Pada sisi kota yang berbeda, ada sebuah lokasi jauh di bawah tanah. Tempat ini dipenuhi berbagai peralatan canggih dalam balutan dinding berlapis plastik berpendingin. Seperti kulkas. Tapi, kulkas yang ini ukurannya raksasa. Bisa memuat beraneka jenis ruangan dan ratusan orang sekaligus. Masalahnya, karena satu dan lain hal, hanya ada dua orang di dalam ruang komputer saat ini.
Ruangan itu bernuansa putih. Penerangannya berasa dari lampu hemat daya yang disusun berupa deret garis-garis kebiruan. Hampir tak ada benda di dalam ruangan tersebut selain meja panjang berpanel serta berlayar sentuh. Mereka tidak memerlukan monitor fisik. Sisi dinding di seberang meja komputer sendiri adalah layar.
Seorang laki-laki muda duduk di meja komputer tersebut. Senyum tipisnya pasti membuat gadis-gadis kuliah seusianya terkesima. Kalau bukan gara-gara rambut ikalnya yang acak-acakan juga lebam di pipi kiri, mungkin dia bahkan akan terpilih menghiasi kover majalah. Dia mengetikkan sesuatu dan layar di hadapan mereka berubah. Kumpulan bebek hitam bermata satu berkeliaran di sana. Tak lama kemudian, mereka berubah jadi deret angka dan huruf.
“Ayo, Killer Bee, balas aku!” Si pemuda memicingkan mata ke layar, seolah bisa berhadapan langsung dengan sang hacker bersimbol lebah. Kedua tangannya sudah dilipat di atas meja, menanti. Jemarinya bertaut satu sama lain seolah berdoa.
Pria besar di sampingnya mencibir. “Aku enggak begitu paham apa yang kamu mainkan, Jayden. Apakah nanti akan muncul sesuatu di layar?” Tubuhnya jauh lebih kekar dari Jayden, si pemuda. Kalau Jayden mengenakan jaket putih berleher tinggi di atas T-shirt kelabu, laki-laki ini mengenakan seragam seperti tentara warna hijau tua. Rambutnya dipotong cepak, menunjukkan bekas luka berjajar tiga seperti seperti cakar pada dahi kiri. Sebuah pistol 9mm tergantung di sabuk bagian kanannya. Pada kebanyakan pertempuran, dia tidak perlu menggunakannya. Tangannya lebih mematikan dari pistolnya.
Jayden menoleh padanya. “Aku mengharapkan munculnya ksatria berbaju zirah.”
“Seperti di game?”
“Persis, Tiger. Si Killer Bee mencuri data ke akun yang salah. Siapa pun dia, pasti saat ini sedang menggerutu karena anak-anak naga yang kukirimkan padanya.”
“Maksudmu, bebek?”
Jayden tersenyum geli. “Anak-anak bebek buruk rupa yang akan menjelma jadi naga penyembur api. Kalau dia tidak cepat, pasti saat ini semua data di komputernya sudah lenyap jadi abu.”
Tiger mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. Tak yakin memahami apa yang dibicarakan Jayden. “Tapi, kalau bisa meretas sistem kita, berarti dia pintar--”
“Tidak,” sahut Jayden cepat sembari bergerak di atas kursi putar, menoleh langsung pada si penjaga. “Aku lebih pintar darinya. Aku tahu game apa yang dia mainkan dan aku bisa menyusup masuk ke sistemnya. Aku bahkan bisa mengirimkan virus lebih kuat dan menghancurkan semua datanya kalau mau.”
“Tapi?” Tiger melanjutkan, seolah sudah tahu apa lanjutannya.
“Tapi… Ini lebih menyenangkan.”
“Kamu ingin dia membalas.”
“Dia akan membalas. Aku tahu.” Senyum tipis Jayden kembali. “Killer Bee sendiri menganggap ini permainan. Aku yakin dia sengaja mengaktifkan game Drake and His Land untuk mengalihkan perhatian.”
“Drake dan apa?”
“Itu game yang sedang populer di kalangan remaja saat ini.”
“Maksudmu, dia menggunakan game itu supaya kamu mengira dia masih remaja.”
“Bisa ya, bisa tidak.”
Tiger kali ini menggaruk kepalanya. Dia tak perlu berhati-hati agar tak mengenai bekas lukanya. Rasa sakitnya sudah lenyap. Luka itu sudah berada di sana selama bertahun-tahun. Menyisakan kenangan seburuk kelihatannya.
Jayden berbaik hati menjelaskan. “Killer Bee bisa saja menggunakan game itu agar aku mengira dia masih remaja, padahal dia sudah dewasa. Namun, itu juga bisa sebaliknya. Killer Bee bisa saja masih anak remaja.”
“Dia pin…” Tiger berhenti sebelum mengucapkan kata ‘pintar’ lagi. “Dia pasti punya kemampuan lumayan. Dia berhasil menerobos firewall kita.”
Jayden spontan mengernyit. “Ralat. Bukan kita. Dia berhasil menerobos firewall cabang lain. Bukan firewall buatanku. Aku yang menemukan aksinya. Mereka seharusnya memberiku medali, bukan borgol.”
Tiger melirik ke arah pipi Jayden yang lebam.
Si pemuda spontan menutup lukanya. “Oke, oke. Tak perlu memukulku lagi. Aku akan jaga bicaraku.”
“Aku enggak akan memukulmu tanpa perintah. Kamu bisa bicara apapun padaku. Aku tak peduli. Tapi, kamu tidak bisa sembarangan bicara pada Nadira. Dia pimpinan di sini. Dia bisa memecatku. Dia bisa membunuhmu.” Tiger bicara datar tanpa nada. Keduanya sudah paham pada kenyataan itu.
“Kamu akan melakukan apa pun yang dia suruh,” lanjut Jayden.
“Kamu harus paham apa arti pimpinan, J.”
“Seseorang bertangan besi. Orang yang dengan mudah bisa menyuruh orang lain untuk memukul bila ada yang berjalan di luar rencana.”
“Dia kesal karena Killer Bee berhasil masuk ke sini kemarin.”
“Aku yang menemukan kebocoran itu. Aku yang kena pukul.”
“Hatinya sedang kesal.”
“Dia bukan gadis tujuh belas tahun. Dia sudah nenek-nenek.”
“Anaknya belum menikah. Dia belum punya cucu.”
“Oh, kenapa aku kaget kalau dia sudah menikah?” Jayden memutar bola matanya. Pembicaraan mengenai pimpinan mereka selalu membuat suasana menjadi gerah dan menyebalkan.
“Setidaknya kamu harus ingat Nadira menolongmu dari penjara.”
“Dia memindahkan penjaraku ke sini.”
“Penjara tidak memberikanmu komputer canggih.”
Jayden langsung tergelak. Dia tertawa dan bertepuk tangan. “Jawaban cerdas, Tiger! Jawaban cerdas. Itu masuk akal. Aku tak bisa menyangkal itu. Pekerjaan ini bagaikan pekerjaan impian.”
Tiger mengangguk, tak ingin melanjutkan perdebatan. Meski bagaimanapun, dia perlu menekankan beberapa hal pada Jayden. “Aku yakin enggak perlu mengingatkanmu juga soal kerahasiaan operasi kita. Kamu pasti paham kalau ini bukan permainan.”
“Aku tahu. Zetta Sonic tidak boleh sampai bocor keluar.”
“Itu juga berlaku untuk cabang lain.”
“Tentu. Itu tujuanku di sini. Nadira tak mau mainannya sampai ketahuan cabang lain. Zetta Sonic adalah kejutan manis bagi dunia, asalkan mereka segera menyelesaikan operasinya. Kalau tidak, mungkin kita akan tercatat sebagai salah satu tragedi besar.”
“Tidak akan tragedi. Mereka mengerjakan operasinya dengan baik.”
“Profesor Otto sudah mendapatkan relawan.”
“Seharusnya sudah. Daripada memikirkan itu, lebih baik segera hentikan Killer Bee sebelum dia menerobos lagi dan membongkar semuanya atau lebih buruk.”
“Lebih buruk?”
“Memanggil kawanannya dan mengungkap Zetta Sonic ke publik.”
“Tenang saja, Tiger. Tidak ada seorang pun bisa mencuri data selagi aku duduk di sini.”
Tiger memperhatikan bagaimana sorot mata Jayden berubah. Dia selalu seperti itu saat menemukan sesuatu yang menarik hatinya. Berapa kali pun mereka latih tanding, Jayden selalu kalah berkelahi dengannya. Namun, di depan komputer, ceritanya terbalik. Tatapan Jayden ke layar komputer bahkan membuat Tiger menelan ludah keras-keras. Untuk sesaat, dia kasihan pada Killer Bee.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Egaega
Jadi Inget Otto di Game tertentu
2022-12-21
1
Kerta Wijaya
🤟
2022-08-10
0
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
keren... suka...
2021-05-30
1