Abadi
"Apa!!! Dijodohkan. Bagaimana kalian bisa membuat keputusan besar ini tanpa persetujuan dariku," protes Carolina saat mendengar dia akan dijodohkan dengan seseorang yang bahkan tidak dia kenal, melihat wajahnya pun ia belum pernah.
Kate memegang pundak Carolina. "Ini semua demi kamu, Nak. Percayalah pada ibu, dia akan membahagiakanmu. Dia baik untukmu." Wanita yang cukup cantik itu mencoba meyakinkan Carol untuk menyetujui perjodohan yang sudah diatur.
"Iya, kamu akan bahagia bersamanya," sahut Tom.
"Aku tidak mau dijodohkan!" ucap Carolina tegas. Dia bersikeras tidak mau dijodohkan, jikapun dijodohkan, Carol harap itu dengan Brian.
Mendengar ucapan Carolina, ekspresi wajah Tom berubah, dia nampak marah. Gelas berisi kopi yang sedang dia minum langsung ditaruhnya dengan sembarangan. Tom berjalan mendekati Carolina, dan sebuah tamparan pun melayang.
Plak!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi tirus Carolina, hal itu mengejutkan semua orang yang berada di ruangan. Air mata Carolina menetes, baru saja ia pulang dari sekolah dan sekarang dia sudah mendapatkan kabar buruk seperti ini. Carol bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci dirinya di dalam kamar seorang diri. Di dalam kamar Carolina terisak, tidak menyangka bahwa ayahnya sanggup menampar dia. Ini adalah tamparan pertama yang diterima Carolina sejak dia lahir. Ayah Carolina tidak pernah kasar seperti ini, dia biasanya sangat lembut dengan Carolina. Entah kenapa akhir-akhir ini dia jadi berubah sekarang. Kemarin pria yang sudah memiliki banyak uban itu memarahi Carolina hanya karena masalah sepele, yaitu masalah Carol yang lupa mematikan kompor saat sudah memasak mie.
Berjam-jam Carolina mengurung diri di kamar. Dia tidak ingin berbicara dengan siapapun, termasuk kedua orang tuanya.
"Carol sayang! Keluar dulu, Nak." Kate mengetuk-ngetuk pintu kamar Carol dengan lembut.
Tidak ada jawaban dari Carol. Kate merasa cemas, takut Carol melakukan hal yang tidak-tidak dalam kemarahannya. Kate mencoba lagi, kali ini dia mengetuknya dengan keras. Masih tidak ada jawaban dari Carol.
"Biar saya saja, Tante." Seorang laki-laki berpenampilan rapih dan menarik mengagetkan Kate.
"Eh, Nak Martin. Duduk saja, Nak. Nanti Carol akan ke sana sebentar lagi."
"Tidak apa-apa, Tante. Biar saya saja yang membujuknya." Martin meyakinkan Kate. Dia juga meminta dengan sopan wanita berusia sekitar 35 tahun itu untuk kembali ke ruang tamu dan duduk menunggu di sana.
Kate mengangguk, meninggalkan Martin di depan pintu kamar Carol sendirian.
"Carol, tolong buka pintunya," mohon Martin dengan suara yang lembut dan sopan. "Carol, aku mau bicara sama kamu sebentar saja," ucapnya lagi.
Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Carol. Martin ikut cemas sehingga dia memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Carol. Saat pintu terbuka, Martin melihat Carol tergeletak di lantai. Buru-buru Martin menghampiri tubuh Carol. Dia mengecek keadaan Carol, beruntung Carol tidak apa-apa. Dia masih hidup dan tidak ada luka sedikitpun. Dengan mudah Martin mengangkat Carol, memindahkannya ke atas ranjang. Laki-laki yang terlihat seperti sering pergi ke gym itu meletakan Carol dengan sangat hati-hati.
Ketika membuka mata, Carol kaget melihat seorang laki-laki berada sangat dekat dengannya, karena belum selesai Martin menaruh Carol, dia sudah terbangun terlebih dahulu. "Siapa kamu?!" tanya Carol. Dia mendorong tubuh Martin menjauh.
Martin berusaha menenangkan Carol yang sedang memukulinya dengan bantal yang ia ambil dari sampingnya. "Tenang, Nona manis. Tenang!"
Setelah Martin menjauh, Carol menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan dan tuduhan. "Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di kamarku? Apa kamu pencuri? Dasar pencuri! Pergi, atau kulaporkan ke polisi" Carol melempari Martin dengan segala barang yang berada di dekatnya.
“Aku memang pencuri. Aku akan segera mencuri hatimu, jadi bersiaplah” ucap Martin.
Carol melongo mendengar ucapan Martin barusan.
"Kenalkan, aku Martin, panggil saja Martin. Aku adalah jodohmu."
"APA!"
"Kenapa? tidak percaya? Percayalah Nona manis, laki-laki tampan nan keren ini memang jodohmu."
"Iyu ..., menjijikan." Carol merasa jijik dengan ucapan dan tingkah Martin yang sok keren dan sok akrab.
"Pede sekali, Anda," ujar Carol lagi.
"Sttt!" Martin mendadak menyuruh Carol diam.
"Mau apa kamu?!" Carol bertanya-tanya saat tangan Martin mendekat dan menyentuh rambutnya. Dia merasa geli begitu jari tangan Martin menyenggol telinganya. Wajah Martin mulai mendekat, sangat dekat sehingga Carol bisa merasakan hembusan nafasnya.
"Nah! begini ,'kan enak dilihat, rambut kamu lebih rapih,"ucapnya setelah selesai merapikan rambut Carol yang terlihat cukup berantakan, dia tersenyum dengan sangat manis. Rasanya sekarang seperti Carol sedang berada di sebuah anime, dimana dia merupakan tokoh utama wanita, dan Martin menjadi tokoh utama laki-laki idaman semua orang yang melihat.
"Dih! kirain mau apa," protes Carol, sejenak pikirannya memikirkan hal yang lain.
"Emang kamu pikir aku mau ngapain?"
Dengan singkat dan padat Carol menjawab. "Cium." Carol yang sering melihat adegan seperti ini ketika melihat drama korea, membuat pikirannya langsung mengarah ke sana.
Martin terdiam mendengar ucapan Carol yang di luar dugaan. "Mau dicium?" tawar Martin menggodanya. "Bibirku memang menggoda, sampai kamu minta dicium, he he," sambungnya diselingi tawa kecil.
"Ih! kagak." Carol cemberut. Dia merasa malu dan kesal pada dirinya sendiri karena sudah berpikiran macam-macam.
"Ekhm!"
Suara deheman dari seseorang menyadarkan keduanya.
"Eh, Om. Sore, Om!" sapa Martin kepada calon ayah mertuanya.
"Kalian sudah kenalan?" tanya Tom yang melihat putrinya dan calon menantunya sedang mengobrol, mereka berdua terlihat seperti sudah akrab. Sejenak Tom merasa tenang dengan perjodohan ini. Pikirnya Carol sudah setuju begitu melihat Martin secara langsung.
"Sudah, Om. Saya sangat menyukai putri Om. Dia imut, manis dan sedikit nakal. Rasanya ingin saya bawa pulang sekarang. Ha ha ha...," gurau Martin, ucapannya lagi-lagi membuat Carol melongo.
Tom hanya mengangguk dan tersenyum senang. "Baguslah. Ayo kita makan dulu, Nak." Tom mengajak putri dan calon menantunya makan bersama.
"Aku tidak mau!" tolak Carol, dia keras kepala seperti biasa.
"Ap-"
Melihat Tom yang seperti akan marah, Martin berinisiatif melerainya terlebih dahulu. "Tenang, Om. Biar saya saja yang mengatasi calon istri saya yang keras kepala ini," ucap Martin sebelum Tom menyelesaikan ucapannya.
Tom mengiyakan perkataan Martin. "Baik, Om duluan. Kamu bujuk calon istrimu yang keras kepala ini."
"Siap, Om!" Martin mengangkat tangannya seperti sedang hormat ke tiang bendera.
Pria tua berusia 46 tahun itu pergi meninggalkan Martin dan Carol bersama.
"Nah, tinggal kita berdua lagi sekarang."
"Lalu?"
"Mau makan atau tetap di sini? kalau mau tetap di sini tidak apa-apa. Aku akan menemanimu di sini." Martin naik ke atas kasur Carol dan tiduran di sebelahnya. Dia memainkan boneka milik Carol. Carol sangat suka terhadap boneka, makannya sekarang kasur dan kamar Carol penuh dengan boneka teddy bear berwarna pink dan coklat.
"Turun! sana turun!" Carol mendorong-dorong tubuh Martin. Martin
tidak bergerak sama sekali. Martin menarik Carol mendekat padanya. Pandangan mereka berdua bertemu. Tangan Carol berada di dada bidang Martin.
Beberapa menit mereka hanya terdiam. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing.
"Eh, maaf!"
Kate mengagetkan mereka berdua. Martin dan Carol terlihat malu-malu kucing.
"Ibu, ketuk pintu dulu!" protes Carol.
"Iya, maaf. Ganggu ya lagi mesra-mesraan," goda Kate.
"Apaan sih, Bu. Gk, kok. Siapa juga yang mesra-mesraan sama laki-laki asing.”
Kate hanya tersenyum mendengar putrinya berbicara seperti itu. Dia kali ini sepenuhnya tidak percaya apa yang putrinya bilang.
"Nak Martin, tadi ayahnya nelpon, suruh pulang sekarang." Kate menyampaikan informasi yang membuatnya datang ke kamar Carol.
"Baik, Tante. Terimakasih."
"Carol, aku pamit dulu, yah. Aku akan merindukanmu," sambung Martin.
"Sana pergi!" usir Carol.
“Carol jangan galak-galak sama calon suami.” Kate memperingatkan Carol dengan lembut.
“Ih apaan si, Bu.”
Martin pergi setelah pamit kepada Carol dan Kate, ia juga tidak lupa pamit kepada Tom.
…
Hari libur favorit orang-orang telah tiba. Hari ini merupakan hari minggu. Carolina Nampak sedang berdandan, hari ini dia akan pergi untuk kerja kelompok dengan laki-laki yang sudah dia sukai sejak SMP. Hal Itu membuatnya sangat bersemangat, karena biasanya Carol tidak suka kerja kelompok, dia lebih suka mengerjakan tugas seorang diri. Menurutnya kerja kelompok itu ribet dan melelahkan, lebih enak kerja sendiri. Karena menurutnya dengan kerja sendiri, ia bisa bebas berekspresi.
"Aku pakai baju yang mana yah." Carol memilih-milih baju. Dia bingung akan memakai yang mana. Baju yang dia pakai harus membuatnya tampak menawan di depan laki-laki yang dia sukai.
Carol mengeluarkan semua pakaian terbaik yang ia punya, dan menarunya di atas kasur.
Setelah melihat-lihat dan mempertimbangkan dengan sangat lama., Carol berhasilkan memutuskan pilihannya. "Yang merah bagus kayaknya. Pakai ini sajalah." Pilihan Carol jatuh pada gaun selutut berwarna merah yang ibunya berikan untuk kado ulangtahunnya ke 17 bulan lalu.
Tok! tok! tok!
Suara ketukan pintu terdengar dari arah pintu kamar Carol. Tanpa bertanya siapa yang mengetuk, Carol langsung menyuruh si pengetuk untuk masuk.
"Masuk!"
Begitu membuka pintu, Kate melihat pakaian putrinya berantakan.
"Ada apa ini?" tanya Kate.
Tidak menjawab pertanyaan Kate, Carol malah balik bertanya kepada Kate. "Bu, baju merah ini bagus gk?" tanya Carol meminta pendapat Kate tentang baju pilihannya.
"Bagus. Memang kamu mau kemana?"
"Mau kerja kelompok, Bu," jawab Carol sembari merapihkan pakaiannya.
"Oh!” ucap Kate dengan singkat. Dia menaruh Nampak yang sejak tadi ia bawa. Nampan berisi segelas jus jeruk untuk putri kesayangannya itu ia taruh di meja belajar Carol.
“ Sore nanti Martin datang. Dia mau mengajak kamu jalan."
"Ok, Bu!" jawab Carol tanpa ada bantahan sedikitpun.
Setelah mendengar jawaban Carol, Kate pergi meninggalkan kamar Carol dengan merasa tenang karena kali ini putrinya tidak membantah sama sekali.
"Datang saja, toh aku pulang sore nanti belum pulang. Biarkan si Martin itu menunggu lama. Ha ... ha ... ha ...," ucap Carol dalam hati.
Ponsel Carol berdering. Segera ia meletakan baju yang ia pegang dan membuka ponselnya. Ternyata itu berisi sebuah sms dari Brian.
Hanya dengan menerima smsnya saja Carol langsung merasa sangat bahagia. Setelah sekian lama akhirnya laki-laki terpopuler di sekolah itu menghubunginya dan menyimpan nomornya. Carol yang tidak mau membuat Brian menunggu lama, ia buru-buru berganti baju dan memakai makeup tipis. Setelah semua persiapan selesai, ia membawa tasnya dan pergi ke ruang depan. Di ruang depan sekarang hanya ada ibunya yang sedang membaca sebuah majalah.
Carol berpamitan kepada ibunya. "Bu, aku jalan dulu, yh," ucap Carol, dia memeluk dan mencium pipi ibunya lalu pergi menemui Brian yang sudah 10 menit lalu menunggunya di depan gang.
...
"Kenapa kamu lihat aku begitu? Lama banget." Brian terganggu dengan tatapan mata Carol yang tidak kunjung pergi darinya.
Carol menjawab dengan malu-malu, pipinya terlihat dengan jelas berwarna merah merona. "Kamu ganteng banget, Brian."
"Fokus, Carol. Kita sedang mengerjakan tugas sekolah," ucap Brian dengan nada membentak.
"Kamu tunggu di sini, yah. Ada yang ketinggalan. Aku mau ambil dulu sebentar," sambung Brian menyadari ada barang yang tidak dia bawa.
Carol hanya tersenyum. Dia dibutakan ketampanan Brian yang tidak ada apa-apanya dibanding Martin.
Brian pergi dengan motornya, dia tampak sangat keren. Pantas banyak cewek di sekolah mengidolakan dia. Sekarang Carol berdiri sendirian di gang yang lumayan jauh dari rumahnya. Dia menyeka keringat yang keluar dari pelipisnya karena tadi dia lari untuk sampai kemari. Brian tidak mau menjemput Carol di depan rumahnya.
2 jam berlalu, sampai sekarang belum ada tanda-tanda kedatangan Brian. Carol masih setia menunggunya di pojokan rumah orang, sesekali dia berdiri karena lelah berjongkok. Beruntung sekarang sudah sore, jadi cuaca tidak begitu terik, kalau tidak mungkin dia sudah pingsang sejak tadi. Ponsel Carol berdering. Kali ini telpon dari nomor yang tidak dikenal. Carol tidak menjawab telpon itu. Dia malah sibuk berkhayal tentang Brian. Lagi-lagi ponselnya berdering. Carol yang merasa terganggu setelah ponselnya bordering berulang kali, akhirnya dia mengangkat telpon yang entah dari siapa.
"Halo, Carol! Aku Martin."
"Apa, ada apa?" jawab Carol dengan nada yang terdengar malas.
"Kamu di mana? Aku di rumahmu sejak tadi. Cepat pulang, aku mohon."
Martin tidak bertemu Carol di jalan, karena dia mengambil jalan lain.
"Tuan Martin, maaf! tugas sekolahku belum selesai, jadi aku belum bisa pulang. Pergilah dari rumahku!" ucapnya berbohong, padahal sejak tadi ia tidak mengerjakan apa-apa. Carol mematikan telponnya sebelum Martin mengatakan sesuatu.
"Dia selalu menggangguku, menyebalkan," gerutu Carol.
"Biarkan dia menunggu. Aku membencinya,” sambungnya.
Sekarang Carol berinisiatif untuk pergi ke rumah Betty sendirian. Hal ini dilakukannya untuk menghindari Martin juga. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Martin. Sebelum menaiki taksi, Carol mengirimkan sms kepada Brian yang berisi bahwa dia akan ke rumah Betty sendirian. Tidak lupa, Carol juga menanyakan kabar Brian karena dia tidak kunjung datang. Carol merasa sangat khawatir pada Brian. Dia meminta Brian menelponnya jika Brian tidak mengalami masalah.
Setelah tiba di rumah Betty, Carol kaget karena di sana sudah ada Brian.
“Loh Brian sudah di sini? Sejak kapan?” tanya Carol. Dia bersyukur Brian tidak mengalami masalah sedikitpun, dia terlihat sehat.
“Lama banget Carol. Kita sudah nunggu selama 2 jam. Brian juga sama,” ucap Betty.
Brian hanya diam saja sambil meminum jus jeruk yang disajikan oleh pembantu Betty.
Carol tersenyum, “Ah, maafkan aku. Aku tadi ada urusan keluarga mendadak,” ucapnya berbohong. Dia seperti tidak ingin membuat Brian membencinya dengan membongkar kelakuannya tadi yang membuatnya menunggu selama 2 jam sendirian. Orang yang sedang bucin memang akan selalu memandang baik orang yang ia sukai, walau tindakannya sudah menyakitkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments