Itu tangan manusia, tapi bukan kekuatan manusia. Bola mata Alex berpendar kehijauan. Tatapannya kosong. Jayden tak bisa berbuat banyak. Udaranya telah dirampok dengan cepat. Di tengah kesadarannya yang mulai hilang, Jayden hanya sanggup memegang bahu Alex sambil berbisik. “Tidak apa-apa. Kamu aman sekarang.”
Alex mengerjap seakan bangun dari mimpi buruk. Dia menarik tangannya, membiarkan tubuh Jayden jatuh di atas kursi roda. Napasnya tersengal karena takut. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Telinganya menangkap derap langkah yang masih berada jauh. Alex menunggu. Menunggu hingga pasukan tambahan ICPA datang.
Semburat hijau berkelebat dalam desingan peluru.
Puing-puing berserakan.
Lalu, gelap.
Alex mengerjap lagi. Jantungnya tak lagi berdetak kencang, napasnya terasa tenang. Dia terbangun dalam ruangan putih tak bercela. Suara-suara datang mengisi tanpa diundang. Tak satu pun dia kenali, tapi mereka sedang membicarakan dirinya. Mereka membicarakan sesuatu bernama Sonic yang kini bersatu dengan dirinya.
Masalah macam apa lagi yang dia temui saat ini?
Alex berusaha bergerak, tapi sekujur tubuhnya bergeming. Bukan karena lelah tapi karena sesuatu membelenggunya. Bukan pula seperti borgol. Alex merasakannya seperti jaket di rumah sakit jiwa. Cukup elastis tapi efektif.
Matanya terbuka dalam kegelapan. Mungkin kepalanya tertutup helm atau semacamnya. Setidaknya kepalanya masih bisa menoleh. Dia berusaha mengikuti sumber suara yang ada. Suara tegas seorang wanita, suara laki-laki tua, juga suara lembut wanita. Ada beberapa kalimat yang tidak bisa ditangkapnya dengan jelas. Tapi, dia yakin kalau mereka juga menyebutkan namanya.
Lalu, suara itu lenyap.
Kali ini Alex terbangun dalam ruangan kelabu. Langit-langit di atasnya menunjukkan lampu berupa sepasang garis hijau bersilangan satu sama lain. Ada suara-suara dengung mesin dan notifikasi pendek. Tak ada percakapan. Ada aroma lucu di sini, seperti karat dalam ruangan penuh antiseptik. Alex berusaha bangun, tapi tubuhnya mati rasa.
Mendapati tak ada yang bisa dia lakukan, dia pun memejamkan mata lagi.
“Kamu aman sekarang.”
Alex terkesiap. Pemandangan ruangannya tak berganti. Tapi, dia tahu kalau waktu telah berlalu. Dia mendapati ruangannya lebih terang. Lampu-lampu putih menerangi dari sudut langit-langit menampakkan dinding mereka putih tak bercela. Alex mendapati tubuhnya bisa bergerak sekarang.
Ruangan itu cukup luas. Bahkan dengan ranjang tempatnya berbaring, peralatan medis rumit, meja komputer dan mekanisme unik lain, tempat itu masih terasa lapang. Alex melihat ada sosok yang sedang terlelap di kursi seberang meja komputer. Seorang pemuda berambut ikal agak berantakan. Pipinya tak lagi lebam, tapi matanya berkantung. Seperti telah begadang berhari-hari tanpa henti. Itu Jayden.
Ingatannya berhenti setelah tangannya menyentuh tabung berisi cairan hijau. Dia ingat bagaimana mencuri lihat data ayahnya, menemukan pesan tersembunyi, tiba di waduk, hingga adanya serangan. Berhenti di sana tanpa lanjutan. Alex tak ingat bagaimana dirinya bisa berakhir dalam ruangan aneh seperti itu.
Alex pun melihat dirinya sendiri. Dia mengenakan baju serba putih seperti pasien di rumah sakit lengkap dengan gelang. Namun, itu bukan gelang kertas. Melainkan gelang logam dengan lampu berkedip. Ini mengingatkan Alex pada indikator peledak atau tanda yang dipasang pada tahanan. Apa yang terjadi?
Sebelum turun dari ranjang, dia melepas alat bantu pernapasan, alat deteksi jantung, juga selang infus yang terpasang di tangannya. Dia merasa baik-baik saja. Bukan hanya itu, dia merasa kalau dirinya sangat sehat. Alex menyeberangi ruangan, menghampiri Jayden yang terlelap. Awalnya dia ragu haruskah membangunkanny atau tidak.
Jayden justru membuka mata lebih dulu. Saat tatapan mereka bertemu, Jayden malah berteriak. “Wow, wow, wow! Kamu masih hidup?”
Alex mengernyit.
Belum sempat menjawab, Jayden berseru lagi. “Kamu masih hidup! Eksperimen itu berhasil! Kamu masih hidup!” Mata Jayden mengawasi Alex dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah tak percaya kalau Alex ada di depannya.
Mendengar beberapa kata ‘hidup’ disebutkan, Alex mulai cemas. “Apa yang terjadi?”
“Kamu enggak ingat apa pun, Killer Bee?”
Alex menggeleng. “Setelah serangan, semua blank.”
“Tentu saja, kupikir itu justru lebih baik.”
“Apa?” Alex hendak bertanya, tapi tubuhnya mendadak terasa ringan. Sebelum tubuhnya jatuh, Jayden menangkap bahunya.
“Duduklah dulu, akan kujelaskan!” Jayden mendudukkan Alex di kursinya sementara dia sendiri berdiri. Jayden mengambil pula botol berisi air dari kulkas kecil yang ternyata ada di ujung ruangan. “Minumlah, kamu pasti haus.”
Alex tak menolak. Bibir dan kerongkongannya memang terasa kering. Tangannya hendak menangkap botol air yang dilemparkan Jayden, namun ketika tangannya berhasil menggapai botol, botol itu meledak di tangannya. Meledak dalam arti sesungguhnya. Air pun muncrat, membasahi dirinya dan meja komputer di sampingnya.
Jantung Alex berdegup kencang. Matanya terbelalak tak percaya. Dia mengenali gejala ini sebagai rasa takut. “Apa yang barusan terjadi?”
“Aku enggak mengira itu bisa terjadi. Maaf.” Jayden bergerak mendekati Alex yang tak berani bergerak dari kursi. Dia mengulurkan botol air lain baru yang sudah dia buka sebelumnya. “Sekarang santai saja.”
“Apakah ini akan meledak lagi?” Alex bolak balik melihat botol ke Jayden.
“Enggak. Kami tidak sedang menggambarkan air peledak atau semacamnya. Ini air mineral biasa. Beli di supermarket. Didinginkan di kulkas.” Jayden melemparkan senyum tipis. “Tenanglah. Kamu aman di sini.”
Alex ingat kata-kata itu. Dia kini teringat potongan memori yang lain. Dia ingat sambaran listrik dan kilau putih biru. Dia ingat bagaimana mencekik Jayden. Dia juga ingat tembakan beruntun yang diarahkan padanya. Dia ingat jelas bagaimana dia merobohkan pasukan yang datang meski tak secara detail.
Kini, dirinya menggigil. “A- A- Apa yang terjadi padaku?”
“Akan kujelaskan padamu.” Jayden masih menyodorkan airnya. “Ambil napas dalam-dalam. Aku tahu ini tidak akan mudah dijelaskan pada anak remaja sepertimu. Tapi, percayalah padaku, setelah terbiasa, kamu akan suka dengan status barumu.”
“Status?” Alex akhirnya mengulurkan tangan untuk menerima botol air itu.
Jayden menanti. Matanya mengawasi bagaimana Alex minum dan menegak isinya sampai habis. Setidaknya, kali ini botol itu tidak meledak di tangannya. Jayden mengambil handuk dari lemari di sisi ruangan lalu melemparkannya pada Alex. Tidak ada ledakan juga dari aksi kali ini. Selagi Alex mengeringkan rambut dan bajunya, Jayden menyeret kursi agar bisa duduk di seberangnya.
“Mari kita mulai dengan berkenalan. Namaku Jayden. Kamu boleh memanggilku J. Aku penanggung jawab dan operator pribadimu di lapangan. Tenang saja, aku akan menjalankan tugasku lebih baik dari Mrs. Bellsey.”
“Kamu kenal Mrs. Bellsey?”
“Enggak. Aku hanya melihat datanya beberapa waktu lalu. Wanita yang cukup tegas dan galak. Belum ada apa-apanya kalau dibandingkan Nadira.” Merasa mulai melenceng, Jayden kembali ke topik utama. “Namamu Alexander Hill, benar?”
“Ya. Kamu juga memeriksa dataku?”
“Kita sekarang sama-sama mantan Hacker, Killer Bee.”
“Kita di penjara?”
“Tidak ada penjara dengan teknologi seperti ini. Maksudku, belum.” Jayden tertawa, teringat pembicaraannya dengan Tiger. “Tempat ini adalah lantai X-06 yang baru dibangun oleh ICPA khusus untukmu.”
“Untukku? Kenapa?”
“Karena sekarang kamu resmi menjadi agen super bersandi Zetta Sonic.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟🤟
2022-08-11
0
Rikko Nur Bakti
alur ceritanya makin menarik
2022-04-25
1
Diana Dwiari
haruskah kasihan PD akex
2022-02-24
1