Alex punya waktu semalaman untuk memikirkan arti dari surel tersebut. Dia tidak punya petunjuk apa pun dan tak tahu sama sekali harus mulai dari mana.
Menjelang pukul sebelas, Alex berpindah dari ruangan itu ke kamarnya. Secara teknis, dua ruangan ini adalah satu kesatuan, terhubung tanpa pintu. Meski ukurannya kamar lebih kecil, bukan berarti kamar Alex sempit. Untuk kamar tidur dengan kasur Queen size, ukurannya termasuk luas. Temanya masih mengusung warna hijau muda dan oranye dengan jendela besar menghadap ke taman dalam. Ada meja belajar lain di sana, televisi keluaran terbaru, juga sofa lengkap dengan lampu baca. Salah satu sisi dinding ditutupi deretan lemari coklat. Mereka berhenti sebelum walk in closet yang terhubung ke kamar mandi.
Kamar ini tidak pernah berantakan. Bukan karena Alex senantiasa merapikannya, melainkan adanya sepasukan pelayan yang selalu sigap membereskan ruangan tersebut. Preston salah satunya. Alex bisa melemparkan benda apa pun di sana, membuat berantakan kamarnya sebelum berangkat sekolah, atau menumpahkan susu kocok tanpa khawatir. Semua akan beres dalam sekejap.
Alex melemparkan dirinya ke atas ranjang. Tangan kanannya memegang kertas berisi salinan dari surel tadi. Operasi apa yang dimaksudkan di sana. Tangan kirinya membawa ponsel ke depan wajah. Dia memperhatikan kalender, berusaha menebak apabila ada momen besar yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.
Ini bulan September. Bulan yang tenang. Cuaca sejuk, tidak ada salju. Tidak ada hari khusus yang menarik perhatian. Lagipula, apa yang mereka cari.
Alex tergoda masuk ke kamar ayahnya. Benar, kamar ayah. Bukan kamar ibu atau kamar orang tuanya. Ayah dan ibunya punya kamar masing-masing. Alex penasaran apakah hal ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi bila punya rumah luas. Tampaknya tidak.
Dia pernah menyelinap masuk ke kamar ayahnya sejak kecil. Kamar itu kosong. Maksudnya, tidak ada hal menarik di sana. Tidak ada lemari rahasia, tidak ada brankas di balik lukisan, tidak ada dokumen rahasia. Lagipula, kalau dia jadi ayah, dia akan menyembunyikannya di ruang kerja.
Ruang kerja ayah lebih lagi. Ruang itu lebih mirip ruang pameran daripada ruang kerja sungguhan. Tidak ada arsip sungguhan di sana. Memang ada meja kerja besar, kursi kulit empuk, juga lemari. Isinya hanyalah buku-buku mengenai investasi, perbankan, dan hal-hal berbau ekonomi lainnya. Selain itu, tak ada berkas-berkas apa pun. Seingat Alex, ayah bahkan tidak pernah masuk ke sana bila sedang pulang ke rumah.
Alex kini menarik dirinya untuk duduk di ranjang. Rover sudah terlelap di atas kasurnya sendiri dekat pintu kamar. Untuk sejenak, Alex merasakan hal yang selalu datang seperti malam-malam lainnya. Ketenangan yang memuakkan. Dia bisa saja menonton TV hingga larut malam atau bermain game sampai pagi. Namun, tak ada yang bisa mengusir ketenangan ini.
Dia menolak keadaannya sekarang. Rasanya seperti terbelenggu dalam penjara kaca. Dia ingin sesuatu yang berbeda sekalipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Matanya kembali terpaku pada tulisan tangan di kertas. Alex akan melakukan apa pun untuk mengetahui di mana ayahnya saat itu.
Alex biasa bangun pukul enam. Preston datang membawakan sarapannya ke kamar. Dia telah mengenakan seragam dan tengah membaca berita di internet. Bukan berita politik, hanya berita mengenai tim sepak bola favoritnya. Mereka akan bermain akhir pekan ini. Dia telah berjanji dengan beberapa teman sekolah untuk nonton bersama.
Mengingat isi surat kemarin, Alex jadi sangsi apa dia bisa hadir atau harus membatalkan janji tersebut. Rasa penasarannya sedang menggebu-gebu. Tak lama kemudian, dia sudah berada di mobil menuju sekolah.
Hari ini seharusnya menyenangkan. Ada kuis dari Mr. Bernard ada di jam kedua. Dia tahu akan mendapat nilai tertinggi lagi. Selanjutnya, mereka akan bermain sepak bola di jam olahraga. Alex selalu berperan sebagai kiper. Dia suka bagaimana jadi satu-satunya pemain tim yang diizinkan memegang bola. Tak lupa juga menu favoritnya dijadwalkan sebagai menu makan siang hari itu.
Kenyataannya, semua bergeser dari jadwal. Mr. Bernard mengeluarkan soal di luar dugaan Alex dan para murid lainnya. Tak satu pun dari dua puluh siswa kelas itu mampu memprotes kuis dari guru killer tersebut. Alex sempat mendengar beberapa teman membahas soal tersebut. Dia sadar kalau telah mengerjakan dengan cara yang salah. Alex mungkin hanya akan dapat nilai tertinggi kedua dan dia tidak suka dengan itu.
Kalau ada yang harus diprotes selanjutnya adalah badan perkiraan cuaca. Hujan gerimis datang perlahan di jam olahraga. Guru mereka pun memutuskan agar mereka berolahraga di gym. Artinya, tidak ada sepak bola hari itu.
Terakhir, tentu saja Alex harusnya protes pada pihak kantin. Mereka membuat menu selama satu minggu dan memberikan harapan palsu. Tak ada salmon hari itu. Menu favoritnya lenyap digantikan daging rolade dan kentang tumbuk. Padahal Alex mengira harinya akan membaik setelah makan siang.
Ketiga kejadian beruntun itu langsung menurunkan nuansa hatinya hari itu. Di satu sisi, dia senang bisa mengontrol bagaimana sikapnya. Tak seorang pun sadar kalau dirinya bad mood. Di sisi lain, dia ingin seseorang menghiburnya. Meski, agaknya dia butuh teman seorang cenayang untuk menyadarinya.
Matahari kembali bersinar cerah di sore hari. Alex menutup pintu mobil dan sopir memberikannya perjalanan mulus kembali ke rumah. Sepanjang jalan, dirinya hanya diam. Matanya mengamati langit oranye ditemani awan tipis tak berbentuk. Sekarang, pikirannya kembali pada pesan surel kemarin.
Setidaknya, hal baik hari ini adalah tak ada pekerjaan rumah. Alex punya banyak waktu mengungkap apa arti surat tersebut. Baru memikirkan dari mana dia akan melanjutkan pencariannya, ponselnya bergetar.
“Halo?”
[Alex, apa kamu lupa mematikan komputer saat ke sekolah tadi?]
Suara Mrs. Bellsey terdengar dingin seperti biasa. Alex bisa membayangkan wanita jangkung tersebut sedang melipat tangan sambil menatap layar besar di kamarnya. Di belakangnya, para pelayan wanita sedang menggunakan penyedot debu.
Alex menggeleng, meski tahu Mrs. Bellsey tak melihatnya. “Enggak. Kenapa?”
Membiarkan komputer menyala ketika dia tidak berada di kamar adalah hal tabu bagi Alex. Ada berbagai alasan. Salah satunya tentu saja berhubungan dengan Killer Bee. Sekalipun Preston dan Mrs. Bellsey tidak pernah berhasil membongkar sandi komputernya, bukan berarti dia bisa memberikan mereka celah untuk mengutak atik komputer.
[Lucu sekali.] Suara Mrs. Bellsey sama sekali tidak mencerminkan baru menemukan hal lucu. [Layar komputermu seperti sedang diserang anak-anak bebek. Kalau bukan komputermu yang sedang memainkan video game, itu pastilah dari virus.]
“Anak-anak bebek? Maksudnya, anak-anak Drake si naga? Minionnya?”
[Apa pun istilahnya.]
Dahi Alex berkerut. Itu aneh, sangat aneh.
[Begitu sampai ke rumah, periksa komputermu.]
Pembicaraan dengan Mrs. Bellsey berakhir di sana. Alex kembali dihantui rasa penasaran. Komputernya jelas tidak bisa memainkan game yang biasa dia mainkan bersama teman-teman. Perkiraan Mrs. Bellsey soal virus terasa lebih masuk akal. Tapi, kalau itu benar, maka komputernya berada dalam bahaya.
Alex turun dari mobil, melempar senyum pada setiap pelayan yang berpapasan dengannya. Preston mengikuti di belakang dengan nampan lagi berisi camilan. Alex buru-buru berpaling, menghentikan si kepala pelayan.
“Ada tugas kelompok hari ini. Aku akan diskusi kelompok dengan teman-teman lewat video call. Jadi, kupikir aku tidak perlu camilan hari ini.”
Preston langsung paham. Si kakek tua mengangguk. Sementara Alex berjalan cepat sambil tetap memasang raut tenang, Preston kembali di dapur.
Entah sejak kapan Alex bisa begitu mudah bersandiwara. Kebohongan merupakan salah satu keahlian nomor satunya saat ini. Tak seorang pun mencurigainya, termasuk Mrs. Bellsey. Wanita itu berada di persimpangan menuju kamar Alex.
“Periksa komputermu, Alex,” pinta Mrs. Bellsey dengan dagu ditarik ke atas. Sosoknya seperti pelatih anjing penjaga. Ditambah tatapan dingin, Rover bahkan tak akan berani menatap balik dirinya.
Alex mengangguk. “Tentu. Itu pasti hanya sekadar virus yang tidak sengaja terdownload bersama game kemarin. Terima kasih informasinya. Akan segera kubereskan.”
Mrs. Bellsey menggelengkan kepala.
Begitu Alex masuk ke kamar, dia mempercepat semua gerakannya. Mengunci pintu, mematikan lampu, mengaktifkan komputer canggihnya, memanggil kembali si Killer Bee. Gongongan Rover yang menyambut bahkan tak dia hiraukan.
Alex kembali terpaku di depan layar raksasanya. Siluet lebah kuning muncul di sisi kanan bawah. Bagian tengah layar sendiri dipenuhi deretan angka dan huruf acak. Seseorang baru saja mengirim virus untuk menginfeksi komputernya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟🤟
2022-08-10
0
Rikko Nur Bakti
kemampuan hacking darimana ya?
2022-04-24
2
anggita
lebah kuning~ killer bee.🐝
2022-01-30
2