Mrs. Bellsey memang wanita pintar dan penuh dedikasi pada pekerjaannya. Dia melakukan perintah sang nyonya untuk mengawasi putranya dengan baik. Asalkan Alex menyelesaikan tugas sekolah, memberitahu ke mana dia pergi, berapa lama dia keluar rumah, dan ponselnya bisa dihubungi, Mrs. Bellsey biasanya memberi izin.
Mengesampingkan keahlian Alex di luar tugas sekolah membuatnya sulit menyadari trik Alex. Kalau ada yang lebih memahami Alex di rumah itu, pasti Preston orangnya. Alex tak begitu terkejut ketika menyadari kalau Preston yang ada di belakang kemudi, bukan sopir yang biasanya.
“Perjalanan malam, Alex?” Preston melempar senyum ke kaca spion tengah. Dia tahu majikannya sedang melihat ke sana. Tanpa menunggu jawaban, Preston memacu mobil pelan melintasi pekarangan hingga keluar gerbang rumah.
“Baik!” Alex melemparkan tangannya ke udara. “Kamu menangkap basah diriku.”
“Tugas kelompok dan menginap di rumah teman?”
“Tidak ada tugas kelompok.” Alex lebih bisa terbuka dengan Preston. “Aku hanya sedang bosan.”
“Kamu mengirim pesan agar diantar ke rumah Riley.” Jelas sekali kalau Preston membaca pesan elektronik yang dia kirimkan ke sopir. “Kita tetap ke sana.”
Alex melemparkan pandangannya ke luar jendela. Mobilnya berjalan mulus di jalan beraspal. Malam itu cukup cerah. Bulan bersinar lembut ditemani bintang yang tenggelam dalam terangnya kota besar.
“Perubahan rencana.” Alex sadar kalau tak perlu bersandiwara. “Aku sedang ingin melihat bendungan.”
“Bendungan?”
“Aku membaca artikel, sejarah, dan beberapa kejadian menarik di sana. Kupikir aku ingin melihatnya lebih jelas.”
Preston tersenyum. “Mereka bilang internet membawakan banyak hal untukmu.”
“Benar.”
Entah kenapa tapi sekarang ucapan Preston terasa menyesakkan di hatinya. Internet memang membawa begitu banyak hal untuknya. Mulai beragam fakta menarik hingga ibunya. Alex cukup yakin para jurnalis dan fotografer menghabiskan waktu dengan ibunya daripada dia. Setidaknya dia tahu di mana ibunya berada saat ini.
“Apa kamu memikirkan nyonya, Alex?” tanya Preston seolah bisa menebak apa yang ada di kepala anak itu.
Alex spontan mendengus geli. “Aku punya banyak waktu untuk memikirkannya. Tapi, bukan malam ini.”
Malam ini adalah malam untuk mengungkap keberadaan ayahnya.
Bendungan itu nampak gagah sekaligus mengintimidasi dari dekat. Bukan hanya tinggi dan luas, namun lumut yang dibiarkan tumbuh liar mengusik kenyamanan Alex. Untuk sedetik, dia berpikir kalau datang ke sana adalah sebuah kesalahan. Mungkin lebih baik kalau dia menelepon ayah lalu menanyakan keberadaannya. Namun, mengingat kalau telepon dan pesan elektroniknya jarang ditanggapi, Alex kembali membulatkan tekad.
“Berputar, Preston!”
Preston mengikuti kemauan Alex. Mereka mengitari waduk sekali sebelum Alex minta diturunkan di jalan yang membelakangi waduk. Sebuah jalan besar minim pencahayaan dan tanda kehidupan di malam hari.
“Aku akan menunggu di sini sampai kamu kembali,” kata Preston ketika Alex membuka pintu mobil sambil menoleh berkeliling, memeriksa keadaan.
“Tidak, Preston. Pulanglah ke rumah. Aku akan ke rumah Riley selesai melihat waduk. Aku bilang sampai di rumahnya sekitar sepuluh.”
“Kupikir tidak ada kerja kelompok.”
“Memang tidak, kami hanya akan main semalaman.”
“Baik, Alex.”
Selesai menutup pintu, Preston melaju kembali meninggalkan Alex dalam keremangan. Dia menyelinap ke antara pepohonan. Matanya mengamati kamera pengawas jalan. Seharusnya perhitungannya sudah tepat. Preston berhenti di posisi yang tertutup dedaunan pohon. Dirinya yang turun dari mobil pun tak akan terlihat. Tentu saja kecuali ada kamera pengawas lain.
Alex membuka tas, mengambil setelan hitam dan mengenakannya di atas pakaiannya sekarang. Dia sudah berganti kaus dan celana panjang sebelum meninggalkan rumah. Setelan hitam tersebut berhasil menahan dinginnya malam dan kelembaban, persis seperti keinginannya. Dia memesannya langsung ke toko khusus. Bahannya military grade. Dengan identitas palsu, toko itu mengira menjualnya pada mata-mata sungguhan dalam penyamaran bukan anak sekolahan.
Alex melirik jam tangannya. Bila mau aman, dia hanya punya waktu satu jam di dalam. Kemudian, dia bisa memanggil taxi online dan langsung pergi ke rumah Riley. Tentu saja dia telah mengontak Riley sebelumnya. Dia tidak mau kalau Mrs. Bellsey atau ibunya memerrksa langsung ke sana dan mendapati dirinya tak ada. Dia juga sudah mengajari Riley seandainya hal tersebut terjadi sebelum dirinya sampai, bilang saja Alex sedang mampir untuk beli camilan tambahan.
Berbohong bukan hal baik. Dia bisa melakukannya dengan lancar. Terlalu lancar. Seolah dia dilahirkan untuk itu. Kadang ini jadi lelucon lucu di kalangan teman-teman. Tapi, jauh di dalam lubuk hati, dia tahu itu semua tak lebih dari kesalahan.
Tangannya meraih konsol game, menekan tombol merah, dan membukanya bagai kompartemen. Alex sendiri yang membuatnya demikian. Konsol game tersebut tak lebih dari kotak untuk menyimpan mainan berbahayanya. Pistol lengkap dengan peluru. Tentu saja dia juga membeli barang ini dengan identitas palsu dan rekening palsu. Dia tak perlu pistol sungguhan, dia hanya perlu handgun sederhana untuk menjaga diri. Sekali lagi, dirinya ke sana untuk memeriksa bukan membunuh seseorang.
Perasaan tak enak kembali datang menghantuinya. Mulai dari hacking, baju mata-mata, pistol, latihan menembak sampai hal-hal tersembunyi lainnya. Dia merasa itu berlebihan. Sayangnya, Alex tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Dia menepis semua keraguan tersebut cepat-cepat.
Ini saatnya beranjak.
Sebelum tiba ke sana, dia telah memeriksa jalan masuk dan keluar. Pertama, dia harus meninggalkan barang bawaannya sebelum masuk. Pintu belakangnya senantiasa dikunci. Di sanalah letak kesalahannya. Gembok besar berusia jauh lebih tua darinya. Benda kuno tersebut tak meronta banyak ketika Alex menariknya lepas dengan tangan berbalut sarung tangan.
Alex mengamati sekeliling. Kondisinya pun tidak berbeda jauh dari data yang dia temukan sebelumnya. Beberapa kamera pengawas dan banyak titik buta. Meski begitu, dia tetap melintas dengan hati-hati.
Bagian belakang tersebut merupakan tanah keras dan kering. Tak banyak rumput liar yang bisa tumbuh. Beberapa drum besar berjajar di satu sisi semenatara ada peti-peti kayu ditumpuk di sisi lain. Alex mengharapkan tempat itu kumuh dan bau seperti tempat pembuangan sampah. Kenyataannya, tempat itu hanya terlihat terbengkalai. Seolah ada orang yang senantiasa membersihkannya tapi ingin memberikan kesan kalau tempat itu ditinggalkan.
Alex berhenti ketika dirinya melihat gedung utama dari waduk. Sebelum bisa mendekat apalagi masuk ke dalam, dia harus mematikan jaringan keamanan. Saatnya Killer Bee beraksi. Alex meraih ponselnya, melakukan sesuatu di sana, lalu memfokuskan matanya pada salah satu kamera keamanan terdekat. Dia melihat bagaimana kedip merahnya lenyap. Killer Bee berhasil membuatnya membeku. Si pengawas tidak akan melihat kondisi nyata melainkan gambar diam di detik terakhir sebelum Alex membuka pintunya.
Sambil berjingkat-jingkat, dia tiba di hadapan pintu belakang sekaligus pintu darurat waduk. Seperti film aksi yang biasa dia lihat, dia perlu mencabut pistol saat ini. Keraguan kembali datang. Permainannya bisa berakhir berbahaya. Ada sejuta cara di mana kondisi tak akan berlangsung sesuai keinginan. Alex membiarkan pistol tetap tersarung di sabuknya.
Sebagai ganti, Alex mengambil alat pembuka kunci. Dia memilih satu dari rangkaiannya lalu memasukkannya ke lubang kunci. Baru masuk, pintunya terdorong ke belakang. Pintu itu tidak dikunci seolah telah menanti kedatangannya. Biasanya, pintu semacam ini mengundang bahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟
2022-08-10
0
WISNU Prasetyo
semangat author
2022-05-15
1
Rikko Nur Bakti
wow
2022-04-25
2