Alex yakin dirinya tak salah dengar. Pemuda yang muncul di lorong itu menyerukan sesuatu seperti seruan polisi menangkap penjahat. Ditangkap atas nama sesuatu? Selagi pikirannya berusaha menerka apa yang terjadi, campuran kapsul di tangannya siap. Segera saja sebuah ledakan obat bius terjadi. Dia bisa merasakan bagaimana cengkraman dari gadis di depannya mulai renggang. Alex meronta lepas.
Dia berlari ke arah gedung lebih dalam. Dari ponsel yang berhasil dia ambil tadi, dia telah mendapatkan jumlah persis orang-orang yang berada di sana. Tiga orang persis. Satu telah berhasil dia tumbangkan di atas. Satu lagi, si gadis, sedang melawan efek obat bius. Sisanya ternyata lebih sulit dikalahkan.
Seorang pemuda berdiri di depan Alex. Meski cukup yakin pernah melihatnya entah di mana, Alex tak bisa ingat. Mungkin karena cara berpakaiannya, mungkin karena pipinya yang agak lebam, mungkin karena kacamata yang menggantung. Kini, wajah tersebut malah tertutup lagi oleh semacam masker putih dari plastik. Masker tersebut muncul secara otomatis. Jelas sekali kalau dia tidak akan tumbang oleh obat bius.
“Berhenti!” Si pemuda berseru lagi.
Alex menghiraukannya. Dia tahu kalau tembakan akan dilepaskan. Dengan mudah, dirinya menghindar lalu melesat maju. Dari jarak sedekat itu, dia bisa melihat si pemuda terbelalak. Hanya sebentar. Berikutnya, tangan si pemuda telah terulur untuk menangkapnya. Keterkejutan. Ini petunjuk sempurna bagi Alex.
Berbeda dengan pria besar di bawah. Alex yakin bisa menang melawan yang satu ini. Teknik bela dirinya keluar tanpa perlu pikir panjang. Begitu tiba di belakangnya, dia menendang kaki lawan, membuatnya berlutut. Tangannya menggapai masker lalu menariknya. Sayangnya, masker itu rupanya melilit hingga ke belakang kepala, jadi mustahil melepasnya kalau tidak tahu bagaimana caranya.
Sementara itu lawannya berhasil memegang pergelangan tangannya. “Kena kau!”
“Serius?” Alex memutar matanya. “Kamu perlu belajar bela diri.”
Alex menarik balik tangan si pemuda dan memeberikannya sebuah tinju keras di perut. Lawannya mengerang kesakitan. Alex tak ingin menyakiti siapa pun, tapi membuat si pemuda ini tumbang akan memberinya akses ke seluruh ruangan. Tunggu! Alex mendapatkan ide lebih baik. Pemuda ini bisa memberikan dia jawaban atas banyak hal.
Dengan cepat, Alex menendang lepas pistol lawan. Lututnya menekan lawan ke lantai putih dingin, membuat lawan telentang tak berdaya. Sebelum lawan membalas, Alex telah menodongkan pistol tepat ke dahinya disertai sorot mata yang dia latih sebelumnya. Ini pengalaman pertama buatnya, tapi Alex yakin telah melakukannya dengan baik.
“Tembak saja, Killer Bee!”
Alex mengernyit. “Ayolah, aku tidak di sini untuk menembak apalagi membunuh siapa pun. Aku hanya butuh jawaban. Namamu Jayden, kurasa?” Alex menebaknya dari data yang dia ambil dari ponsel si pria besar.
“Jawaban soal virus itu?” Jayden tak memberi tanggapan terhadap namanya. Matanya mengamati kalau lengan kiri lawan bicaranya terlihat basah. Pasti karena tertembak.
“Tidak. Mungkin, iya. Kamu pengirimnya?”
“Bagaimana menurutmu, jenius?”
“Iya, tentu saja kamu pengirimnya.” Alex memicingkan mata. “Tolong lepaskan kacamata dan maskermu. Jangan khawatir, aku enggak akan menyakitimu. Dan, tolong lemparkan benda yang sedang kamu pegang itu.”
Jayden mendesah kesal. Karena Alex tak memerintahkannya mengangkat tangan, dia punya sedikit waktu untuk mengambil alat komunikasi tipis dari kantung celana. Aksinya ketahuan tapi dia berhasil mengirim pesan darurat ke luar. Jadi, dia melemparkan benda tipis itu tanpa rasa berat sama sekali. Jayden pun menurut soal kacamata dan maskernya.
Alex mengamati bagaimana kacamata itu sesungguhnya hanya terdiri dari bingkai putih saja. Ketika Jayden melepaskannya, bagian kaca hijaunya lenyap. Masker itu juga menarik. Bentuk awalnya hanya sepasang anting yang dipasang. Ketika aktif, mereka memanjang otomatis dari satu sisi ke sisi lain.
“Mengagumi teknologi kami, Killer Bee?” Jayden menyunggingkan senyum, seolah ingin menggoda bocah di depannya sekaligus memamerkan barang miliknya.
Alex mengangguk lantas kembali ke pertanyaan awalnya. “Kenapa mengirim virus padaku?”
Jayden pun tertawa. “Lucu sekali. Sudah jelas kalau itu sebuah serangan balasan. Kamu yang duluan meretas sistem kami. Berusaha membocorkan operasi kami, eh? Bukan langkah pintar. Kamu sama sekali tidak tahu siapa yang kamu hadapi, Killer Bee.”
“ICPA? Apa itu?”
Jayden mengernyit. “Berhentilah berpura-pura. Kamu enggak mungkin meretas sistem yang kamu enggak tahu milik siapa.”
Sepertinya ada sedikit kesalahpahaman di antara mereka. Alex bisa merasakannya. Meski begitu, dia menolak menunjukkannya. Mungkin dia malah bisa mengorek informasi lebih dengan posisinya saat ini. Posisi yang dimaksud adalah berpura-pura paham pembicaraan lawan.
“Benar,” lanjut Alex. “Jadi, bawa aku ke sana!”
“Atau apa? Kamu akan menembakku? Kupikir permainannya tidak begitu. Kalau aku membawamu ke sana, atasanku akan membunuhmu. Kalau tidak, kamu akan membunuhku sekarang. Terdengar sama saja buatku. Jadi, lebih baik aku mati di tanganmu saja. Rahasianya tetap aman. ICPA akan mengenangku sebagai pahlawan.”
Alex menarik napas dalam-dalam. Jayden benar. Dia tidak akan mendapatkan informasi apa pun dari orang mati. Mungkin lebih baik kalau dia berkata jujur. “Aku tidak kemari untuk Zetta Sonic,” kata Alex mengabaikan benaknya yang protes keras karena tidak tahu apa itu Zetta Sonic. “Aku butuh informasi soal Marcus Anthony Hill.”
Jayden terbelalak. “Oke, ini baru.”
Alex beranjak. Dia pun melepaskan lawan. Jayden mengusap dadanya yang terasa nyeri akibat ditekan tadi. Perutnya juga masih sakti. Tapi, hatinya yang paling terluka. Sekalipun bukan agen lapangan, bisa-bisanya dia tertipu dan dikalahkan semudah itu.
Jayden mengamati Alex saat ini, mulai dari kaki hingga kepala. Anak itu mengenakan sepatu, baju serba hitam, tudung, serta masker yang membuatnya tampak seperti mata-mata profesional. Meski tak mau mengakuinya, dia melakukannya dengan cukup baik. “Aku memang sempat dengar nama itu saat kamu bertemu Tiger. Kenapa kamu butuh informasi itu?”
“Kamu tidak di posisi untuk tawar menawar, Jayden.” Alex masih menodongkan pistol.
Jayden mengerucutkan bibir. Matanya melirik ke arah Caitlin yang masih telungkup di lantai. Permainannya akan segera berakhir. Dia tahu jelas sebentar lagi Tiger dan Caitlin akan bangun. Lagipula, dia juga sudah mengirim pesan darurat. Bantuan dari luar akan datang. Mana pun yang datang lebih dulu, lawan tak akan bisa mengelak.
Alex mendekatkan pistolnya ke dahi Jayden. “Memikirkan strategi kabur? Lebih baik jawab saja pertanyaanku dan aku akan pergi.”
“Aku tidak tahu apa-apa soal Mark Hill. Aku serius. Aku hanya pernah mendengar namanya. Tidak pernah bicara di telepon apalagi bertemu langsung. Kami tidak berada di pihak yang sama. Dia tidak ada di sini. Kamu datang ke tempat yang salah, Killer Bee.”
Alex terdiam. Dia belum menemukan jawaban atas ICPA tapi dia punya waktu semalaman untuk menemukannya. Begitu pula dengan ayahnya. Sekarang saatnya pergi. Itu yang dipikirkan Alex ketika suara derap langkah memacu adrenalinnya. Ada yang datang dan mereka berjumlah banyak.
“Sekarang, lihat siapa yang terpojok!” Jayden membuat senyum simpul. “Perlu kuberi tahu kalau kepalaku tak ada nilainya, jadi percuma menjadikanku sandera. Lebih baik jatuhkan senjata dan angkat tanganmu!”
Alex bergeming. Ketika dia melihat sepasukan orang mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan rompi dan helm teropong, Alex menurunkan pistolnya. “Tidak, Jayden. Kupikir mereka bukan datang untukku. Mereka datang untuk Zetta Sonic."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟
2022-08-10
0
Rikko Nur Bakti
geli.....
2022-04-25
1
anggita
Alex.. killer bee.💥
2022-01-30
1