NovelToon NovelToon

Zetta Sonic

Killer Bee

ZETTA SONIC

First Arc : Dragon Blood

Alex tak mampu berhenti mengalihkan mata dari layar besar di hadapannya. Layar itu menampakkan angka-angka berderet panjang disertai tanggal dalam tabel panjang. Siapa pun yang mengamatinya akan ikut merinding bersama Alex. Itu semua bukan nominal biasa melainkan uang. Lebih tepatnya, uang dalam jumlah besar. Ditransfer pada beberapa rekening berbeda dengan nama berbeda pula. Namun, Alex tahu identitas pemilik tunggal atas semua rekening tersebut.

Alex berhenti sejenak sembari menarik dirinya untuk bersandar pada kursi kulit asli. Bahkan ketika berusaha istirahat pun, dirinya tak mampu melepaskan perhatian dari layar utama. Ukuran layar ini lebih cocok untuk menonton film daripada menjalankan hobi berbahayanya, hacking.

Sebelum melakukan hobi tersebut, Alex selalu memastikan semua tugas sekolahnya telah rampung dan dia sudah siap menghadapi kuis besok. Penanggung jawab sekaligus pengawasnya yang super disiplin, Mrs. Bellsey, siap memberinya ceramah panjang kalau dia bukan pemegang nilai tertinggi di kelas. Selain urusan sekolah, Alex juga memastikan telah selesai makan malam atau Mrs. Bellsey akan menggedor kamar keras-keras lalu masuk secara tak terduga. Entah bagaimana Mrs. Bellsey selalu bisa menebak kode sandi pintu kamarnya. Tinggal di rumah berteknologi canggih tak selalu menjaminmu aman. Baru setelah tugasnya sebagai pelajar selesai, Alex bisa masuk ke kamar dan melakukan apa pun yang dia suka.

Pemadaman lampu dilakukan saat ini agar bisa berkonsentrasi. Pintu dan semua jendela juga telah tertutup serta terkunci. Padahal kalau jendelanya terbuka, Alex punya pemandangan menakjubkan ke taman dalam manor yang dilengkapi dengan air mancur berpatung malaikat.

Sumber cahaya dalam ruangan saat itu hanya dari layar besar di hadapannya. Layar itu memancarkan cahaya temaram akibat latar belakang hitam dan tulisan putih. Dua warna membosankan itu dipecahkan oleh siluet lebah kuning cerah di bagian ujung kanan bawah. Killer Bee, nama hacker yang dia pilih.

Alex merasakan jantungnya berdegup kencang. Bukan karena dia hendak memindahkan angka-angka tersebut ke rekening pribadinya. Dia tak perlu. Itu semua rekening milik ayahnya. Lebih tepatnya, uang itu semua masuk ke rekening ayahnya, Marcus Anthony Hill.

Selama ini, Alex selalu penasaran apa pekerjaan ayahnya. Ibu selalu bilang kalau ayahnya pengusaha internasional. Namun, hingga hari ini, saat usianya baru genap ke-15 beberapa bulan lalu, Alex tak pernah sekalipun tahu nama perusahaan atau bidang usaha yang dijalankan sang ayah. Sebenarnya, ada juga anak-anak lain di sekolahnya yang seperti itu. Mereka tak peduli pada usaha anggota keluarga.

Alex berbeda. Dia penasaran. Benaknya butuh dipuaskan oleh jawaban.

Sayangnya, layar di hadapannya mengandung informasi bukan jawaban. Dia perlu penyelidikan lebih lanjut kalau memang mau tahu apa arti di balik semua angka-angka tersebut. Hal pertama yang harus dilakukan, tentu saja, memastikan apakah semuanya datang dengan legal atau ilegal. Dari dulu, selain penasaran apa usaha ayahnya, Alex selalu penasaran apakah fasilitas yang sedang dinikmatinya ini juga datang dari usaha jujur.

GUK!

Alex tersentak. Anjing rottweiler di belakangnya menyalak kencang. Alex hendak protes namun membatalkannya. Tangannya menyapu PC Tablet di atas meja. Dalam sekejap, semua lampu dalam kamar menyala. Layar besar di hadapannya berubah menunjukkan layar kemenangan di akhir game ‘Drake and His Land’ lengkap dengan sang ksatria berbaju zirah berdiri di atas naga terkapar.

Sepasang layar lebih kecil yang mengapit layar utama pun ikut menyala. Satu layar menunjukkan screensaver aktif, sementara satu lagi menunjukkan proses unduhan game terbaru. Di bawah meja, terdapat jajaran aneka konsol game. Ditambah dengan karpet besar, sofa, meja kopi, dan ruang luas, tempat itu adalah kamar impian anak remaja seusianya.

Cahaya lampu menyinari rambut hitam pekatnya, persis milik sang ayah ketika muda. Matanya coklat seperti milik ibu. Sepertinya hanya itu kemiripannya dengan kedua orangtua. Alex jarang bertemu mereka. Ibu setidaknya pulang sebulan sekali meski hanya dua atau tiga hari. Ayah hanya dua kali setahun. Foto kecil dalam pigura di ujung meja punya ingatan akan orangtuanya lebih baik dari dirinya.

Alex memutar kursi, menghadapi sang tamu. Di pangkuannya, ada game controller yang tak pernah dia sentuh sejak masuk kamar tadi. “Kamu hampir membunuhku,” ujar Alex, melampiaskan protes.

“Kuharap itu hanya kiasan.” Preston, si kepala pelayan masuk membawa nampan. Dia mengenakan setelan jas tailcoat hitam di atas kemeja putih. Dasi hitamnya terpasang rapi. Kacamata bulat menggantung di hidungnya yang bengkok. Rambutnya telah putih sepenuhnya. Meski begitu, wajahnya selalu tampak segar dan senantiasa dihiasi senyum lembut.

“Tidak, itu sungguhan. Tapi, untungnya aku sudah memberikan serangan terakhir ke Drake sebelum dia yang membuatku game over.” Alex pun berdiri dari kursi. Mereka bertemu di tengah ruangan.

“Kerja bagus, kalau begitu.” Preston meletakkan nampan pada meja kopi yang berdiri tenang di atas karpet beludru besar. Di atas nampan, ada teko mungil berisi teh dan camilan di sebelahnya.

Alex yakin dirinya tak minta camilan pada Preston. Pria itu membawanya  atas inisiatif sendiri. Preston memang telah melayani keluarganya selama bertahun-tahun. Baginya, Preston seperti kakek ramah dan sabar yang selalu bisa dia goda saat merasa kesal. Tak jarang Alex sengaja bersikap buruk hanya sekadar untuk menguji kesabarannya. Sejauh ini, Preston selalu menang sampai Alex sendiri bosan menggodanya.

“Aku akan kembali satu jam lagi untuk membereskan ini.” Preston berbalik, meninggalkan Alex yang sedang mencomot satu cookie berbentuk kerang.

Begitu Preston keluar dari kamar, Alex mendesah seraya menjatuhkan diri di atas sofa berwarna labu. Si anjing rottweiler jantan menyalak lagi. Dia minta kepingan cookie tersebut. Alex melemparnya dan si anjing menangkapnya dengan mudah.

“Kerja bagus, Rover,” ujar Alex. Tangannya mengusap kepala si anjing. “Tapi, lain kali gonggonglah lebih cepat sebelum dia masuk.”

Alex kembali ke kursi putar dengan cangkir berisi teh panas. Dia ingat benar kalau Preston juga bisa mengakses semua ruangan dalam rumah. Bagaimanapun, dia adalah kepala pelayan. Ibu berpikir akan lebih praktis kalau Preston bisa masuk ke mana pun dan ayah setuju. Meski begitu, Alex tahu seharusnya tak perlu khawatir.

Preston sangat sabar dan cenderung diam atas perbuatannya. Entah karena dia tidak peduli atau karena dia sengaja memberikan Alex kebebasan. Meski jauh lebih tua, Alex tetap majikannya. Pria itu bukan hanya sopan, tapi juga selalu patuh pada perintahnya. Alex yakin kalau Preston tadi telah mengetuk sebelum masuk. Hanya saja Alex terlalu fokus ke layar sampai tak mendengar.

Sekarang, kembali ke layar.

Dengan satu sapuan pada PC Tablet, Alex mendapatkan tabelnya lagi. Kali ini, dia membiarkan lampu kamarnya tetap menyala. Dia kembali mengamati angka-angka tersebut lalu mulai mencatat tanggal di atas secarik kertas untuk nanti diperiksa ulang. Rover menyelinap di dekat kaki, duduk tenang.

Tangan Alex mulai mengutak atik layar lagi. Tak lama, sebuah notifikasi berkedip di bagian kanan atas. Sesuatu yang cukup janggal terjadi ketika dia sedang melakukan aksinya. Notifikasi tersebut datang tanpa nama dan tanpa identitas apa pun.

Alex menggerakkan kursor, memeriksa apa isinya. Topik surelnya lebih mirip peringatan dan isinya tak kalah membingungkan.

 

 

STOP!

 

 

Operasi sudah dimulai. Mereka tak akan berhenti sampai menemukannya. Berkumpul menuju kebebasan. Delapan menuju keabadian. Hentikan perputarannya.

 

 

Alex mengernyit. Bukan sekadar pesan biasa. Ada pesan tersembunyi di sana. Dia juga menyadari adanya fitur penghancur otomatis. Siapa pun pengirimnya ingin pesan itu lenyap tak berbekas dalam waktu dua menit. Alex buru-buru menarik lembaran kertas lain dan menyalin isinya meski dia bisa langsung hafal. Kadang cara manual lebih menjamin daripada mencatatnya di ponsel.

Tepat dua menit setelah surel itu dibuka, jendela surel mulai bergetar. Huruf-hurufnya mulai kabur dan mozaik hitam putih bermunculan. Tak sampai satu detik selanjutnya, surel itu lenyap seolah tak pernah ada.

Alex menghela napas panjang. Mengungkap apa artinya mungkin bisa membuat dia menemukan jawaban atas sang ayah.

Drake

Alex punya waktu semalaman untuk memikirkan arti dari surel tersebut. Dia tidak punya petunjuk apa pun dan tak tahu sama sekali harus mulai dari mana.

Menjelang pukul sebelas, Alex berpindah dari ruangan itu ke kamarnya. Secara teknis, dua ruangan ini adalah satu kesatuan, terhubung tanpa pintu. Meski ukurannya kamar lebih kecil, bukan berarti kamar Alex sempit. Untuk kamar tidur dengan kasur Queen size, ukurannya termasuk luas. Temanya masih mengusung warna hijau muda dan oranye dengan jendela besar menghadap ke taman dalam. Ada meja belajar lain di sana, televisi keluaran terbaru, juga sofa lengkap dengan lampu baca. Salah satu sisi dinding ditutupi deretan lemari coklat. Mereka berhenti sebelum walk in closet yang terhubung ke kamar mandi.

Kamar ini tidak pernah berantakan. Bukan karena Alex senantiasa merapikannya, melainkan adanya sepasukan pelayan yang selalu sigap membereskan ruangan tersebut. Preston salah satunya. Alex bisa melemparkan benda apa pun di sana, membuat berantakan kamarnya sebelum berangkat sekolah, atau menumpahkan susu kocok tanpa khawatir. Semua akan beres dalam sekejap.

Alex melemparkan dirinya ke atas ranjang. Tangan kanannya memegang kertas berisi salinan dari surel tadi. Operasi apa yang dimaksudkan di sana. Tangan kirinya membawa ponsel ke depan wajah. Dia memperhatikan kalender, berusaha menebak apabila ada momen besar yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.

Ini bulan September. Bulan yang tenang. Cuaca sejuk, tidak ada salju. Tidak ada hari khusus yang menarik perhatian. Lagipula, apa yang mereka cari.

Alex tergoda masuk ke kamar ayahnya. Benar, kamar ayah. Bukan kamar ibu atau kamar orang tuanya. Ayah dan ibunya punya kamar masing-masing. Alex penasaran apakah hal ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi bila punya rumah luas. Tampaknya tidak.

Dia pernah menyelinap masuk ke kamar ayahnya sejak kecil. Kamar itu kosong. Maksudnya, tidak ada hal menarik di sana. Tidak ada lemari rahasia, tidak ada brankas di balik lukisan, tidak ada dokumen rahasia. Lagipula, kalau dia jadi ayah, dia akan menyembunyikannya di ruang kerja.

Ruang kerja ayah lebih lagi. Ruang itu lebih mirip ruang pameran daripada ruang kerja sungguhan. Tidak ada arsip sungguhan di sana. Memang ada meja kerja besar, kursi kulit empuk, juga lemari. Isinya hanyalah buku-buku mengenai investasi, perbankan, dan hal-hal berbau ekonomi lainnya. Selain itu, tak ada berkas-berkas apa pun. Seingat Alex, ayah bahkan tidak pernah masuk ke sana bila sedang pulang ke rumah.

Alex kini menarik dirinya untuk duduk di ranjang. Rover sudah terlelap di atas kasurnya sendiri dekat pintu kamar. Untuk sejenak, Alex merasakan hal yang selalu datang seperti malam-malam lainnya. Ketenangan yang memuakkan. Dia bisa saja menonton TV hingga larut malam atau bermain game sampai pagi. Namun, tak ada yang bisa mengusir ketenangan ini.

Dia menolak keadaannya sekarang. Rasanya seperti terbelenggu dalam penjara kaca. Dia ingin sesuatu yang berbeda sekalipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Matanya kembali terpaku pada tulisan tangan di kertas. Alex akan melakukan apa pun untuk mengetahui di mana ayahnya saat itu.

 

 

Alex biasa bangun pukul enam. Preston datang membawakan sarapannya ke kamar. Dia telah mengenakan seragam dan tengah membaca berita di internet. Bukan berita politik, hanya berita mengenai tim sepak bola favoritnya. Mereka akan bermain akhir pekan ini. Dia telah berjanji dengan beberapa teman sekolah untuk nonton bersama.

Mengingat isi surat kemarin, Alex jadi sangsi apa dia bisa hadir atau harus membatalkan janji tersebut. Rasa penasarannya sedang menggebu-gebu. Tak lama kemudian, dia sudah berada di mobil menuju sekolah.

Hari ini seharusnya menyenangkan. Ada kuis dari Mr. Bernard ada di jam kedua. Dia tahu akan mendapat nilai tertinggi lagi. Selanjutnya, mereka akan bermain sepak bola di jam olahraga. Alex selalu berperan sebagai kiper. Dia suka bagaimana jadi satu-satunya pemain tim yang diizinkan memegang bola. Tak lupa juga menu favoritnya dijadwalkan sebagai menu makan siang hari itu.

Kenyataannya, semua bergeser dari jadwal. Mr. Bernard mengeluarkan soal di luar dugaan Alex dan para murid lainnya. Tak satu pun dari dua puluh siswa kelas itu mampu memprotes kuis dari guru killer tersebut. Alex sempat mendengar beberapa teman membahas soal tersebut. Dia sadar kalau telah mengerjakan dengan cara yang salah. Alex mungkin hanya akan dapat nilai tertinggi kedua dan dia tidak suka dengan itu.

Kalau ada yang harus diprotes selanjutnya adalah badan perkiraan cuaca. Hujan gerimis datang perlahan di jam olahraga. Guru mereka pun memutuskan agar mereka berolahraga di gym. Artinya, tidak ada sepak bola hari itu.

Terakhir, tentu saja Alex harusnya protes pada pihak kantin. Mereka membuat menu selama satu minggu dan memberikan harapan palsu. Tak ada salmon hari itu. Menu favoritnya lenyap digantikan daging rolade dan kentang tumbuk. Padahal Alex mengira harinya akan membaik setelah makan siang.

Ketiga kejadian beruntun itu langsung menurunkan nuansa hatinya hari itu. Di satu sisi, dia senang bisa mengontrol bagaimana sikapnya. Tak seorang pun sadar kalau dirinya bad mood. Di sisi lain, dia ingin seseorang menghiburnya. Meski, agaknya dia butuh teman seorang cenayang untuk menyadarinya.

Matahari kembali bersinar cerah di sore hari. Alex menutup pintu mobil dan sopir memberikannya perjalanan mulus kembali ke rumah. Sepanjang jalan, dirinya hanya diam. Matanya mengamati langit oranye ditemani awan tipis tak berbentuk. Sekarang, pikirannya kembali pada pesan surel kemarin.

Setidaknya, hal baik hari ini adalah tak ada pekerjaan rumah. Alex punya banyak waktu mengungkap apa arti surat tersebut. Baru memikirkan dari mana dia akan melanjutkan pencariannya, ponselnya bergetar.

“Halo?”

[Alex, apa kamu lupa mematikan komputer saat ke sekolah tadi?]

Suara Mrs. Bellsey terdengar dingin seperti biasa. Alex bisa membayangkan wanita jangkung tersebut sedang melipat tangan sambil menatap layar besar di kamarnya. Di belakangnya, para pelayan wanita sedang menggunakan penyedot debu.

Alex menggeleng, meski tahu Mrs. Bellsey tak melihatnya. “Enggak. Kenapa?”

Membiarkan komputer menyala ketika dia tidak berada di kamar adalah hal tabu bagi Alex. Ada berbagai alasan. Salah satunya tentu saja berhubungan dengan Killer Bee. Sekalipun Preston dan Mrs. Bellsey tidak pernah berhasil membongkar sandi komputernya, bukan berarti dia bisa memberikan mereka celah untuk mengutak atik komputer.

[Lucu sekali.] Suara Mrs. Bellsey sama sekali tidak mencerminkan baru menemukan hal lucu. [Layar komputermu seperti sedang diserang anak-anak bebek. Kalau bukan komputermu yang sedang memainkan video game, itu pastilah dari virus.]

“Anak-anak bebek? Maksudnya, anak-anak Drake si naga? Minionnya?”

[Apa pun istilahnya.]

Dahi Alex berkerut. Itu aneh, sangat aneh.

[Begitu sampai ke rumah, periksa komputermu.]

Pembicaraan dengan Mrs. Bellsey berakhir di sana. Alex kembali dihantui rasa penasaran. Komputernya jelas tidak bisa memainkan game yang biasa dia mainkan bersama teman-teman. Perkiraan Mrs. Bellsey soal virus terasa lebih masuk akal. Tapi, kalau itu benar, maka komputernya berada dalam bahaya.

Alex turun dari mobil, melempar senyum pada setiap pelayan yang berpapasan dengannya. Preston mengikuti di belakang dengan nampan lagi berisi camilan. Alex buru-buru berpaling, menghentikan si kepala pelayan.

“Ada tugas kelompok hari ini. Aku akan diskusi kelompok dengan teman-teman lewat video call. Jadi, kupikir aku tidak perlu camilan hari ini.”

Preston langsung paham. Si kakek tua mengangguk. Sementara Alex berjalan cepat sambil tetap memasang raut tenang, Preston kembali di dapur.

Entah sejak kapan Alex bisa begitu mudah bersandiwara. Kebohongan merupakan salah satu keahlian nomor satunya saat ini. Tak seorang pun mencurigainya, termasuk Mrs. Bellsey. Wanita itu berada di persimpangan menuju kamar Alex.

“Periksa komputermu, Alex,” pinta Mrs. Bellsey dengan dagu ditarik ke atas. Sosoknya seperti pelatih anjing penjaga. Ditambah tatapan dingin, Rover bahkan tak akan berani menatap balik dirinya.

Alex mengangguk. “Tentu. Itu pasti hanya sekadar virus yang tidak sengaja terdownload bersama game kemarin. Terima kasih informasinya. Akan segera kubereskan.”

Mrs. Bellsey menggelengkan kepala.

Begitu Alex masuk ke kamar, dia mempercepat semua gerakannya. Mengunci pintu, mematikan lampu, mengaktifkan komputer canggihnya, memanggil kembali si Killer Bee. Gongongan Rover yang menyambut bahkan tak dia hiraukan.

Alex kembali terpaku di depan layar raksasanya. Siluet lebah kuning muncul di sisi kanan bawah. Bagian tengah layar sendiri dipenuhi deretan angka dan huruf acak. Seseorang baru saja mengirim virus untuk menginfeksi komputernya.

Bruises

Pada sisi kota yang berbeda, ada sebuah lokasi jauh di bawah tanah. Tempat ini dipenuhi berbagai peralatan canggih dalam balutan dinding berlapis plastik berpendingin. Seperti kulkas. Tapi, kulkas yang ini ukurannya raksasa. Bisa memuat beraneka jenis ruangan dan ratusan orang sekaligus. Masalahnya, karena satu dan lain hal, hanya ada dua orang di dalam ruang komputer saat ini.

Ruangan itu bernuansa putih. Penerangannya berasa dari lampu hemat daya yang disusun berupa deret garis-garis kebiruan. Hampir tak ada benda di dalam ruangan tersebut selain meja panjang berpanel serta berlayar sentuh. Mereka tidak memerlukan monitor fisik. Sisi dinding di seberang meja komputer sendiri adalah layar.

Seorang laki-laki muda duduk di meja komputer tersebut. Senyum tipisnya pasti membuat gadis-gadis kuliah seusianya terkesima. Kalau bukan gara-gara rambut ikalnya yang acak-acakan juga lebam di pipi kiri, mungkin dia bahkan akan terpilih menghiasi kover majalah. Dia mengetikkan sesuatu dan layar di hadapan mereka berubah. Kumpulan bebek hitam bermata satu berkeliaran di sana. Tak lama kemudian, mereka berubah jadi deret angka dan huruf.

“Ayo, Killer Bee, balas aku!” Si pemuda memicingkan mata ke layar, seolah bisa berhadapan langsung dengan sang hacker bersimbol lebah. Kedua tangannya sudah dilipat di atas meja, menanti. Jemarinya bertaut satu sama lain seolah berdoa.

Pria besar di sampingnya mencibir. “Aku enggak begitu paham apa yang kamu mainkan, Jayden. Apakah nanti akan muncul sesuatu di layar?” Tubuhnya jauh lebih kekar dari Jayden, si pemuda. Kalau Jayden mengenakan jaket putih berleher tinggi di atas T-shirt kelabu, laki-laki ini mengenakan seragam seperti tentara warna hijau tua. Rambutnya dipotong cepak, menunjukkan bekas luka berjajar tiga seperti seperti cakar pada dahi kiri. Sebuah pistol 9mm tergantung di sabuk bagian kanannya. Pada kebanyakan pertempuran, dia tidak perlu menggunakannya. Tangannya lebih mematikan dari pistolnya.

Jayden menoleh padanya. “Aku mengharapkan munculnya ksatria berbaju zirah.”

“Seperti di game?”

“Persis, Tiger. Si Killer Bee mencuri data ke akun yang salah. Siapa pun dia, pasti saat ini sedang menggerutu karena anak-anak naga yang kukirimkan padanya.”

“Maksudmu, bebek?”

Jayden tersenyum geli. “Anak-anak bebek buruk rupa yang akan menjelma jadi naga penyembur api. Kalau dia tidak cepat, pasti saat ini semua data di komputernya sudah lenyap jadi abu.”

Tiger mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. Tak yakin memahami apa yang dibicarakan Jayden. “Tapi, kalau bisa meretas sistem kita, berarti dia pintar--”

“Tidak,” sahut Jayden cepat sembari bergerak di atas kursi putar, menoleh langsung pada si penjaga. “Aku lebih pintar darinya. Aku tahu game apa yang dia mainkan dan aku bisa menyusup masuk ke sistemnya. Aku bahkan bisa mengirimkan virus lebih kuat dan menghancurkan semua datanya kalau mau.”

“Tapi?” Tiger melanjutkan, seolah sudah tahu apa lanjutannya.

“Tapi… Ini lebih menyenangkan.”

“Kamu ingin dia membalas.”

“Dia akan membalas. Aku tahu.” Senyum tipis Jayden kembali. “Killer Bee sendiri menganggap ini permainan. Aku yakin dia sengaja mengaktifkan game Drake and His Land untuk mengalihkan perhatian.”

“Drake dan apa?”

“Itu game yang sedang populer di kalangan remaja saat ini.”

“Maksudmu, dia menggunakan game itu supaya kamu mengira dia masih remaja.”

“Bisa ya, bisa tidak.”

Tiger kali ini menggaruk kepalanya. Dia tak perlu berhati-hati agar tak mengenai bekas lukanya. Rasa sakitnya sudah lenyap. Luka itu sudah berada di sana selama bertahun-tahun. Menyisakan kenangan seburuk kelihatannya.

Jayden berbaik hati menjelaskan. “Killer Bee bisa saja menggunakan game itu agar aku mengira dia masih remaja, padahal dia sudah dewasa. Namun, itu juga bisa sebaliknya. Killer Bee bisa saja masih anak remaja.”

“Dia pin…” Tiger berhenti sebelum mengucapkan kata ‘pintar’ lagi. “Dia pasti punya kemampuan lumayan. Dia berhasil menerobos firewall kita.”

Jayden spontan mengernyit. “Ralat. Bukan kita. Dia berhasil menerobos firewall cabang lain. Bukan firewall buatanku. Aku yang menemukan aksinya. Mereka seharusnya memberiku medali, bukan borgol.”

Tiger melirik ke arah pipi Jayden yang lebam.

Si pemuda spontan menutup lukanya. “Oke, oke. Tak perlu memukulku lagi. Aku akan jaga bicaraku.”

“Aku enggak akan memukulmu tanpa perintah. Kamu bisa bicara apapun padaku. Aku tak peduli. Tapi, kamu tidak bisa sembarangan bicara pada Nadira. Dia pimpinan di sini. Dia bisa memecatku. Dia bisa membunuhmu.” Tiger bicara datar tanpa nada. Keduanya sudah paham pada kenyataan itu.

“Kamu akan melakukan apa pun yang dia suruh,” lanjut Jayden.

“Kamu harus paham apa arti pimpinan, J.”

“Seseorang bertangan besi. Orang yang dengan mudah bisa menyuruh orang lain untuk memukul bila ada yang berjalan di luar rencana.”

“Dia kesal karena Killer Bee berhasil masuk ke sini kemarin.”

“Aku yang menemukan kebocoran itu. Aku yang kena pukul.”

“Hatinya sedang kesal.”

“Dia bukan gadis tujuh belas tahun. Dia sudah nenek-nenek.”

“Anaknya belum menikah. Dia belum punya cucu.”

“Oh, kenapa aku kaget kalau dia sudah menikah?” Jayden memutar bola matanya. Pembicaraan mengenai pimpinan mereka selalu membuat suasana menjadi gerah dan menyebalkan.

“Setidaknya kamu harus ingat Nadira menolongmu dari penjara.”

“Dia memindahkan penjaraku ke sini.”

“Penjara tidak memberikanmu komputer canggih.”

Jayden langsung tergelak. Dia tertawa dan bertepuk tangan. “Jawaban cerdas, Tiger! Jawaban cerdas. Itu masuk akal. Aku tak bisa menyangkal itu. Pekerjaan ini bagaikan pekerjaan impian.”

Tiger mengangguk, tak ingin melanjutkan perdebatan. Meski bagaimanapun, dia perlu menekankan beberapa hal pada Jayden. “Aku yakin enggak perlu mengingatkanmu juga soal kerahasiaan operasi kita. Kamu pasti paham kalau ini bukan permainan.”

“Aku tahu. Zetta Sonic tidak boleh sampai bocor keluar.”

“Itu juga berlaku untuk cabang lain.”

“Tentu. Itu tujuanku di sini. Nadira tak mau mainannya sampai ketahuan cabang lain. Zetta Sonic adalah kejutan manis bagi dunia, asalkan mereka segera menyelesaikan operasinya. Kalau tidak, mungkin kita akan tercatat sebagai salah satu tragedi besar.”

“Tidak akan tragedi. Mereka mengerjakan operasinya dengan baik.”

“Profesor Otto sudah mendapatkan relawan.”

“Seharusnya sudah. Daripada memikirkan itu, lebih baik segera hentikan Killer Bee sebelum dia menerobos lagi dan membongkar semuanya atau lebih buruk.”

“Lebih buruk?”

“Memanggil kawanannya dan mengungkap Zetta Sonic ke publik.”

“Tenang saja, Tiger. Tidak ada seorang pun bisa mencuri data selagi aku duduk di sini.”

Tiger memperhatikan bagaimana sorot mata Jayden berubah. Dia selalu seperti itu saat menemukan sesuatu yang menarik hatinya. Berapa kali pun mereka latih tanding, Jayden selalu kalah berkelahi dengannya. Namun, di depan komputer, ceritanya terbalik. Tatapan Jayden ke layar komputer bahkan membuat Tiger menelan ludah keras-keras. Untuk sesaat, dia kasihan pada Killer Bee.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!