Caitlin langsung terbelalak. Selagi Henrietta mengambil pistol, Nadira memicingkan mata, tak suka dengan lelucon yang datang. Tiger mendesah sambil menggelengkan kepala. Setidaknya kalau Jayden masih bisa bicara demikian, berarti dia belum akan mati.
“Hei, aku ada di pihak kalian!” sahut Jayden. “Lagipula kalian pikir ada berapa banyak hacker seperti diriku? Jumlahnya ratusan sekalipun aku mungkin yang terbaik. Bukan berarti mereka tidak bisa mendapatkan informasi Zetta Sonic.”
Caitlin terdiam, hanya menatap Jayden sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Nadira mengusir Caitlin, “Pergilah pada profesor Otto, cek bagaimana keadaan anak itu. Aku akan menyusul. Tiger, bereskan kekacauan yang ada. Kamu harus memastikan semua perbaikan berjalan lancar. Dan, kau, Jayden. Cari tahu siapa Killer Bee. Cepat atau lambat, seseorang pasti akan mencari dirinya.”
“Apa yang akan kita lakukan padanya?” sahut Jayden.
“Pada anak itu? Tergantung apakah dia bisa bertahan atau tidak.”
Keempat orang lainnya meninggalkan ruangan, meninggalkan Jayden dengan alat mungilnya di atas meja. Jayden tahu telah membuat kesalahan dan satu-satunya cara memperbaiki adalah mencari tahu siapa Alex.
Badannya memang sakit, dia butuh istirahat. Tanpa seorang pun di dalam ruang pengobatan besar itu, dia bisa saja tidur. Sayangnya, rasa kantuknya lenyap. Jayden mengedarkan pandangannya sesaat. Tempat itu memiliki dua kasur saja dengan sekat tirai yang bisa ditarik. Seperti kamar rumah sakit biasa dengan sentuhan teknologi canggih pada dindingnya. Ada pula beberapa peralatan lain yang diletakkan di ujung ruangan.
Jayden tak pernah mengira kalau dia akan jadi orang pertama yang berbaring di sana. Pertama kalinya Tiger memukulnya, Jayden hanya berakhir di kursi putar di kantor dokter Vanessa. Hari ini, dia bahkan tak bisa leluasa bergerak. Obat dan teknologi ICPA akan membuatnya cepat pulih.
Itu masalah fisiknya, masalah perasaannya lain lagi. Jayden penasaran siapa Alex. Sebagian hatinya namun juga dipenuhi keraguan. Hacker biasa tidak akan mampu melakukan aksi seperti Alex.
Ambil contoh dirinya sendiri. Jayden sudah bertahun-tahun berada di dunia itu. Dia mencuri data dan uang lebih banyak daripada hitungan hari. Bos lamanya memberinya pelajaran menembak. Bos lainnya mengajarinya bela diri, sekadar untuk jaga-jaga. Di sini, dia berlatih bersama Tiger. Semua dilakukan karena tuntutan dari orang lain.
Alex, anak itu berbeda. Dia seolah melakukannya demi sesuatu yang penting. Sesuatu yang berhubungan dengan hidup dan mati. Mungkinkah dia benar-benar suruhan seseorang?
Jayden mulai memeriksa data Alex melalui alat mungilnya. Dengan beberapa tombol saja, Jayden berhasil menemukan nama lengkap Alex, tempat tinggalnya, sekolahnya, bahkan hobinya. Dia antara semua data itu, satu hal yang membuatnya bergidik ngeri. Killer Bee atau Alexander Hill adalah putra tunggal Marcus Anthony Hill. Masalah ini berubah dari sulit menjadi pelik. Apa yang dilakukan putra Mark Hill di markas rahasia mereka?
***
Di sisi lain, Alex sedang terbaring tak sadarkan diri dalam peti tertutup kaca. Dokter Vanessa berdiri di samping peti bersama tablet PC yang bisa mengakses semua teknologi yang terhubung ke peti tersebut. Ruangan ini berbeda jauh dengan ruang tempat Jayden terbaring. Ruangan ini lebih luas dan lebih suram. Sesungguhnya, jumlah lampu di sana sama. Ruang ini bahkan punya lampu lebih terang karena bisa juga digunakan untuk ruang operasi. Namun, sang dokter membiarkan pencahayaan hanya berada di sekitar tempat pasiennya berbaring.
Dokter Vanessa masih rupawan di usianya yang sudah lima puluhan. Matanya memperhatikan wajah Alex yang masih pucat. Urat-urat nadi yang menghitam juga masih nampak di sekitar leher dan dagunya. Sepintas, Alex mirip dengan zombie yang ada film horor. Bedanya, Alex masih hidup. Untuk saat ini.
“Dokter.”
Dokter Vanessa berbalik menghadap profesor tua yang datang bersama tongkatnya. Dia mengenakan setelan jas tanpa dasi dan topi.
“Makan malam kita berubah jadi bencana. Aku tahu tidak seharusnya meninggalkan orang-orang itu di sini,” ujar si profesor. Rambut ikalnya memutih di berbagai tempat, beberapa bagian bahkan sudah meninggalkan akarnya.
Dokter Vanessa menggeleng, membuat rambut emasnya bergoyang. Dia telah menguncirnya ketika sedang merawat pasien. Panjangnya memang hanya sebahu tapi dokter ini tak ingin terganggu olehnya. “Jangan khawatir, profesor. Kita bisa makan malam sambil membahas teori kuantum lain waktu.”
Profesor Otto berjalan mendekat, tak memberikan balasan. Tongkatnya membuat suara ketuk pelan setiap kali melangkah. Matanya yang berkantung menengok ke dalam peti kaca. Bibirnya melengkung, entah karena anak di dalamnya masih muda atau karena hasil kerja kerasnya kini ada di dalam anak itu.
“Nadira di sini,” ujar Vanessa.
“Aku tahu. Aku enggak ingin bertemu dengannya.”
“Karena tabiat buruknya?”
“Karena aku harus menjelaskan berbagai pertanyaannya. Sebanyak apa pun kujelaskan, dia tidak akan mau dengar. Dia pasti ingin aku mengulang semua penelitiannya. Jangan salah. Aku mau. Aku hanya tidak yakin punya semua bahan yang kumiliki. Terutama, waktu. Dragon Blood punya komposisi unik.”
Vanessa mengangguk. “Aku setuju. Komposisi darah anak ini berubah seiring dengan tercampurnya Dragon Blood.”
“Setidaknya dia tidak akan berubah jadi naga.” Ucapan profesor Otto memang bukan sebuah lelucon, melainkan ekspresi kebingungan serta kekesalan. “Bagaimana status anak ini? Apa dia akan bertahan?”
“Itu pertanyaan yang sulit dijawab, prof. Sejauh ini, dia bertahan.”
“Dia sekarat.”
Sang dokter menggigit bibirnya, mengangguk sekali dengan pelan. “Kita tidak tahu siapa dia. Kudengar namanya Alex, hacker bernama Killer Bee. Dia sangat muda. Aku penasaran bagaimana keluarganya bila mendengar soal ini.”
“Kalau dia punya keluarga,” sahut profesor Otto. “Kebanyakan kriminal meninggalkan keluarga mereka atau ditinggalkan oleh keluarga mereka.”
“Atau,” imbuh dokter Vanessa, “melakukan kriminalitas demi keluarga mereka.”
“Teori menarik, dokter.”
“Aku hanya berharap ICPA bisa memberikan penjelasan yang baik bagi keluarga Alex.”
“Dia tidak akan bertahan, ya?” Profesor Otto memicingkan mata. “Aku sudah bilang pada Nadira saat dia ingin Dragon Blood dicoba pada manusia. Eksperimen ini belum selesai. Melakukan transfusi pada manusia pada tahap ini hanya akan membuatnya tewas. Cairan ini tak ada bedanya dengan racun. Belum lagi dosis yang masuk ke tubuh anak ini jauh lebih besar dari yang kuperkirakan.”
“Benar. Itu yang kutakutkan. Aku tak suka menulis surat kematian.”
Dokter Vanessa menghela napas panjang. Matanya mengawasi bagaimana Alex bergeming seperti mayat. Detak jantung dan tekanan darahnya begitu rendah. Komposisi darahnya yang berubah tak memungkinkan untuk transfusi darah. Dokter Vanessa tak bisa berbuat apa-apa. Ini jelas pengalaman pertama kali dalam hidupnya. Menyaksikan seseorang di ambang kematian tanpa mampu melakukan sesuatu. Seluruh ilmunya seolah menguap lenyap.
Profesor Otto ikut menghela napas. “Tapi, kupikir ada yang lebih buruk dari itu, dok.”
“Operasi ini dibubarkan dan kita kehilangan pekerjaan?” tebak Vanessa.
“Tidak, tidak. Itu masih jauh lebih baik.”
“Kalau begitu, apa itu, profesor?”
“Bagaimana kalau anak ini bertahan? Bagaimana kalau Killer Bee bertahan hidup?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟🤟
2022-08-11
0
Rikko Nur Bakti
teori yang tidak berujung.....
2022-04-25
1
Diana Dwiari
wah,Alek ke anak super
2022-02-24
1