NovelToon NovelToon

Guruku, Cinta Pertamaku

GCP 1. Awal pertemuan

‘Sunyi... Sunyinya hati ini. Tak terungkapkan lewat kata. Hanya semilir angin yang mampu menyampaikan kerinduanku ini padamu.’

“Pak Rendra... Dimanakah dirimu saat ini? Adakah kau juga rindu padaku?” gumamku sambil melihat langit yang biru dan merasakan sejuknya angin yang menyapu lembut rambutku yang sedang terurai.

Sambil terduduk di bawah pohon yang rindang, ku pejamkan mataku dan membayangkan tentang semua kejadian di masa lalu.

Saat itu...

Juli 2000

“Tiara..!!! Bangun..!!” teriak ibuku dari balik pintu kamarku.

“Apa sih, bu? Masih pagi juga sudah teriak-teriak. Malu di dengar tetangga.” Ucapku dengan suara teriak dan dengan nada bermalas-malasan.

“Apa sih... Apa sih... Lihat tuh, jam. Sudah jam berapa sekarang. Kamu tidak berangkat ke sekolah?” tanya ibu dengan nada yang masih teriak.

Mendengar jawaban ibu, aku pun langsung membuka mataku lebar-lebar dan berkata, “Ah iya, ya. Hari pertama sekolah. Aduh... Aku harus cepat siap-siap, nih. Kalau tidak bisa gawat.”

Aku pun dengan segera bangkit dari tidur panjangku... Eh salah... Aku pun langsung bangkit dari tempat tidurku dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Saat semua sudah selesai, aku pun langsung keluar dari kamarku dan berjalan menuju ruang makan.

“Bagaimana, sayang? Apakah kamu sudah siap untuk hari pertamamu sekolah di SMU?” tanya Ayah.

“InsyaAllah siap, Ayah.” Sahutku mantap

“Bagus. Sekarang cepatlah kamu habiskan sarapanmu. Setelah itu Ayah akan antarkan kamu ke sekolah.” ucap Ayah dan aku pun mengangguk.

Tak berapa lama kemudian, kami pun sudah selesai sarapan. Dengan sedikit agak terburu-terburu, ayah pun mengendarai mobil untuk mengantarkan ku sampai di sekolah.

Sesampainya di pintu gerbang, ayah berpesan, “Sayang... Kamu harus belajar baik-baik. Jangan pacaran dulu sebelum kamu lulus.”

“Ah, Ayah. Boleh lah coba-coba. Plis.” ucapku memohon.

“No. Tidak boleh. Oke.” ucap Ayah.

Ayahku ini memang agak sedikit kolot pikirannya. Tapi aku tahu kalau apa yang dia lakukan ini adalah untuk kebaikanku juga.

“Baiklah, ayah.” sahutku pada akhirnya.

“Nah, begitu donk. Itu baru namanya anak Ayah. Ya sudah. Sana kamu turun.” Ucap Ayah dan aku pun mengangguk lalu turun.

Tak sampai menunggu lama, ayah pun sudah melajukan mobilnya lagi menuju kantor.

Aku yang semula turun di depan gerbang pun akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam.

Saat aku hendak memasuki gerbang sekolah, tiba-tiba...

‘Pletak..’

“Aw...” pekikku sambil memegang kepalaku yang tertimpa sebuah kaleng minuman.

“Eh... Sori... Sori... Kamu tidak apa-apa?” tanya orang itu.

“Oh... Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.” Sahutku yang sebenarnya merasa sedikit sakit.

“Benar kah?! Mana sini coba aku lihat.” Ucapnya yang langsung turun dari atas pohon.

Setelah sampai di bawah, cowok itu langsung melihat keningku dan berkata, “Waduh, sampai merah seperti ini. Aduh... Aku minta maaf, ya.”

“Iya... Iya... Tidak apa-apa kok.” ucapku.

“Hmm... Begini saja. Bagaimana kalau sebagai permintaan maaf dari aku, aku berikan kamu servis tambahan.” ucapnya berbisik di telingaku.

“Ha?” itu lah kata yang spontan aku keluarkan.

“Ya ampun... Mimpi apa aku semalam?! Pagi buta seperti ini ada cowo yang bilang mau kasih aku servis tambahan. Hadeuh... “ gumamku.

“Kok ha, sih?! Aku serius, tahu.” Ucapnya lagi.

“Eh..” sahutku singkat yang bingung mau memberi respon apa.

“Hadeuh... Ya sudahlah. Pokoknya, begitu saja. Aku akan kasih kamu servis tambahan. Titik tidak ada koma.” ucap cowok itu dan langsung nyelonong masuk meninggalkan aku sendirian di pintu gerbang.

“Ha?! Ini apa sih maksudnya? Siapa juga cowok itu?!” gumamku lirih.

Aku yang sedang bingung sekaligus heran, tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah tepukan di pundakku.

“Tiara. Kamu ternyata sekolah di sini juga?” tanya orang itu yang ternyata temanku waktu di SMP, Mia.

“Eh kamu, Mi. Kamu juga sekolah di sini?” tanyaku.

“Iya, donk.” sahutnya.

“Wah... Asiknya. Ternyata aku ada teman juga yang sekolah di sini.” ucapku.

“Huh, dasar kamu ini.” Celetuknya.

“Ya sudah... Ayo kita masuk ke dalam.” ucap Mia sambil merangkul pundakku dan membawaku masuk.

Saat setelah berada dalam gedung sekolah, Mia lagi-lagi berkata, “Hai, Ra. Kamu memangnya di kelas mana?”

“Oh... Hmm... Aku sih kalau tidak salah ingat.. Hmm... Aku masuk di kelas I.3.” sahutku.

***

Skip...✏️

Saat tahun 2000, istilah untuk ruang kelas yang di pakai saat itu adalah I.1, I.2. I.3, dst.

***

“Wah... Kita sekelas, Ra.” ucap Mia senang.

“Beneran kita sekelas, Mi?” tanyaku memastikan dan dia pun mengangguk.

“Wah, senangnya.” Ucapku.

“Tapi sekarang coba kita cari dulu satu-satu ruang kelas kita ada di mana. Mumpung upacara penerimaan siswa belum di mulai.” Ucap Mia yang mengajakku berkeliling.

Dan ketika kami sedang berkeliling, tiba-tiba aku melihat seseorang yang cukup tidak asing dalam ingatanku.

“Ah... Iya. Dia kan cowo yang tadi bilang ingin memberikaku servis tambahan. Memangnya siapa sih dia?! Kenapa ada banyak sekali kakak kelas yang mengerumuninya?” gumamku dalam hati sambil tanpa sadar memperhatikannya.

Di saat yang bersamaan, rupanya, dia pun melihat ke arahku. Otomatis tatapan mata kami pun bertemu. Saat itu, dia pun menunjukkan senyumnya padaku. Aku pun seketika langsung mengalihkan pandanganku.

“Hadeuh... Awal sekolah yang sangat di luar perkiraan.” gumamku lagi dalam hati.

Setelah beberapa saat berkeliling, akhirnya kami pun menemukan di mana kelas kami.

Di saat yang bersamaan, ada pengumuman agar seluruh siswa baru berkumpul di lapangan.

Kami yang mendengar pengumuman itu pun akhirnya segera menuju lapangan.

Setelah semuanya telah berkumpul di lapangan, upacara penyambutan siswa baru pun di mulai.

Kami pun mendengarkan beberapa patah kata sambutan dari wakil sekolah. Kami juga diperkenalkan satu persatu nama-nama guru yang akan mengajar di sekolah ini.

Tapi tunggu dulu. Kenapa firasatku jadi tidak enak seperti ini?! Yup... Benar saja. Cowok yang tadi bertemu denganku itu ternyata guru di sekolah ini.

“Ya ampun...” celetukku lirih.

Setelah beberapa saat kemudian, upacara pun selesai. Kini kami di suruh untuk memasuki ruang kelas masing-masing dan duduk sesuai dengan yang sudah di tentukan.

Saat sudah masuk ke dalam kelas, ternyata posisi dudukku ada di depan percis meja guru.

“Aduh... Ampun deh kalau caranya begini.” gerutuku.

“Kamu kenapa, Ra?” tanya Mia.

“Kenapa aku bisa kebagian di sini sih?” gerutuku.

“Tenang, Ra. Ada aku. Aku ada di belakangmu kok. Nih, lihat.” Ucap Mia.

“Ya ... Tapi kan sama saja.” gerutuku.

“Sudah... Sudah... Sabar. Paling hanya untuk sementara saja.” ucap Mia mencoba menenangkanku.

“Mudah-mudahan saja, Mi.” Sahutku.

Tak selang berapa lama, wali kelas kami pun masuk. Aku yang sedang merasa kesal dengan pembagian bangku ini pun tiba-tiba syok melihat siapa yang datang untuk menjadi wali kelas kami.

“Apa? Kok bisa?” gumamku

Bersambung...

GCP 2. Perkenalan

Dengan gayanya yang santai dan senyumnya yang khas, wali kelasku pun masuk ke dalam kelas. Batapa terkejutnya aku dengan siapa yang akan menjadi wali kelas di kelasku.

“Pagi, anak-anak.” sapanya dengan nada ceria dan bersahabat.

“Pagi, pak.” Sahut semua siswa yang ada dalam kelas.

“Nah ... sebelum kita memulai dengan kegiatan belajar mengajar esok hari, bagaimana kalau hari ini kita semua saling memperkenalkan diri masing-masing?” ucap guru Wali kelasku atau ucap laki-laki yang aku yang sudah aku temui pagi ini.

“Sekarang biar bapak yang akan memulai perkenalannya terlebih dahulu.” ucapnya.

“Kenalkan, nama bapak Rendra Adika Nugraha. Panggil saja dengan panggilan Pak Rendra. Bapak berusia 22 tahun. Di sekolah ini, bapak akan mengajarkan kalian mata pelajaran matematika. Nah, kalian semua, apakah ada pertanyaan untuk bapak?” ucapnya yang ternyata bernama Rendra.

“Saya, Pak.” ucap Mia.

“Iya. Kamu mau tanya apa?” tanya pak Rendra mempersilahkan Mia.

“Hmm... Pak, maaf. Apakah bapak sudah berkeluarga?” tanya Mia.

“Belum. Jangankan istri, pacar saja bapak belum punya.” sahutnya.

“Waah... Boleh tidak, kalau kami mendaftar jadi pacar bapak?” celetuk salah satu murid di kelas.

Mendengar celetukan itu, sontak membuat para murid cowo berseru, “Huuuuu, dasar.” Dan kelas pun menjadi gaduh.

“Sudah... Sudah...” ucap pak Rendra.

“Hmm... Untuk masalah itu, kita lihat saja nanti, ya.” lanjut pak Rendra.

“Nah, sekarang giliran kalian yang memperkenalkan diri masing-masing. Hmm... Kita mulai dari meja yang ada di dekat pintu masuk, ya.” ucapnya lagi.

Setelah mendapat instruksi seperti itu pun, kami pun akhirnya memperkenalkan diri kami masing-masing. Hingga akhirnya kini giliranku yang terakhir.

“Nah, sekarang yang terakhir giliran kamu. Nama kamu siapa dan umurmu berapa?” ucap pak Rendra.

“Hmm... Namaku Tiara Selena. Umurku 16 tahun.” ucapku dan dia pun tersenyum.

“Nah... setelah semuanya sudah saling berkenalan, bagaimana kalau kita membuat daftar kepengurusan kelas?” ucap pak Rendra.

Seketika kelas pun menjadi gaduh kembali. Melihat keadaan kelas yang berisik, akhirnya pak Rendra pun memutuskan agar dia lah yang akan memilih langsung nama-namanya.

Setelah semuanya sudah selesai di pilih dan di tentukan, tiba-tiba lagi-lagi aku terkejut...

“Lha? Kok aku dimasukkan dalam daftar?” gerutuku.

“Tiara, kamu kenapa?” tanya pak Rendra yang ternyata memperhatikan gerak-gerikku.

“Ha? Oh... Tidak ada apa-apa, pak.” Sahutku

Di saat yang bersamaan...

“Gini, nih. Tidak enaknya kalau duduk di depan percis meja guru.” gumamku dalam hati.

“Ya sudah kalau tidak ada apa-apa. Berhubung semuanya sudah selesai, kita mulai pelajarannya besok saja. Dan sekarang aku minta Tiara untuk datang ke kantor selaku sekretaris di kelas ini.” ucap pak Rendra.

“Ha?” sahutku spontan saat mendengar namaku dia sebutkan.

Dia pun tersenyum dan berkata, “Ya sudah kalau begitu. Bapak akan balik ke kantor dulu.”

“O ya, Tiara. Bapak tunggu kamu di kantor.” ucapnya dan seperti tadi... Sehabis bicara dia pun langsung nyelonong pergi.

Saat dia sudah tidak terlihat lagi, aku pun berkata, “Mi, kenapa nasibku begini sih?”

“Hehehe... Entahlah. Nikmati saja masa SMU ini, Ra.” ucap Mia.

“Ya sudah, sana. Sudah di tunggu pak Rendra di kantor, tuh.” lanjut Mia.

“Hik... Hik... Hik..., Mi. Aku tidak mau ke sana, Mi.” rengekku.

“Sudah, sana.” ucap Mia sambil mendorong badanku.

“Tapi... Kamu jangan pulang dulu, ya. Tunggu aku.” Pintaku.

“Iya... Iya.. Bawel. Siapa juga yang mau pulang?! Bel pulang saja belum berbunyi. Sudah, sana.” ucapnya.

Dengan langkah kaki yang malas, aku berjalan menuju kantor. Sesampainya di sana, aku melihat seorang laki-laki sedang duduk dengan melihat beberapa lembar kerta di tangannya.

Lalu ku coba beranikan diri untuk masuk dan menyapanya.

“Permisi, pak.” ucapku dan seketika dia pun langsung melihat ke arahku.

“Oh, kamu sudah datang. Sudah... Duduk dulu. Jangan tegang seperti itu.” Ucapnya.

Dan dalam hatiku saat itu...

“Hello... Woy.. Gimana aku tidak tegang. Lha bapak sendiri tadi pagi sudah bilang yang tidak-tidak sama aku.” Batinku.

“Eh.. Tiara.. Kamu tadi bicara apa?” tanyanya yang membuatku terkejut apakah dia bisa mendengar suara hati orang lain.

“Oh... Aku tidak bicara apa-apa, kok.” sahutku.

“Oh begitu. Bararti tadi cuma perasaan bapak saja kalau begitu.” ucapnya.

“Hehehe... Mungkin.” sahutku.

“Ya sudah. Kalau begitu, ini. Coba tolong kamu lihat tulisan bapak ini.” ucapnya sambil memberikan selembar kertas padaku.

“Hmm... Apa ini, pak?” tanyaku.

“Itu daftar nama yang tadi sudah di susun. Tolong kamu tulis ulang. Setelah itu kamu tempel di salah satu sisi dinding ruang kelas.” Jelasnya.

“Memang harus ya, pak?! Kan tidak usah di tempel juga tidak apa-apa. Toh mereka juga sudah pada tahu ini.” celetukku.

“Memang, sih. Tapi... Alangkah bagusnya jika dengan menempelkan ini, kalian jadi memahami tugas kalian masing-masing dan juga saling mengingatkan.” jelas pak Rendra.

“Lagipula bukan hanya ini saja kok yang di tempel.” lanjut pak Rendra.

“Maksud bapak, apa?” tanyaku bingung.

“Ini. Masih ada satu lagi yang juga harus kamu salin.” ucapnya lagi.

“Ini kalau tidak salah seperti jadwal piket ya, pak?” tanyaku memastikan.

“Yup.. Benar sekali. Itu jadwal piket. Nah, coba sekarang kamu salin ini. Setelah selesai, jangan lupa langsung di tempel. Ok.” ucapnya.

“Oh... Oke lah kalau begitu. Akan saya kerjakan.” ucapku.

“Nah, sekarang kamu sudah boleh balik ke kelas.” ucapnya dan aku pun menggangguk kemudian berbalik badan.

Sesampainya di kelas, Mia menegurku dan berkata, “Sudah beres? Memangnya tadi kamu di suruh apa?”

“Hmm... Aku di suruh nyalin ulang ini.” Sahutku sambil menunjukkan 2 lembar kertas.

“Oh. Tuh, kan. Hanya begitu saja. Kenapa tadi kamu kelihatannya tidak suka sekali di suruh ke kantor?” tanya Mia bingung.

“Kamu tidak tahu sih, Mi. Apa yang sudah terjadi padaku, pagi ini.” gumamku dalam hati.

“Hai, Ra. Kok kamu diam saja?” tanya Mia.

“Eh... Hehehehe.” hanya respon seperti itu yang bisa aku tunjukkan padanya.

“Ish.. Kamu ini.” ucapnya.

Saat kami sedang asik mengobrol, tiba-tiba bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku dan Mia pun akhirnya bersiap-siap untuk pulang.

“Ra, mungkin kita cuma bisa sampai pintu gerbang saja. Masalahnya beberapa waktu lalu aku pindah rumah. Jadinya sekarang rumah kita tidak searah.” jelas Mia.

“Oh, begitu. Ya sudah, Mi. Tidak apa-apa. Biar nanti aku akan hubungi kakakku untuk menjemputku.” ucapku.

Memang, aku ini anak ke dua dari 2 bersaudara. Aku mempunyai kakak yang sekarang juga sedang mengajar di salah satu SMP negeri di Tangerang. Nama kakakku adalah Zaki.

“Ya sudah. Kalau begitu, aku tunggu sampai kakakmu datang.” ucap Mia.

“Tidak perlu, Mi. Aku tidak apa-apa kok menunggu sendirian.” ucapku.

“Beneran tidak apa-apa?” tanyanya.

“Iya, Mi. Tidak apa-apa.” Sahutku.

“Ya sudah. Paling tidak, aku pulang setelah kamu selesai menghubungi kakakmu.” ucap Mia.

“Baiklah, Mi.” Sahutku yang langsung mencoba menghubungi kakakku.

Setelah beberapa saat, kakakku pun mengangkat ponselnya.

“Halo, kak.” ucapku.

“Iya. Ada apa, bocil?” tanya kak Zaki.

“Bocil... Bocil... Aku ini sudah besar, tahu.” protesku.

“O ya?! Kalau sudah besar, kenapa kamu belum punya pacar?” goda kak Zaki.

“Kakaaaaaaaaak..!!” teriakku kesal.

"Hehehe... Ada apa, Ra?" tanya kak Zaki.

"Kak, bisa jemput aku pulang, tidak?" tanyaku.

“Ya sudah... Ya sudah. Nanti kakak jemput. Kamu tunggu dulu di sana, ya. Jangan kemana-mana.” pesannya.

“Beres, bos.” Sahutku.

“Ya sudah. Kakak tutup dulu, ya. Kakak sedang ada rapat guru sebentar.” Ucap kak Zaki.

“Ok, kak.” Sahutku yang kemudian menutup teleponnya.

Setelah mengetahui kalau aku akan di jemput oleh kakakku, Mia pun akhirnya pulang duluan.

Setelah menunggu beberapa saat, tiba-tiba ponselku berbunyi lagi.

“Halo.” ucapku.

“Ra, rasanya kakak tidak bisa jemput kamu, deh.” ucap kak Zaki.

“Lha terus aku gimana, kak? Aku belum terbiasa di daerah ini.” rengekku.

“Ya sudah. Kalau begitu, biar teman kakak saja yang antar kamu pulang.” ucap kak Zaki.

“Teman kakak yang mana?” tanyaku.

“Tunggu saja. Nanti kamu juga akan tahu sendiri.” ucap kakakku.

“Ish... Kakak ini.” gerutuku.

“Sudah... Sudah... Kamu tunggu saja sampai dia datang. Sekarang kakak msu lanjut dulu rapatnya. Belum selesai masalahnya.” ucap kak Zaki yang kemudian menutup teleponnya.

“Ish.. Apa-apaan ini?! Punya kakak kok begini.” gerutuku sambil melihat ke arah ponselku.

Lalu di saat yang bersamaan, tiba-tiba...

‘Tin... Tin..’

Terdengar klakson mobil. Entah siapa itu. Tapi yang pasti dia sepertinya membunyikan klaksonnya untukku.

Beberapa saat kemudian, terbukalah kaca pintu depan mobil. Saat kulihat, ternyata...

“Astaga...”

Bersambung...

GCP 3. Insiden kecoa

“Hai, Tiara. Masuklah.” ucap orang itu yang ternyata pak Rendra.

“Hmm... Bapak. Aku sedang menunggu jemputan.” ucapku.

“Lha, ini jemputannya sudah datang. Masa’ kamu tidak mau naik?” ucapnya dari dalam mobil.

“Ha?! Pak, aku tidak bercanda. Aku benar-benar sedang menunggu jemputan.” ucapku.

“Ya ampun, Tiara. Siapa juga yang sedang bercanda sama kamu?! Aku ini tadi di suruh kakakmu untuk mengantarmu pulang.” jelas pak Rendra yang ternyata memang di suruh oleh kak Zaki.

Memang, pak Rendra ini, entah mengapa jika sedang berdua denganku selalu menyebut dirinya dengan sebutan ‘aku’.

“Bapak kenal dengan kak Zaki?” tanyaku.

“Kenal. Nah, sekarang kamu sudah bisa masuk, kan? Tidak enak di lihat oleh orang-orang di sekolah.” ucapnya yang terdengar membingungkan buatku.

Aku pun segera masuk ke dalam mobil dan bertanya, “Memangnya kenapa, pak? Kok sampai merasa tidak enak di lihat orang?”

Dia tidak menjawab pertanyaanku melainkan hanya tersenyum sambil mulai menjalankan mobilnya.

Sesampainya di rumah, aku melihat kakakku.

“Kakaaaaaaaaak..!!” teriakku sambil berlari ke arahnya karena kesal, ternyata dia sudah membohongiku.

“Ha? Ya ketahuan deh. Kabuuuuuuuuuur....” sahutnya sambil berlari ke arah pak Rendra dan bersembunyi di belakang pak Rendra yang memang saat itu aku persilahkan masuk. Sementara itu, di rumah cuma ada kakak saja. Ayah masih kerja dan ibu juga sedang bekerja.

“Kak, jangan bersembunyi. Sini kalau berani. Hadapi aku.” Ucapku sambil berusaha menangkap kakakku yang sedang barada di balik badannya pak Rendra.

“Ren... Tolong aku. Buat bocil ini tidak mengejarku terus.” ucap kakak membuatku semakin emosi.

“Kakaaaaaaaaaaaak..!!! Sekali lagi kakak bilang aku bocil, jangan harap kakak bisa tidur nyenyak malam ini.” ancamku.

“Hadih... Kok begitu sih, Ra?” protes kak Zaki.

“Habisnya kakak duluan sih yang sudah buat aku kesal seperti ini.” Ucapku.

“Iya... Iya... Maafkan kakakmu ini ya, Ra. Plis” mohonnya yang tiba-tiba keluar dari balik badan pak Rendra dan memegang tanganku.

“Au ah.” sahutku yang pura-pura merajuk.

“Ren, tolong aku, napa?! Dari tadi kamu diam saja dan tidak membelaku.” protes kak Zaki.

“Lha aku harus gimana, Zak?” tanya pak Rendra bingung.

“Bantu aku bujuk adikku supaya dia tidak merajuk seperti itu.” pinta kak Zaki.

“Ha?” ucapnya spontan.

“Kakak payah. Ini baru aku, adik sendiri aja yang merajuk, kakak sudah menyerah seperti ini. Gimana nanti kalau istrinya yang merajuk?! Bisa nangis darah kali, tuh.” celetukku yang langsung pergi meninggalkan mereka berdua dan masuk ke dalam kamar untuk ganti pakaian.

“Lha... Lha... Dia malah masuk ke dalam kamar. Woi... Ra..!! Kalau sama istri mah kakak jelas beda lha. Woi... Ra..!!!” teriaknya yang bisa aku dengar dari dalam kamar.

“Dasar si kak Zaki.” gumamku sambil mengganti pakaian.

Setelah aku selesai mengganti pakaianku, aku pun keluar dari kamar.

“Hai, Ra. Kamu mau ngapain?” tanya kak Zaki saat melihatku hendak ke dapur.

“Hehehe...” sahutku sambil melihat ke arah pak Rendra. Ternyata...

“Ya ampun, si kakak. Kok pak Rendranya tidak di kasih minum, sih?” gumamku dalam hati.

Dan di saat yang bersamaan...

“Lha?” tanyanya bingung.

Aku pun tidak memperdulikan kakakku bicara apa. Aku langsung saja mengambilkan minuman untuk pak Rendra dan juga sedikit makanan ringan.

“Ini, pak. Silahkan di minum dan di makan.” ucapku sambil menyuguhkannya dan duduk santai di sampingnya sambil nonton TV.

Saat aku sedang serius menonton televisi, tiba-tiba aku melihat...

“Kakaaaaaaaaak..!!!” teriakku yang langsung menaikkan kakiku ke atas bangku.

“Astaga, Ra. Apa sih, teriak-teriak kaya gitu?” tanya kak Zaki dan pak Rendra pun spontan melihat ke arahku.

“I—i—itu, kak. Itu di sana ada kecoa.” Ucapku sambil menunjuk ke arah lantai yang tadi ada kecoanya.

“Mana, Ra? Mana?” tanya kak Zaki sambil mencari-cari keberadaan si kecoa tapi tetap tidak ketemu dan pak Rendra pun ikut mencari.

Lalu tiba-tiba si kecoa ternyata merayap mendekatiku. Spontan aku pun langsung melompat ke pangkuan pak Rendra. Karena aku yang terlalu panik sampai-sampai aku sudah tidak peduli lagi aku sedang berada di pangkuan siapa.

“Astaga, nih anak.” Ucap kak Zaki sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kak... Huwaaaaa.... Aku takut kecoa. Kakaaaaaak..!!” ucapku sambil memeluk pak Rendra dan menangis ketakutan.

“Sudah... Sudah... Kecoanya sudah mati. Tuh lihat.” Ucap pak Rendra mengelus-ngelus rambutku.

“Ha? Beneran, pak?” tanyaku.

“Iya. Tuh lihat.” Ucapnya sambil menunjukkanku ke arah kecoa yang mati.

“Hehehe... Iya.” ucapku.

Namun ketika aku hendak turun dari pangkuan pak Rendra, tiba-tiba...

“Ra, ini apa?!” ucap kakakku yang iseng tiba-tiba menyodorkan kecoa mati padaku.

Spontan aku langsung berteriak dan pingsan. Saat aku terbangun, pak Rendra berkata, “Kamu sudah sadar, Tiara?”

“Pak... Kecoa... Kecoa, pak.” Ucapku yang spontan langsung memeluk pak Rendra lagi.

“Tenang saja, Tiara. Kecoanya sudah di buang, kok.” ucap pak Rendra.

“Beneran, Pak?” tanyaku dan dia pun mengangguk.

Setalah aku yakin kecoanya memang sudah hilang, aku pun langsung melepaskan pelukanku.

Tak selang berapa lama, kak Zaki datang dan berkata, “Hadeuh, Ra. Penyakitmu itu tidak hilang-hilang juga, ya?! Masa’ sudah sebesar ini masih takut sama kecoa?!”

“Au ah.” Sahutku yang langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

Saat aku mau melangkah menuju kamarku, tiba-tiba pak Rendra memanggilku dan berkata, “Tiara, kamu tidak ingin minum dulu? Supaya kamu jauh lebih tenang.”

Mendengar ucapannya, aku pun langsung berbalik badan dan meminum minuman yang ada di gelas lalu pergi.

Saat di dalam kamar, aku pun langsung merebahkan diri di atas kasur. Namun saat itu, tiba-tiba aku teringat kalau aku di suruh menyalin daftar nama dan juga daftar piket.

Dengan cepat, aku pun langsung bangun dan mengambil tasku.

Setelah beberapa saat kemudian aku pun sudah selesai menyalinnya dan tiba-tiba pintu kamarku di ketuk oleh seseorang.

Mendengar suara ketukan itu, aku pun langsung membukakan pintu. Saat pintu terbuka, aku melihat pak Rendra sedang berdiri di depan kamarku.

“Iya, pak. Ada apa?” tanyaku.

“Tiara, aku pamit mau pulang dulu, ya. Kamu sudah tidak apa-apa, kan?” tanya pak Rendra yang ternyata memastikan terlebih dahulu tentang keadaanku sebelum dia pulang.

“Aku sudah tidak apa-apa, pak. Terimakasih. Maaf... Tadi aku sudah bertingkah tidak sopan pada bapak.” ucapku.

“Tidak apa-apa, Tiara. Kan tadi pagi aku sudah bilang kalau aku akan kasih kamu servis tambahan. Dan yang tadi itu termasuk salah satunya.” jelasnya.

“Ha?” ucapku spontan.

“Sudah... Sudah... Tidak usah kamu pikirkan. Yang penting sekarang kamu sudah baik-baik saja.” ucap pak Rendra sambil tersenyum.

“Oh. Baiklah kalau begitu.” sahutku.

“Ya sudah, kalau begitu aku pamit pulang dulu.” ucapnya.

“Iya, pak. Hati-hati di jalan.” Pesanku dan dia pun mengangguk lalu pergi sementara aku pun langsung masuk ke dalam kamar.

Saat di dalam kamar, entah mengapa aku teringat kata-kata ‘Servis tambahan'. Membuat aku merinding di buatnya.

“Hadeuh...” gumamku.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!