"Aku juga, Martin. Aku sangat mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kau segalanya bagiku." Carol memeluk Martin dengan erat.
Tak beberapa lama kemudian, terdengan bunyi Brukkk seperti benda jatuh. Rupanya Carol terjatuh dari tempat tidurnya bersama guling yang semalaman dia peluk, yang diakira adalah Martinnya.
Carol bangkit dan memegangi pinggangnya sendiri. "Duh! sakit."
"Sial! Ternyata cuman mimpi," umpatnya setelah menyadari yang terjadi hanyalah mimpi. Dia melihat galeri ponselnya sebentar dan memandangi foto Martin, lalu dia memutuskan untuk melanjutkan tidur karena hari masih cukup gelap untuk beraktifitas.
...
Ayam berkokok, burung berkicau, malam yang gelap telah berganti pagi yang cerah. Alarm berjalan Carol telah datang ke kamarnya. Tepat pukul 06.00 . Kali ini sang alarm sepertinya mempunyai cara lain untuk membangunkan putri tercintanya.
"Bangun! Bangun!" teriak Kate sambil menepuk-nepukan panci dengan sendok penggorengan. Suaranya yang nyaring langsung membuat Carol tersadar dari tidurnya.
Gadis dengan pakaian dan rambut yang masih acak-acakan itu menutup kedua telinganya dengan bantal, karena Sang ibu masih terus menabuh panci meski putrinya telah terbangun sejak tadi. "Ibu, hentikan. Berisik! Aku sudah bangun dari tadi," teriak Carol.
"Hei, putri kecilku sudah bangun," ucapnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Sudah dari tadi, Bu. Ibu apa-apaan sih bangunin pake gituan. Nanti tetangga kita juga ikut bangun." Protesnya.
"Biarin, biar mereka bangun terus pergi kerja."
"Kasian nanti bayi Ibu Gayatri juga bangun, Bu."
“Biar, lagian bukan cucu ibu.”
Carol menepuk dahinya sendiri karena melihat tingkah laku ibunya yang menyebalkan.
Kate menarik selimut Carol. "Kamu sebaiknya cepat-cepat mandi dan berkemas. Martin akan datang sebentar lagi. Jangan sampai dia menunggu terlalu lama seperti hari itu, dan jangan lupa pakai pakaian yang bagus."
"Baik, Bu. Ibu nampaknya sayang sekali pada Martin. Ibu terlihat lebih antusias daripada aku sendiri."
"Iya dong. Dia kan nanti jadi menantu ibu. Menantu paling tampan dan idaman banyak mertua. Andai ibu masih muda, daripada buat kamu yang nolak dia terus, mending sama ibu. Martin tampan, keren, kaya, sixpack lagi. Wah, idaman ibu." Ibu menangkupkan kedua tangannya sendiri di pipinya. Dia bertingkah seperti seorang remaja yang sedang menyukai seorang laki-laki.
Carol merasa jijik dan geli melihat tingkah laku ibunya. "Ih, Ibu! Kayak teman-temanku saja. Jangan gitulah, ingat umur."
Kate tertawa. "Memang kenapa? Martin kan sangat tampan, mapan juga. Kalau ibu masih muda, ibu juga mau dijodohkan dengan dia. Sayang ibu sudah berumur."
"Ibu sih salah lahir. Harusnya ibu lahir sama denganku."
Kate dan Carol bersendah gurau bersama.
"Seru sekali!" Tom tersenyum melihat kebersamaan ibu dan anak.
"Ayah, sebelum masuk kamar ketuk pintu dulu," protes Carol. Kedua orangtuanya sering sekali masuk kamar tanpa mengetuk pintu.
"Ok, maafkan ayah. Habis pintunya terbuka, jadi ayah masuk saja."
"Cepat bereskan barangmu. Martin sebentar lagi datang. Kate sayang, tolong buatkan suamimu ini kopi. Belikan juga rokok, yang kemarin sudah habis," perintah Tom kepada sang istri tercinta.
Carol berdiri di atas kasurnya. "Ayah, sudah kubilang jangan merokok lagi, hentikan! Merokok bahaya bagi kesehatan paru-paru Ayah. Ayah tidak mau kan mati muda, jadi hentikan rokoknya." Carol memperingatkan ayahnya. Sudah seringkali Carol memperingatkan ayahnya tentang bahaya rokok, tapi ayahnya tidak kunjung menurut sampai rasanya ia ingin menyerah untuk menasehati ayahnya.
"Tidak merokok, paru-paru tidak smile!" ucap ayahnya diselingi dengan tawa dan langsung pergi begitu saja.
"Ih, Ayah. Malah bercanda. Dasar keras kepala!"
"Sama sepertimu."
"Apaan sih, bu. Aku enggak keras kepala ya, hanya berpegang teguh pada pendirian saja."
"Tuh kan benar. Terserah kamu saja lah. Ayah dan anak sama saja." Kate pergi meninggalkan Carol yang sedang kesal sendirian.
...
"Hati-hati di jalan, Nak. Jaga Carol dengan baik, awas dia kabur. Pastikan dia selalu di dekatmu, Nak Martin." Tom memberikan salam perpisahan kepada anak dan calon menantunya yang akan pergi berlibur ke villa berdua.
"Baiklah, Om. Aku akan menjaganya dengan sangat baik. Tidak akan kubiarkan dia hilang dari pandanganku."
Tom mengangguk, sekarang dia berali kepada putrinya. "Carol, jangan menyusahkan Martin, yah!" Tom memperingatkan putrinya yang masih seperti anak kecil.
"Iya, Ayah. Kapan sih aku nyusahin Martin, yang ada dia yang nyusahin aku."
Kate menyodorkan rantang. "Ini dibawa!"
"Apa ini, Bu?"
"Ini bekal buat di sana. Jangan ditolak, ibu menyiapkannya sejak subuh. Ibu buat dengan sepenuh hati ibu."
Tom menyelah. "Bukannya kau bangun jam setengah enam, Kate?!"
"Em ... anu." Kate terbata-bata karena kebohongannya terungkap.
"Ibu pasti membelinya 'kan?" celetuk Carol dengan wajah tanpa dosa.
Kate nyengir kuda. "He he, iya."
"Sudahlah kalian cepat berangkat, nanti keburu siang, panas," sambungnya.
...
Begitu turun dari mobil Martin, Carolina memperhatikan sekitar. Indah, penuh pemandangan. Ada hamparan bunga berwarna-warni dan rumput hijau yang tidak terlalu lebat. Tampak dari kilauan mata Carol, dia sangat mengagumi keindahan tempat ini. Terletak di pegunungan membuat udara di sini terasa segar dan sejuk sekali.
"Ini belum seberapa, kamu pasti akan tambah takjub begitu melihat yang lainnya," ucap Martin yang menyadari kalau Carol menyukai tempat ini terlihat dari matanya yang berbinar-binar sejak tadi.
Carol begitu tertarik mengetahui lebih luas tempat ini. "Ada apa saja di sini?" tanyanya dengan perasaan penuh penasaran.
"Nanti kamu pasti akan tahu. Jika kamu jadi istriku nanti, semua ini bakal jadi milikmu. Sekarang mari kita masuk dan beristirahat terlebih dahulu." Tangan kiri Martin menggandeng tangan Carol dan membimbingnya masuk, sementara tangan kanannya membawa koper mereka, sisa barang mereka yang berada di dalam bagasi mobil akan dibawa oleh penjaga vila.
Martin mengantar Carol ke dalam kamarnya. Kamar Carol berada di lantai dua, sementara Martin sendiri memili tidur di kamar biasa yang sering ia pakai, yaitu kamar di lantai bawa. Sebelum pergi ke kamarnya sendiri, Martin bertanya kepada Carol tentang hal yang mungkin ia butuhkan.
"Apa kau butuh sesuatu?"
Carol menggeleng, dia tersenyum manis. "Kurasa untuk sekarang tidak. Kamu bisa beristirahat sekarang, Martin. Terimakasih," ucapnya. Ini kali pertama Carol mengucapkan terimakasih kepada Martin dengan perasaan yang sangat tulus.
"Baiklah. Kalau perlu sesuatu kamarku terbuka untukmu, datanglah dan jangan sungkan minta bantuan. Kamarku tidak jauh dari kamarmu. Kamarku di lantai bawa."
"Tenang saja. Tanpa kamu beritahu, aku pasti akan meminta bantuanmu." Carol tersenyum.
Setelah memastikan Carol tidak membutuhkan apa-apa lagi, Martin pergi ke kamarnya yang berada tidak jauh dari kamar Carol. Martin tidak akan jauh-jauh dari Carol, dia akan memastikan keamanan dan kenyamanan untuk Carol.
Di dalam kamar berukuran besar. Carol membuka kado berukuran sedang pemberian calon suaminya yaitu Martin. Sejak bertunangan dengan Martin, Carol sering diberikan kejutan dan hadiah mewah.
"Wah, gaun! Cantik sekali. Dia tahu seleraku." Carol tersenyum memandangi gaun pemberian Martin untuknya. Gaun biru yang indah dengan desain dan manik-manik yang tidak terlalu berlebihan, gaun ini terlihat sangat elegan.
"Aku akan memakainya untuk nanti," ucap Carol yang lalu menaruh gaun pemberian Martin ke dalam lemari, dia menyimpannya dengan sangat hati-hati agar tidak kusut apalagi lecet.
Carol membuka gorden jendela kamar dan menguncir rambutnya dengan kunciran yang sering ia jadikan gelang di tangan. Dia menguncirnya dengan rapi sehingga sekarang leher belakangnya terlihat jelas tanpa ada rambut yang tersisa, terdapat tanda lahir berukuran kecil berwarna putih di sana, mirip panu. Carol mengamati pemandangan yang tersaji dari balik jendelanya. Dari jendela kamarnya, dia dapat melihat pemandangan taman dan sebuah kolam renang yang berada di tengah-tengah taman. Air di kolam renang tersebut berwarna biru cerah, siapapun yang melihatnya pasti ingin segera berenang di sana.
"Aku ingin segera berenang di sana!" Carol begitu senang saat melihat air. Rasanya dia ingin segera menjeburkan diri di kolam itu. Carol sangat suka dengan air, dia di kenal perenang handal di sekolahnya. Carol sudah beberapa kali mengikuti lomba renang dan berhasil pulang dengan piala juga medali. Dia tidak pernah pulang tidak membawa apa-apa, minimal dia berhasil mendapatkan juara 3.
"Loh, apa ini?" Carolina menemukan sebuah kotak panjang di dekat laci tempat tidurnya saat sedang menaruh gelang yang ia pakai. Karena penasaran, dia membuka kotak itu.
"Ma-ma-mawar hitam lagi!!!" Begitu membuka dan melihat isi kotak itu, Carol terbelalak. Kaget dengan yang ia lihat.
"Kenapa bisa ada ini? Siapa yang menaruh?" Carol memperhatikan sekitar, mencari kemungkinan ada gerak-gerik yang mencurigakan dan orang yang mungkin mengikutinya. Tapi percuma, tidak ada seorangpun di sana. Hanya ada dirinya seorang.
"Mungkinkah penjaga vila yang menaruhnya? Atau Martin?" Carol menebak-nebak dari siapa mawar hitam itu berasal.
"Kenapa, Carol?" Martin bertanya kepada Carol yang sejak tadi ia perhatikan sedang melamun.
"Martin! Sejak kapan kau di sini?" Carol kaget dengan kehadiran Martin yang mendadak berada di belakangnya.
"Barusan."
"Kenapa? Ada apa? Fokus sekali sampai tidak mendengar aku datang," ucapnya lagi. Dia melompat ke atas tempat tidur Carol.
“Kenapa kamu kemari? Ada perlu apa?” Bukannya menjawab pertanyaan Martin, Carol malah balik menanyainya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya rindu padamu. Kemari! Tidur di sampingku." pinta Martin sambil menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
"Tidak, Martin. Aku tidak ingin rebahan. Aku bosan diam saja."
"Kemarilah, aku mohon! Sebentar saja. aku ingin dekat denganmu, Carol,"mohonnya dengan wajah memelas.
"Martin! Sudah kubilang aku sedang tidak ingin rebahan," tolak Carol.
"Lalu apa yang kamu inginkan, Sayang?"
"Aku ingin berenang di kolam renang sana!" Carol menunjuk ke luar jendelanya.
"K-ka-kamu, kamu ingin berenang?" Martin terbata-bata, pelipisnya berkeringat, seperti orang ketakutan.
"Iya, aku ingin berenang. Kau kenapa gugup?"
"Em ..., tidak apa-apa. Aku tidak mengijinkanmu berenang. Kamu tidak boleh berenang. Di sini saja bersamaku."
"Kenapa? Ada apa? Apa kau khawatir aku tenggelam? Tenang saja aku ini perenang handal. Kalau tidak percaya tanya saja pada Betty."
Martin turun dan menghampiri Carol. "Karena, kalau kau berenang nanti kau jadi hitam seperti kedelai hitam malika." Martin mengelitiki Carol, membuat Carol tertawa terpingkal-pingkal. Setelah beberapa menit Carol roboh, Martin mengangkatnya ke tempat tidur. Dia masih terus mengelitiki Carol. Mereka tertawa bersama dan tertidur bersama setelah lelah tertawa. Carol tidur dipelukan Martin.
...
Jam 03.00 sore. Martin dan Carol masih tertidur. Mereka saling memeluk satu sama lain dengan busana yang masih utuh. Tidak ada hal besar yang terjadi di antara mereka. Martin tidak ingin merusak Carol sebelum menikah.
Ponsel Martin berbunyi dengan cukup keras. Sebuah pesan dari seseorang. Martin terbangun, dia melihat sejenak Carol yang masih tertidur nyenyak di sampingnya. Martin menyingkirkan tangan Carol dari dadanya. Dia mengambil ponselnya yang berada di laci sebelahnya dan membaca pesan itu.
Martin, ini aku Marrymu. Aku sekarang sedang sangat cemas. Kenapa? Karena setelah malam itu.
Apa kau ingat malam itu? Malam dimana kau dan aku berpesta bersama teman-teman. Malam itu malam yang sangat menyenangkan bagi kita berdua. Tapi, setelah malam itu aku mengalami suatu hal, sesuatu yang belum pernah aku bayangkan, dan akan menghancurkan hidupku segera bila ayahku tau. Aku ingin kau bertanggung jawab untuk itu, Martin.
Aku hamil, Martin! Aku hamil. Aku mengandung anakmu, anak kita berdua. Kau harus menikahiku segera. Aku tidak ingin anak ini lahir tanpa seorang ayah. Lupakan Carol, gadis bodoh itu. Dan kembalilah padaku, kita akan hidup bahagia bersama keluarga kecil kita. Kalau tidak, aku akan memberitahu paman tentang tindakanmu kepadaku. Kau akan dicoret dari surat warisan. Kau tidak akan mendapat harta ayahmu sedikitpun. Kembali padaku, aku mencintaimu, Martin.
Martin kaget, dia syok. Bagaimana bisa Marry hamil? Ini tidak seharusnya terjadi. Sejak awal ini salah.
"Tidak, tidak! Ini salah. Aku tidak bisa menikahi Marry, tidak bisa! Aku tidak mencintainya, aku hanya napsu sesaat pada dirinya. Aku hanya mencintai Carol dan hanya ingin menikahi dia, bukan wanita lain. Lagian bagaimana Marry bisa hamil, bukannya dia pernah bilang saat pertama kali kita berhubungan, dia mandul. Lalu bagaimana bisa sekarang dia hamil, itu mustahil. Bodohnya aku, kenapa aku harus menidurinya. Jangan-jangan dia berbohong dia mandul. Dari awal dia memang sudah mengincarku. Bukan aku, tapi dia mengincar hartaku. Sial!" Martin berdebat dengan dirinya sendiri di dalam hati, dia menyalahkan dirinya sendiri untuk kejadian itu. Kejadian yang dapat menghancurkan reputasinya dan masa depannya.
"Seharusnya aku bisa menahan diri." Martin terlihat mengacak-acak rambutnya dengan penuh perasaan frustasi, ia tidak ingin Carol menjauh darinya.
"Kenapa, Martin? Kenapa kamu terlihat cemas? Dan menahan diri dari siapa?" Carol memegang tangan Martin. Martin langsung menyembunyikan ponselnya di belakang punggung.
"Eh, Carol. Kamu sudah bangun." Martin berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Dia tidak ingin Carol tau rahasianya.
"Iya, aku sudah bangun. Sekarang cepat ceritakan masalahmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku," ucapnya dengan yakin. Dia ingin membalas kebaikan Martin selama ini.
"Tidak ada masalah." Martin mengelak. Dia tidak ingin Carol terlibat dengan hal ini.
"Lalu kenapa kamu terlihat sangat cemas?"
"Tidak ada apa-apa. In-ini, ini hanya masalah kerjaan," ucapnya meyakinkan Carol. Setelah menaruh ponselnya di saki, Martin memegang kedua tangan Carol dan menatap matanya dalam-dalam. “Carol, tolong jangan tinggalkan aku apapun yang terjadi. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku sangat mencintaimu sejak pertama kali melihatmu,” ucap Martin lagi, setelah mengatakan itu, dia langsung mengecup kening Carol dengan sangat lembut.
“Apa kamu bangkrut?”
Martin tertawa kecil mendengar pertanyaan spontan yang keluar dari mulut Carol.
“Tidak, aku masih orang kaya,” jawabnya. Sejenak pertanyaan Carol itu dapat membuatnya melupakan masalah Marry.
"Oh, ya sudah kalau begitu." Carol melepas tangannya yang dipegang Martin. Dia berjalan ke kamar mandi yang berada di lantai bawa karena vila ini hanya memiliki satu kamar mandi.
"Huft! Syukurlah dia tidak tahu." Martin mengelus dada, merasa sedikit lega.
"Aku harus menyembunyikan ini dari Carol. Dia tidak boleh tahu apapun. Kalau dia tau, dia pasti akan kecewa padaku dan meninggalkanku pergi." Martin membereskan bajunya yang berantakan. Dia keluar dari kamar Carol dan kembali ke kamarnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments