Alex terbangun lagi dalam suara hujan. Untuk sesaat, dia mengira kalau telah terbangun dari mimpi. Kemudian, dia sadar kalau masih berada di ruangan yang sama. Ruangan bernuansa putih dengan lampu berupa garis hijau. Sepertinya dia masih terjebak dalam mimpi. Karena menurut ingatannya, tempat itu ada di ruang bawah tanah. Mereka tidak akan bisa merasakan hujan di sana.
Alex berusaha bergerak, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk bereaksi.
“Apa itu mengganggumu? Biar kumatikan.” Suara Jayden terdengar dari sisi lain ruangan. Setelah bunyi klik sama, suara hujan pun berhenti. “Aku memasang jendela palsu dengan layar. Lumayan bisa melupakan sejenak kalau kita ada di bawah tanah.” Jayden bicara seolah bisa membaca pikiran Alex.
Alex menanti.
“Aku enggak seharusnya membiarkanmu bangun.” Jayden mendesah sembari mendekat. “Dokter Vanessa mengobel habis-habisan padaku. Nadira juga. Kamu tidur seharian seperti orang mati.”
Alex terbelalak. Tidur seharian itu sangat lama. Anehnya, dia tidak merasa segar sama sekali. Dia masih merasa lelah. Kali ini, tak ada alat bantu pernapasan yang terpasang di sana, hanya infus. Napasnya baik-baik saja, hanya badannya saja yang sulit digerakkan.
Jayden mengambil kursi, duduk di samping ranjang. “Baik, jadi pelan-pelan saja. Kamu masih ingat apa yang kuceritakan kemarin, ‘kan?”
Alex membuka mulut untuk merespon, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya padahal dia ingin sekali menjawab. Alex mengangguk pelan.
“Kamu mau pulang?” tanya Jayden.
Pertanyaan mendadak Jayden membuat Alex terkejut. Di satu sisi, dia ingin sekali menyangkal. Rumahnya tak lebih dari sekadar bangunan mewah. Di sisi lain, Alex benar-benar berharap bisa duduk di kursi komputernya, ditemani Rover dan camilan, mendengarkan omelan Mrs. Bellsey, dan bertemu Preston. Tempat ini jauh berbeda. Dia bahkan tidak tahu berapa lama telah berlalu dan apa saja yang telah terjadi.
“Sudah enam hari berlalu sejak kedatanganmu ke sini. Nadira mengirimkan pesan pada pengawasmu kalau kamu ikut semacam camp atau sejenisnya. Tak seorang pun mengirim pesan atau mencarimu,” ujar Jayden sambil menatap lekat-lekat wajah anak itu. Lagi-lagi Jayden seakan bisa membaca pikiran Alex.
Alex menghindari tatapan Jayden. Pernyataan itu jelas bukan sesuatu yang membuatnya terkejut. Juga bukan sesuatu yang ingin dia dengar. Alex mengumpulkan tenaganya untuk bicara. Kali ini, suaranya berhasil keluar. “Kamu bicara begitu supaya aku menuruti kemauan kalian atau kalian ingin memalsukan kematianku?”
“Enggak keduanya. Aku cuma penasaran kamu sudah tahu soal itu apa belum.”
“Kamu enggak tahu apa-apa soal keluargaku.”
“Datamu menunjukkan semuanya, Alex. Tapi, aku setuju. Pasti masih ada hal yang tak tercantum di data.”
“Apa sebenarnya yang mau kamu katakan?”
“Cobalah sedikit terbuka. Ceritakan soal dirimu. Dokter Vanessa bilang kondisi mental juga berpengaruh pada kondisi fisik. Aku bisa mengantarmu pulang begitu kondisimu membaik. Itu bisa besok, minggu depan, atau tahun depan. Tergantung secepat apa kondisimu pulih.” Jayden melempar senyum simpul. “Kamu enggak rindu rumahmu?”
Alex menatap pemuda itu. “Kamu membuatku merasa lebih buruk.”
“Maaf, soal kebiasaan burukku. Aku suka memamerkan data yang kudapat.” Jayden melanjutkan, “Aku sedang mencoba jadi temanmu, seperti usul Dokter Vanessa. Kamu sendiri juga sempat tanya apa aku di pihakmu, ‘kan? Aku di pihakmu, Alex. Jadi, apa ada sesuatu yang bisa kulakukan supaya perasaanmu lebih ringan? Suara hujan, mungkin?”
Alex berpaling. Matanya menemukan jendela yang dimaksud Jayden. Layar tersebut memenuhi satu dinding penuh. Di sana, layar menunjukkan dinding berlapis wallpaper dan jendela dengan pemandangan senja dari ketinggian.
“Aku enggak paham dengan tubuhku sendiri,” ujar Alex lirih. “Aku merasa lelah. Sangat lelah. Apa itu normal?” Alex bertanya.
“Iya. Secara teori, Dragon Blood haus energi. Kami memberinya makan dengan listrik, anggap saja seperti mengisi daya ponsel. Nah, kalau energi listrik itu sudah habis, Dragon Blood akan mengambil energi inangnya untuk dimakan. Inangnya saat ini adalah--”
“Aku? Kamu mau bilang aku seperti ponsel berjalan sekarang?”
“Ya. Kurang lebih.”
“Jadi, maksudmu aku harus sering-sering disengat listrik, begitu?” Alex mengernyit.
Jayden malah tertawa. “Baiklah, itu bukan istilah yang akan kupakai. Tapi, kupikir kamu mulai paham apa artinya. Kami mengisi energi Dragon Blood di ruang generator. Kamu enggak akan menyangka berapa besar listrik yang kami gunakan. Tagihannya selalu membuat Nadira uring-uringan. Makanya kami memilih tempat ini. Nadira membuat pembangkit listrik sendiri menggunakan air. Setidaknya itu bisa mengurangi tagihan.”
“Berapa kali kalian sudah membawaku ke sana?”
“Ruang generator? Dua kali. Ini akan jadi yang ketiga.”
“Kamu mau membawaku ke sana lagi?”
“Iya. Profesor Otto sedang membuatkan alat untukmu, semacam jam tangan. Nanti kita bisa melihat indikator energinya di sana. Jangan sampai kamu pingsan karena kehabisan energi. Lebih baik kita mengisinya secara regular.”
“Kamu bilang kalau kondisi mental bisa memengaruhi kondisi fisik. Itu artinya juga sama dengan Dragon Blood, ‘kan? Apa aku menghancurkan sesuatu saat kalian membawaku ke ruang generator?”
Jayden melongo sebentar. Lalu, dia menggelengkan kepala dan tertawa kecil. “Kamu bisa menebaknya, ya? Pertama kali kami membawamu ke sana, ruang generatornya hampir hancur. Mungkin karena terlalu banyak listrik yang kami gunakan. Kami benar-benar memaksanya mencapai daya maksimum.”
“Kenapa?”
“Karena dosis Dragon Blood yang ada dalam dirimu harusnya untuk tiga atau empat orang. Kamu dapat gambarannya, ‘kan?”
Alex mendesah panjang. “Serius?”
“Karena kejadian waktu itu, kami menambahkan pengaman tambahan dan menaikan daya maksimumnya. Waktu kami membawamu ke sana untuk kedua kalinya, ruangannya tidak hancur. Tapi, komputer yang mengontrol terpanggang habis.”
“Aku seperti robot penghancur yang konslet.”
“Jangan membuat dirimu merasa makin buruk, Alex. Sekarang, coba pikirkan hal menyenangkan atau hal yang membuatmu tenang. Kalau kondisi mentalmu stabil, seharusnya enggak ada kerusakan lagi di sana. Kami berharap begitu.”
Alex terdiam. Pikirannya melayang kepada ayah yang tidak begitu asing juga kepada ibu yang selalu membawakannya oleh-oleh. Dia malah sedih ketika kenangan tersebut muncul. Biasanya Alex akan melarikan diri dengan bermain game atau pergi bersama teman. Kadang mereka berenang bersama, main basket, atau menari. Kegiatan yang membuatnya berkeringat.
Mrs. Bellsey mendukungnya untuk bermain musik demi melepas stress. Dia sampai les piano karenanya. Tapi, Alex tidak begitu menikmatinya. Sebaliknya, dia malah stress setiap kali saatnya berlatih piano. Daripada duduk berhadapan dengan tuts hitam putih, dia lebih memilih menggoda anjing hitam berdada coklatnya.
“Jadi?” Jayden membuyarkan lamunan Alex. “Ada sesuatu yang kamu inginkan? Makanan favorit? Lagu favorit? Atau, kamu mau bermain game dulu?”
“Tidak. Tapi, aku memang terpikir sesuatu. Mungkin kalau Rover di sini, aku akan lebih tenang. Dia selalu bersamaku sejak kecil.”
“Tunggu sebentar. Rover? Anjingmu? Si rottweiler?”
“Iya. Kalian enggak akan mengizinkan aku mengajak teman ke sini, ‘kan? Rover temanku dan bukan manusia. Jadi seharusnya aman.”
“Anjingmu itu seperti anjing neraka. Dia menghancurkan tas mahal ibumu saat usianya baru beberapa bulan. Dia pernah menggigit tangan pengawasmu yang lama karena memarahimu. Dia juga menghancurkan taman saat mengejar pencuri dan menggigit kakinya sampai hampir diamputasi.”
“Kalian juga punya data kejahatannya? Aku terkesan.” Alex mengangkat kedua alis. “Asal tahu saja, itu justru yang membuatnya jadi teman dan penjaga sempurna.”
“Kalau bukan ruang generator yang hancur, anjing itu akan menghancurkan ruangan lainnya.”
“Mungkin saja. Jadi, apa katamu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟🤟
2022-08-11
0
Rikko Nur Bakti
anjingnya di infus aja pake darah Alex biar tambah garang.......
2022-04-25
1
H Y P O C R I S Y
kupikir mereka sering main sepak bola
2021-07-24
3