Zetta Sonic
ZETTA SONIC
First Arc : Dragon Blood
Alex tak mampu berhenti mengalihkan mata dari layar besar di hadapannya. Layar itu menampakkan angka-angka berderet panjang disertai tanggal dalam tabel panjang. Siapa pun yang mengamatinya akan ikut merinding bersama Alex. Itu semua bukan nominal biasa melainkan uang. Lebih tepatnya, uang dalam jumlah besar. Ditransfer pada beberapa rekening berbeda dengan nama berbeda pula. Namun, Alex tahu identitas pemilik tunggal atas semua rekening tersebut.
Alex berhenti sejenak sembari menarik dirinya untuk bersandar pada kursi kulit asli. Bahkan ketika berusaha istirahat pun, dirinya tak mampu melepaskan perhatian dari layar utama. Ukuran layar ini lebih cocok untuk menonton film daripada menjalankan hobi berbahayanya, hacking.
Sebelum melakukan hobi tersebut, Alex selalu memastikan semua tugas sekolahnya telah rampung dan dia sudah siap menghadapi kuis besok. Penanggung jawab sekaligus pengawasnya yang super disiplin, Mrs. Bellsey, siap memberinya ceramah panjang kalau dia bukan pemegang nilai tertinggi di kelas. Selain urusan sekolah, Alex juga memastikan telah selesai makan malam atau Mrs. Bellsey akan menggedor kamar keras-keras lalu masuk secara tak terduga. Entah bagaimana Mrs. Bellsey selalu bisa menebak kode sandi pintu kamarnya. Tinggal di rumah berteknologi canggih tak selalu menjaminmu aman. Baru setelah tugasnya sebagai pelajar selesai, Alex bisa masuk ke kamar dan melakukan apa pun yang dia suka.
Pemadaman lampu dilakukan saat ini agar bisa berkonsentrasi. Pintu dan semua jendela juga telah tertutup serta terkunci. Padahal kalau jendelanya terbuka, Alex punya pemandangan menakjubkan ke taman dalam manor yang dilengkapi dengan air mancur berpatung malaikat.
Sumber cahaya dalam ruangan saat itu hanya dari layar besar di hadapannya. Layar itu memancarkan cahaya temaram akibat latar belakang hitam dan tulisan putih. Dua warna membosankan itu dipecahkan oleh siluet lebah kuning cerah di bagian ujung kanan bawah. Killer Bee, nama hacker yang dia pilih.
Alex merasakan jantungnya berdegup kencang. Bukan karena dia hendak memindahkan angka-angka tersebut ke rekening pribadinya. Dia tak perlu. Itu semua rekening milik ayahnya. Lebih tepatnya, uang itu semua masuk ke rekening ayahnya, Marcus Anthony Hill.
Selama ini, Alex selalu penasaran apa pekerjaan ayahnya. Ibu selalu bilang kalau ayahnya pengusaha internasional. Namun, hingga hari ini, saat usianya baru genap ke-15 beberapa bulan lalu, Alex tak pernah sekalipun tahu nama perusahaan atau bidang usaha yang dijalankan sang ayah. Sebenarnya, ada juga anak-anak lain di sekolahnya yang seperti itu. Mereka tak peduli pada usaha anggota keluarga.
Alex berbeda. Dia penasaran. Benaknya butuh dipuaskan oleh jawaban.
Sayangnya, layar di hadapannya mengandung informasi bukan jawaban. Dia perlu penyelidikan lebih lanjut kalau memang mau tahu apa arti di balik semua angka-angka tersebut. Hal pertama yang harus dilakukan, tentu saja, memastikan apakah semuanya datang dengan legal atau ilegal. Dari dulu, selain penasaran apa usaha ayahnya, Alex selalu penasaran apakah fasilitas yang sedang dinikmatinya ini juga datang dari usaha jujur.
GUK!
Alex tersentak. Anjing rottweiler di belakangnya menyalak kencang. Alex hendak protes namun membatalkannya. Tangannya menyapu PC Tablet di atas meja. Dalam sekejap, semua lampu dalam kamar menyala. Layar besar di hadapannya berubah menunjukkan layar kemenangan di akhir game ‘Drake and His Land’ lengkap dengan sang ksatria berbaju zirah berdiri di atas naga terkapar.
Sepasang layar lebih kecil yang mengapit layar utama pun ikut menyala. Satu layar menunjukkan screensaver aktif, sementara satu lagi menunjukkan proses unduhan game terbaru. Di bawah meja, terdapat jajaran aneka konsol game. Ditambah dengan karpet besar, sofa, meja kopi, dan ruang luas, tempat itu adalah kamar impian anak remaja seusianya.
Cahaya lampu menyinari rambut hitam pekatnya, persis milik sang ayah ketika muda. Matanya coklat seperti milik ibu. Sepertinya hanya itu kemiripannya dengan kedua orangtua. Alex jarang bertemu mereka. Ibu setidaknya pulang sebulan sekali meski hanya dua atau tiga hari. Ayah hanya dua kali setahun. Foto kecil dalam pigura di ujung meja punya ingatan akan orangtuanya lebih baik dari dirinya.
Alex memutar kursi, menghadapi sang tamu. Di pangkuannya, ada game controller yang tak pernah dia sentuh sejak masuk kamar tadi. “Kamu hampir membunuhku,” ujar Alex, melampiaskan protes.
“Kuharap itu hanya kiasan.” Preston, si kepala pelayan masuk membawa nampan. Dia mengenakan setelan jas tailcoat hitam di atas kemeja putih. Dasi hitamnya terpasang rapi. Kacamata bulat menggantung di hidungnya yang bengkok. Rambutnya telah putih sepenuhnya. Meski begitu, wajahnya selalu tampak segar dan senantiasa dihiasi senyum lembut.
“Tidak, itu sungguhan. Tapi, untungnya aku sudah memberikan serangan terakhir ke Drake sebelum dia yang membuatku game over.” Alex pun berdiri dari kursi. Mereka bertemu di tengah ruangan.
“Kerja bagus, kalau begitu.” Preston meletakkan nampan pada meja kopi yang berdiri tenang di atas karpet beludru besar. Di atas nampan, ada teko mungil berisi teh dan camilan di sebelahnya.
Alex yakin dirinya tak minta camilan pada Preston. Pria itu membawanya atas inisiatif sendiri. Preston memang telah melayani keluarganya selama bertahun-tahun. Baginya, Preston seperti kakek ramah dan sabar yang selalu bisa dia goda saat merasa kesal. Tak jarang Alex sengaja bersikap buruk hanya sekadar untuk menguji kesabarannya. Sejauh ini, Preston selalu menang sampai Alex sendiri bosan menggodanya.
“Aku akan kembali satu jam lagi untuk membereskan ini.” Preston berbalik, meninggalkan Alex yang sedang mencomot satu cookie berbentuk kerang.
Begitu Preston keluar dari kamar, Alex mendesah seraya menjatuhkan diri di atas sofa berwarna labu. Si anjing rottweiler jantan menyalak lagi. Dia minta kepingan cookie tersebut. Alex melemparnya dan si anjing menangkapnya dengan mudah.
“Kerja bagus, Rover,” ujar Alex. Tangannya mengusap kepala si anjing. “Tapi, lain kali gonggonglah lebih cepat sebelum dia masuk.”
Alex kembali ke kursi putar dengan cangkir berisi teh panas. Dia ingat benar kalau Preston juga bisa mengakses semua ruangan dalam rumah. Bagaimanapun, dia adalah kepala pelayan. Ibu berpikir akan lebih praktis kalau Preston bisa masuk ke mana pun dan ayah setuju. Meski begitu, Alex tahu seharusnya tak perlu khawatir.
Preston sangat sabar dan cenderung diam atas perbuatannya. Entah karena dia tidak peduli atau karena dia sengaja memberikan Alex kebebasan. Meski jauh lebih tua, Alex tetap majikannya. Pria itu bukan hanya sopan, tapi juga selalu patuh pada perintahnya. Alex yakin kalau Preston tadi telah mengetuk sebelum masuk. Hanya saja Alex terlalu fokus ke layar sampai tak mendengar.
Sekarang, kembali ke layar.
Dengan satu sapuan pada PC Tablet, Alex mendapatkan tabelnya lagi. Kali ini, dia membiarkan lampu kamarnya tetap menyala. Dia kembali mengamati angka-angka tersebut lalu mulai mencatat tanggal di atas secarik kertas untuk nanti diperiksa ulang. Rover menyelinap di dekat kaki, duduk tenang.
Tangan Alex mulai mengutak atik layar lagi. Tak lama, sebuah notifikasi berkedip di bagian kanan atas. Sesuatu yang cukup janggal terjadi ketika dia sedang melakukan aksinya. Notifikasi tersebut datang tanpa nama dan tanpa identitas apa pun.
Alex menggerakkan kursor, memeriksa apa isinya. Topik surelnya lebih mirip peringatan dan isinya tak kalah membingungkan.
STOP!
Operasi sudah dimulai. Mereka tak akan berhenti sampai menemukannya. Berkumpul menuju kebebasan. Delapan menuju keabadian. Hentikan perputarannya.
Alex mengernyit. Bukan sekadar pesan biasa. Ada pesan tersembunyi di sana. Dia juga menyadari adanya fitur penghancur otomatis. Siapa pun pengirimnya ingin pesan itu lenyap tak berbekas dalam waktu dua menit. Alex buru-buru menarik lembaran kertas lain dan menyalin isinya meski dia bisa langsung hafal. Kadang cara manual lebih menjamin daripada mencatatnya di ponsel.
Tepat dua menit setelah surel itu dibuka, jendela surel mulai bergetar. Huruf-hurufnya mulai kabur dan mozaik hitam putih bermunculan. Tak sampai satu detik selanjutnya, surel itu lenyap seolah tak pernah ada.
Alex menghela napas panjang. Mengungkap apa artinya mungkin bisa membuat dia menemukan jawaban atas sang ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟
2022-08-10
0
Rikko Nur Bakti
coba koment....
2022-04-24
2
Irda farahdiba
cerita nya keren, bahasa menarik. Mampir juga di novel aku, ka, CEO Melankolis🙏
2022-02-13
2