi kakak bilang aku bocil, jangan harap kakak bisa tidur nyenyak malam ini.” ancamku.
“Hadih... Kok begitu sih, Ra?” protes kak Zaki.
“Habisnya kakak duluan sih yang sudah buat aku kesal seperti ini.” Ucapku.
“Iya... Iya... Maafkan kakakmu ini ya, Ra. Plis” mohonnya yang tiba-tiba keluar dari balik badan pak Rendra dan memegang tanganku.
“Au ah.” sahutku yang pura-pura merajuk.
“Ren, tolong aku, napa?! Dari tadi kamu diam saja dan tidak membelaku.” protes kak Zaki.
“Lha aku harus gimana, Zak?” tanya pak Rendra bingung.
“Bantu aku bujuk adikku supaya dia tidak merajuk seperti itu.” pinta kak Zaki.
“Ha?” ucapnya spontan.
“Kakak payah. Ini baru aku, adik sendiri aja yang merajuk, kakak sudah menyerah seperti ini. Gimana nanti kalau istrinya yang merajuk?! Bisa nangis darah kali, tuh.” celetukku yang langsung pergi meninggalkan mereka berdua dan masuk ke dalam kamar untuk ganti pakaian.
“Lha... Lha... Dia malah masuk ke dalam kamar. Woi... Ra..!! Kalau sama istri mah kakak jelas beda lha. Woi... Ra..!!!” teriaknya yang bisa aku dengar dari dalam kamar.
“Dasar si kak Zaki.” gumamku sambil mengganti pakaian.
Setelah aku selesai mengganti pakaianku, aku pun keluar dari kamar.
“Hai, Ra. Kamu mau ngapain?” tanya kak Zaki saat melihatku hendak ke dapur.
“Hehehe...” sahutku sambil melihat ke arah pak Rendra. Ternyata...
“Ya ampun, si kakak. Kok pak Rendranya tidak di kasih minum, sih?” gumamku dalam hati.
Dan di saat yang bersamaan...
“Lha?” tanyanya bingung.
Aku pun tidak memperdulikan kakakku bicara apa. Aku langsung saja mengambilkan minuman untuk pak Rendra dan juga sedikit makanan ringan.
“Ini, pak. Silahkan di minum dan di makan.” ucapku sambil menyuguhkannya dan duduk santai di sampingnya sambil nonton TV.
Saat aku sedang serius menonton televisi, tiba-tiba aku melihat...
“Kakaaaaaaaaak..!!!” teriakku yang langsung menaikkan kakiku ke atas bangku.
“Astaga, Ra. Apa sih, teriak-teriak kaya gitu?” tanya kak Zaki dan pak Rendra pun spontan melihat ke arahku.
“I—i—itu, kak. Itu di sana ada kecoa.” Ucapku sambil menunjuk ke arah lantai yang tadi ada kecoanya.
“Mana, Ra? Mana?” tanya kak Zaki sambil mencari-cari keberadaan si kecoa tapi tetap tidak ketemu dan pak Rendra pun ikut mencari.
Lalu tiba-tiba si kecoa ternyata merayap mendekatiku. Spontan aku pun langsung melompat ke pangkuan pak Rendra. Karena aku yang terlalu panik sampai-sampai aku sudah tidak peduli lagi aku sedang berada di pangkuan siapa.
“Astaga, nih anak.” Ucap kak Zaki sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kak... Huwaaaaa.... Aku takut kecoa. Kakaaaaaak..!!” ucapku sambil memeluk pak Rendra dan menangis ketakutan.
“Sudah... Sudah... Kecoanya sudah mati. Tuh lihat.” Ucap pak Rendra mengelus-ngelus rambutku.
“Ha? Beneran, pak?” tanyaku.
“Iya. Tuh lihat.” Ucapnya sambil menunjukkanku ke arah kecoa yang mati.
“Hehehe... Iya.” ucapku.
Namun ketika aku hendak turun dari pangkuan pak Rendra, tiba-tiba...
“Ra, ini apa?!” ucap kakakku yang iseng tiba-tiba menyodorkan kecoa mati padaku.
Spontan aku langsung berteriak dan pingsan. Saat aku terbangun, pak Rendra berkata, “Kamu sudah sadar, Tiara?”
“Pak... Kecoa... Kecoa, pak.” Ucapku yang spontan langsung memeluk pak Rendra lagi.
“Tenang saja, Tiara. Kecoanya sudah di buang, kok.” ucap pak Rendra.
“Beneran, Pak?” tanyaku dan dia pun mengangguk.
Setalah aku yakin kecoanya memang sudah hilang, aku pun langsung melepaskan pelukanku.
Tak selang berapa lama, kak Zaki datang dan berkata, “Hadeuh, Ra. Penyakitmu itu tidak hilang-hilang juga, ya?! Masa’ sudah sebesar ini masih takut sama kecoa?!”
“Au ah.” Sahutku yang langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
Saat aku mau melangkah menuju kamarku, tiba-tiba pak Rendra memanggilku dan berkata, “Tiara, kamu tidak ingin minum dulu? Supaya kamu jauh lebih tenang.”
Mendengar ucapannya, aku pun langsung berbalik badan dan meminum minuman yang ada di gelas lalu pergi.
Saat di dalam kamar, aku pun langsung merebahkan diri di atas kasur. Namun saat itu, tiba-tiba aku teringat kalau aku di suruh menyalin daftar nama dan juga daftar piket.
Dengan cepat, aku pun langsung bangun dan mengambil tasku.
Setelah beberapa saat kemudian aku pun sudah selesai menyalinnya dan tiba-tiba pintu kamarku di ketuk oleh seseorang.
Mendengar suara ketukan itu, aku pun langsung membukakan pintu. Saat pintu terbuka, aku melihat pak Rendra sedang berdiri di depan kamarku.
“Iya, pak. Ada apa?” tanyaku.
“Tiara, aku pamit mau pulang dulu, ya. Kamu sudah tidak apa-apa, kan?” tanya pak Rendra yang ternyata memastikan terlebih dahulu tentang keadaanku sebelum dia pulang.
“Aku sudah tidak apa-apa, pak. Terimakasih. Maaf... Tadi aku sudah bertingkah tidak sopan pada bapak.” ucapku.
“Tidak apa-apa, Tiara. Kan tadi pagi aku sudah bilang kalau aku akan kasih kamu servis tambahan. Dan yang tadi itu termasuk salah satunya.” jelasnya.
“Ha?” ucapku spontan.
“Sudah... Sudah... Tidak usah kamu pikirkan. Yang penting sekarang kamu sudah baik-baik saja.” ucap pak Rendra sambil tersenyum.
“Oh. Baiklah kalau begitu.” sahutku.
“Ya sudah, kalau begitu aku pamit pulang dulu.” ucapnya.
“Iya, pak. Hati-hati di jalan.” Pesanku dan dia pun mengangguk lalu pergi sementara aku pun langsung masuk ke dalam kamar.
Saat di dalam kamar, entah mengapa aku teringat kata-kata ‘Servis tambahan'. Membuat aku merinding di buatnya.
“Hadeuh...” gumamku.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Ney Maniez
😲😲🤔🤔🤔
2022-07-17
0
𝐙⃝🦜ᴬᴸ❣️ᶠᴬ☠ᵏᵋᶜᶟ𒈒⃟ʟʙᴄ
q ikutan senyum2 sendiri 🤭🤭
2021-12-21
1
Zifa Zifa
azeeeekk aku zuka thooorrr😆😆😆😆❤❤❤
2021-03-24
3