"Apa!!! Dijodohkan. Bagaimana kalian bisa membuat keputusan besar ini tanpa persetujuan dariku," protes Carolina saat mendengar dia akan dijodohkan dengan seseorang yang bahkan tidak dia kenal, melihat wajahnya pun ia belum pernah.
Kate memegang pundak Carolina. "Ini semua demi kamu, Nak. Percayalah pada ibu, dia akan membahagiakanmu. Dia baik untukmu." Wanita yang cukup cantik itu mencoba meyakinkan Carol untuk menyetujui perjodohan yang sudah diatur.
"Iya, kamu akan bahagia bersamanya," sahut Tom.
"Aku tidak mau dijodohkan!" ucap Carolina tegas. Dia bersikeras tidak mau dijodohkan, jikapun dijodohkan, Carol harap itu dengan Brian.
Mendengar ucapan Carolina, ekspresi wajah Tom berubah, dia nampak marah. Gelas berisi kopi yang sedang dia minum langsung ditaruhnya dengan sembarangan. Tom berjalan mendekati Carolina, dan sebuah tamparan pun melayang.
Plak!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi tirus Carolina, hal itu mengejutkan semua orang yang berada di ruangan. Air mata Carolina menetes, baru saja ia pulang dari sekolah dan sekarang dia sudah mendapatkan kabar buruk seperti ini. Carol bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci dirinya di dalam kamar seorang diri. Di dalam kamar Carolina terisak, tidak menyangka bahwa ayahnya sanggup menampar dia. Ini adalah tamparan pertama yang diterima Carolina sejak dia lahir. Ayah Carolina tidak pernah kasar seperti ini, dia biasanya sangat lembut dengan Carolina. Entah kenapa akhir-akhir ini dia jadi berubah sekarang. Kemarin pria yang sudah memiliki banyak uban itu memarahi Carolina hanya karena masalah sepele, yaitu masalah Carol yang lupa mematikan kompor saat sudah memasak mie.
Berjam-jam Carolina mengurung diri di kamar. Dia tidak ingin berbicara dengan siapapun, termasuk kedua orang tuanya.
"Carol sayang! Keluar dulu, Nak." Kate mengetuk-ngetuk pintu kamar Carol dengan lembut.
Tidak ada jawaban dari Carol. Kate merasa cemas, takut Carol melakukan hal yang tidak-tidak dalam kemarahannya. Kate mencoba lagi, kali ini dia mengetuknya dengan keras. Masih tidak ada jawaban dari Carol.
"Biar saya saja, Tante." Seorang laki-laki berpenampilan rapih dan menarik mengagetkan Kate.
"Eh, Nak Martin. Duduk saja, Nak. Nanti Carol akan ke sana sebentar lagi."
"Tidak apa-apa, Tante. Biar saya saja yang membujuknya." Martin meyakinkan Kate. Dia juga meminta dengan sopan wanita berusia sekitar 35 tahun itu untuk kembali ke ruang tamu dan duduk menunggu di sana.
Kate mengangguk, meninggalkan Martin di depan pintu kamar Carol sendirian.
"Carol, tolong buka pintunya," mohon Martin dengan suara yang lembut dan sopan. "Carol, aku mau bicara sama kamu sebentar saja," ucapnya lagi.
Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Carol. Martin ikut cemas sehingga dia memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Carol. Saat pintu terbuka, Martin melihat Carol tergeletak di lantai. Buru-buru Martin menghampiri tubuh Carol. Dia mengecek keadaan Carol, beruntung Carol tidak apa-apa. Dia masih hidup dan tidak ada luka sedikitpun. Dengan mudah Martin mengangkat Carol, memindahkannya ke atas ranjang. Laki-laki yang terlihat seperti sering pergi ke gym itu meletakan Carol dengan sangat hati-hati.
Ketika membuka mata, Carol kaget melihat seorang laki-laki berada sangat dekat dengannya, karena belum selesai Martin menaruh Carol, dia sudah terbangun terlebih dahulu. "Siapa kamu?!" tanya Carol. Dia mendorong tubuh Martin menjauh.
Martin berusaha menenangkan Carol yang sedang memukulinya dengan bantal yang ia ambil dari sampingnya. "Tenang, Nona manis. Tenang!"
Setelah Martin menjauh, Carol menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan dan tuduhan. "Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di kamarku? Apa kamu pencuri? Dasar pencuri! Pergi, atau kulaporkan ke polisi" Carol melempari Martin dengan segala barang yang berada di dekatnya.
“Aku memang pencuri. Aku akan segera mencuri hatimu, jadi bersiaplah” ucap Martin.
Carol melongo mendengar ucapan Martin barusan.
"Kenalkan, aku Martin, panggil saja Martin. Aku adalah jodohmu."
"APA!"
"Kenapa? tidak percaya? Percayalah Nona manis, laki-laki tampan nan keren ini memang jodohmu."
"Iyu ..., menjijikan." Carol merasa jijik dengan ucapan dan tingkah Martin yang sok keren dan sok akrab.
"Pede sekali, Anda," ujar Carol lagi.
"Sttt!" Martin mendadak menyuruh Carol diam.
"Mau apa kamu?!" Carol bertanya-tanya saat tangan Martin mendekat dan menyentuh rambutnya. Dia merasa geli begitu jari tangan Martin menyenggol telinganya. Wajah Martin mulai mendekat, sangat dekat sehingga Carol bisa merasakan hembusan nafasnya.
"Nah! begini ,'kan enak dilihat, rambut kamu lebih rapih,"ucapnya setelah selesai merapikan rambut Carol yang terlihat cukup berantakan, dia tersenyum dengan sangat manis. Rasanya sekarang seperti Carol sedang berada di sebuah anime, dimana dia merupakan tokoh utama wanita, dan Martin menjadi tokoh utama laki-laki idaman semua orang yang melihat.
"Dih! kirain mau apa," protes Carol, sejenak pikirannya memikirkan hal yang lain.
"Emang kamu pikir aku mau ngapain?"
Dengan singkat dan padat Carol menjawab. "Cium." Carol yang sering melihat adegan seperti ini ketika melihat drama korea, membuat pikirannya langsung mengarah ke sana.
Martin terdiam mendengar ucapan Carol yang di luar dugaan. "Mau dicium?" tawar Martin menggodanya. "Bibirku memang menggoda, sampai kamu minta dicium, he he," sambungnya diselingi tawa kecil.
"Ih! kagak." Carol cemberut. Dia merasa malu dan kesal pada dirinya sendiri karena sudah berpikiran macam-macam.
"Ekhm!"
Suara deheman dari seseorang menyadarkan keduanya.
"Eh, Om. Sore, Om!" sapa Martin kepada calon ayah mertuanya.
"Kalian sudah kenalan?" tanya Tom yang melihat putrinya dan calon menantunya sedang mengobrol, mereka berdua terlihat seperti sudah akrab. Sejenak Tom merasa tenang dengan perjodohan ini. Pikirnya Carol sudah setuju begitu melihat Martin secara langsung.
"Sudah, Om. Saya sangat menyukai putri Om. Dia imut, manis dan sedikit nakal. Rasanya ingin saya bawa pulang sekarang. Ha ha ha...," gurau Martin, ucapannya lagi-lagi membuat Carol melongo.
Tom hanya mengangguk dan tersenyum senang. "Baguslah. Ayo kita makan dulu, Nak." Tom mengajak putri dan calon menantunya makan bersama.
"Aku tidak mau!" tolak Carol, dia keras kepala seperti biasa.
"Ap-"
Melihat Tom yang seperti akan marah, Martin berinisiatif melerainya terlebih dahulu. "Tenang, Om. Biar saya saja yang mengatasi calon istri saya yang keras kepala ini," ucap Martin sebelum Tom menyelesaikan ucapannya.
Tom mengiyakan perkataan Martin. "Baik, Om duluan. Kamu bujuk calon istrimu yang keras kepala ini."
"Siap, Om!" Martin mengangkat tangannya seperti sedang hormat ke tiang bendera.
Pria tua berusia 46 tahun itu pergi meninggalkan Martin dan Carol bersama.
"Nah, tinggal kita berdua lagi sekarang."
"Lalu?"
"Mau makan atau tetap di sini? kalau mau tetap di sini tidak apa-apa. Aku akan menemanimu di sini." Martin naik ke atas kasur Carol dan tiduran di sebelahnya. Dia memainkan boneka milik Carol. Carol sangat suka terhadap boneka, makannya sekarang kasur dan kamar Carol penuh dengan boneka teddy bear berwarna pink dan coklat.
"Turun! sana turun!" Carol mendorong-dorong tubuh Martin. Martin
tidak bergerak sama sekali. Martin menarik Carol mendekat padanya. Pandangan mereka berdua bertemu. Tangan Carol berada di dada bidang Martin.
Beberapa menit mereka hanya terdiam. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing.
"Eh, maaf!"
Kate mengagetkan mereka berdua. Martin dan Carol terlihat malu-malu kucing.
"Ibu, ketuk pintu dulu!" protes Carol.
"Iya, maaf. Ganggu ya lagi mesra-mesraan," goda Kate.
"Apaan sih, Bu. Gk, kok. Siapa juga yang mesra-mesraan sama laki-laki asing.”
Kate hanya tersenyum mendengar putrinya berbicara seperti itu. Dia kali ini sepenuhnya tidak percaya apa yang putrinya bilang.
"Nak Martin, tadi ayahnya nelpon, suruh pulang sekarang." Kate menyampaikan informasi yang membuatnya datang ke kamar Carol.
"Baik, Tante. Terimakasih."
"Carol, aku pamit dulu, yah. Aku akan merindukanmu," sambung Martin.
"Sana pergi!" usir Carol.
“Carol jangan galak-galak sama calon suami.” Kate memperingatkan Carol dengan lembut.
“Ih apaan si, Bu.”
Martin pergi setelah pamit kepada Carol dan Kate, ia juga tidak lupa pamit kepada Tom.
…
Hari libur favorit orang-orang telah tiba. Hari ini merupakan hari minggu. Carolina Nampak sedang berdandan, hari ini dia akan pergi untuk kerja kelompok dengan laki-laki yang sudah dia sukai sejak SMP. Hal Itu membuatnya sangat bersemangat, karena biasanya Carol tidak suka kerja kelompok, dia lebih suka mengerjakan tugas seorang diri. Menurutnya kerja kelompok itu ribet dan melelahkan, lebih enak kerja sendiri. Karena menurutnya dengan kerja sendiri, ia bisa bebas berekspresi.
"Aku pakai baju yang mana yah." Carol memilih-milih baju. Dia bingung akan memakai yang mana. Baju yang dia pakai harus membuatnya tampak menawan di depan laki-laki yang dia sukai.
Carol mengeluarkan semua pakaian terbaik yang ia punya, dan menarunya di atas kasur.
Setelah melihat-lihat dan mempertimbangkan dengan sangat lama., Carol berhasilkan memutuskan pilihannya. "Yang merah bagus kayaknya. Pakai ini sajalah." Pilihan Carol jatuh pada gaun selutut berwarna merah yang ibunya berikan untuk kado ulangtahunnya ke 17 bulan lalu.
Tok! tok! tok!
Suara ketukan pintu terdengar dari arah pintu kamar Carol. Tanpa bertanya siapa yang mengetuk, Carol langsung menyuruh si pengetuk untuk masuk.
"Masuk!"
Begitu membuka pintu, Kate melihat pakaian putrinya berantakan.
"Ada apa ini?" tanya Kate.
Tidak menjawab pertanyaan Kate, Carol malah balik bertanya kepada Kate. "Bu, baju merah ini bagus gk?" tanya Carol meminta pendapat Kate tentang baju pilihannya.
"Bagus. Memang kamu mau kemana?"
"Mau kerja kelompok, Bu," jawab Carol sembari merapihkan pakaiannya.
"Oh!” ucap Kate dengan singkat. Dia menaruh Nampak yang sejak tadi ia bawa. Nampan berisi segelas jus jeruk untuk putri kesayangannya itu ia taruh di meja belajar Carol.
“ Sore nanti Martin datang. Dia mau mengajak kamu jalan."
"Ok, Bu!" jawab Carol tanpa ada bantahan sedikitpun.
Setelah mendengar jawaban Carol, Kate pergi meninggalkan kamar Carol dengan merasa tenang karena kali ini putrinya tidak membantah sama sekali.
"Datang saja, toh aku pulang sore nanti belum pulang. Biarkan si Martin itu menunggu lama. Ha ... ha ... ha ...," ucap Carol dalam hati.
Ponsel Carol berdering. Segera ia meletakan baju yang ia pegang dan membuka ponselnya. Ternyata itu berisi sebuah sms dari Brian.
Hanya dengan menerima smsnya saja Carol langsung merasa sangat bahagia. Setelah sekian lama akhirnya laki-laki terpopuler di sekolah itu menghubunginya dan menyimpan nomornya. Carol yang tidak mau membuat Brian menunggu lama, ia buru-buru berganti baju dan memakai makeup tipis. Setelah semua persiapan selesai, ia membawa tasnya dan pergi ke ruang depan. Di ruang depan sekarang hanya ada ibunya yang sedang membaca sebuah majalah.
Carol berpamitan kepada ibunya. "Bu, aku jalan dulu, yh," ucap Carol, dia memeluk dan mencium pipi ibunya lalu pergi menemui Brian yang sudah 10 menit lalu menunggunya di depan gang.
...
"Kenapa kamu lihat aku begitu? Lama banget." Brian terganggu dengan tatapan mata Carol yang tidak kunjung pergi darinya.
Carol menjawab dengan malu-malu, pipinya terlihat dengan jelas berwarna merah merona. "Kamu ganteng banget, Brian."
"Fokus, Carol. Kita sedang mengerjakan tugas sekolah," ucap Brian dengan nada membentak.
"Kamu tunggu di sini, yah. Ada yang ketinggalan. Aku mau ambil dulu sebentar," sambung Brian menyadari ada barang yang tidak dia bawa.
Carol hanya tersenyum. Dia dibutakan ketampanan Brian yang tidak ada apa-apanya dibanding Martin.
Brian pergi dengan motornya, dia tampak sangat keren. Pantas banyak cewek di sekolah mengidolakan dia. Sekarang Carol berdiri sendirian di gang yang lumayan jauh dari rumahnya. Dia menyeka keringat yang keluar dari pelipisnya karena tadi dia lari untuk sampai kemari. Brian tidak mau menjemput Carol di depan rumahnya.
2 jam berlalu, sampai sekarang belum ada tanda-tanda kedatangan Brian. Carol masih setia menunggunya di pojokan rumah orang, sesekali dia berdiri karena lelah berjongkok. Beruntung sekarang sudah sore, jadi cuaca tidak begitu terik, kalau tidak mungkin dia sudah pingsang sejak tadi. Ponsel Carol berdering. Kali ini telpon dari nomor yang tidak dikenal. Carol tidak menjawab telpon itu. Dia malah sibuk berkhayal tentang Brian. Lagi-lagi ponselnya berdering. Carol yang merasa terganggu setelah ponselnya bordering berulang kali, akhirnya dia mengangkat telpon yang entah dari siapa.
"Halo, Carol! Aku Martin."
"Apa, ada apa?" jawab Carol dengan nada yang terdengar malas.
"Kamu di mana? Aku di rumahmu sejak tadi. Cepat pulang, aku mohon."
Martin tidak bertemu Carol di jalan, karena dia mengambil jalan lain.
"Tuan Martin, maaf! tugas sekolahku belum selesai, jadi aku belum bisa pulang. Pergilah dari rumahku!" ucapnya berbohong, padahal sejak tadi ia tidak mengerjakan apa-apa. Carol mematikan telponnya sebelum Martin mengatakan sesuatu.
"Dia selalu menggangguku, menyebalkan," gerutu Carol.
"Biarkan dia menunggu. Aku membencinya,” sambungnya.
Sekarang Carol berinisiatif untuk pergi ke rumah Betty sendirian. Hal ini dilakukannya untuk menghindari Martin juga. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Martin. Sebelum menaiki taksi, Carol mengirimkan sms kepada Brian yang berisi bahwa dia akan ke rumah Betty sendirian. Tidak lupa, Carol juga menanyakan kabar Brian karena dia tidak kunjung datang. Carol merasa sangat khawatir pada Brian. Dia meminta Brian menelponnya jika Brian tidak mengalami masalah.
Setelah tiba di rumah Betty, Carol kaget karena di sana sudah ada Brian.
“Loh Brian sudah di sini? Sejak kapan?” tanya Carol. Dia bersyukur Brian tidak mengalami masalah sedikitpun, dia terlihat sehat.
“Lama banget Carol. Kita sudah nunggu selama 2 jam. Brian juga sama,” ucap Betty.
Brian hanya diam saja sambil meminum jus jeruk yang disajikan oleh pembantu Betty.
Carol tersenyum, “Ah, maafkan aku. Aku tadi ada urusan keluarga mendadak,” ucapnya berbohong. Dia seperti tidak ingin membuat Brian membencinya dengan membongkar kelakuannya tadi yang membuatnya menunggu selama 2 jam sendirian. Orang yang sedang bucin memang akan selalu memandang baik orang yang ia sukai, walau tindakannya sudah menyakitkan.
"Serius!!!" Carol kaget mendengar kabar dari Betty. Jantungnya yang sedang berdegup seakan-akan berhenti mendadak. Dia syok mendapat berita yang mengejutkan sepagi ini, saat cuaca sedang bagus-bagusnya, bahkan pelangi muncul pagi ini karena tadi gerimis sebentar.
"Apa kau serius, Bet? Tidak sedang bergurau kan?" tanya Carol memastikan.
"Iya, serius. Semua orang di sekolah ini sudah tahu, dan Brian sekarang malu, beritanya dia akan pindah sekolah segera." Gadis bertubuh gempal itu menjelaskan dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. Betty memang pemburu gosip, hampir semua gosip di sekolah ini Betty tahu. Tak ada gosip yang terlewat dari seorang Betty, jika ingin mencari gosip terbaru maka datanglah kepada Betty.
"Kok bisa laki-laki setampan dan sekeren dia suka laki-laki lagi. Aku kecewa, Bet." Tubuh Carol melemas. Dia sekarang berlutut. Carol merasa kecewa sekaligus sedih mengetahui bahwa Brian yang selama ini ia sukai adalah seorang gay. Padahal dia sudah tergila-gila pada Brian. Pantas saja Brian tidak memiliki pacar selama ini, dan Brian tidak memperdulikan perhatian yang Carol beri, ternyata dia tidak suka wanita.
Betty menenangkan Carol yang sudah seperti kerupuk yang terkena angin. "Sudah, sudah jangan sedih. Kamu pasti bisa menemukan laki-laki lain. Lupakan Brian, kamu bukan seleranya. Dia lebih suka batang. Daripada Brian lebih baik kamu mengejar Liam. Dia pintar, baik, tidak kalah tampak dan keren dengan Brian. Dia juga sangat sopan dan perhatian." Betty menyarankan sahabatnya ini untuk mulai mengejar anak kelas lain yang juga merupakan salah satu idola para gadis dan ibu-ibu.
Carol menggeleng, menolak saran dari Betty. “Aku tidak tertarik pada Liam. Walau tampan, tapi wajahnya membosankan. Selerahku seperti wajah Brian.”
“Susah kalau sedang bucin. Kotoran pun terasa seperti coklat.” Betty menyayangkan sikap sahabatnya, dia sangat keras kepala.
"Aku juga tidak menyangka saat melihatnya sendiri dengan kedua mataku yang tajam ini," sambung Betty.
"Memang apa yang kamu lihat?"
"Aku melihat Brian sedang bercumbu dengan seorang laki-laki di dekat kosan. Iyu ..., itu sangat menjijikan." Ekspresi Betty
menunjukkan rasa jijik saat menceritakan kejadian sore lalu yang ia lihat.
"Sudahlah, Lupakan dia, ok!"
"Akanku coba, Bet. Tapi itu sulit, terlebih Brian sering mampir di mimpiku, huaaa " ucap Carol lemas, dia sedikit menangis. Entahlah dia bisa atau tidak melupakan seorang Brian yang sangat ia sukai. Rasanya sulit melupakan orang yang kau sukai sejak lama.
"Baiklah, selamat mencoba. Aku pulang duluan." Betty menepuk-nepuk puncak kepala sahabatnya, setelah itu ia mengambil tas biru kecilnya. Tas yang sebenarnya tidak cocok dengan ukuran tubuh Betty, padahal Carol sudah menyarankan untuk mengganti tasnya karena sudah kekecilan, namun Betty tidak memperdulikan saran Carol. Di dalam kelas yang sepi, Betty meninggalkan Carol sendiri yang masih dalam posisi berlutut di depan papan tulis.
...
Di jalan Carol terus bergumam, melampiaskan kekesalannya terhadap Brian dengan menendangi batu krikil yang ia lewati. Sesekali batu yang ia tending mengenai pejalan kaki yang membuatnya dimarahi, tapi dia tetap melakukannya lagi.
Gadis berambut hitam lebat itu mengerang kesakitan saat kakinya yang ia gunakan menendangi batu tersandung batu besar.
"Uh, sial!" umpat Carol.
Orang-orang yang berjalan melewati Carol hanya melihat sekilas dan berlalu tanpa menolong. Suasana jalanan siang ini sangat ramai orang berlalu lalang, namun tidak ada seorangpun yang berbaik hati menolong, mereka disibukkan dengan kesibukannya masing-masing.
"Hei! Tidak adakah yang berbaik hati menolongku, bisakah hari ini menjadi lebih buruk lagi? Rasanya aku ingin mati dengan menenggelamkan diriku ke laut," protes Carol.
"Duh, sepertinya kakiku keseleo." Carol memegangi kakinya, dia berusaha tetap berdiri.
Seorang laki-laki menyodorkan tangannya kepada Carol yang terlihat seperti sedang kesulitan. "Mau aku bantu?" Laki-laki itu tersenyum pada Carol begitu Carol melihat wajahnya.
"Martin!" ucap Carol kaget, karena yang menolongnya adalah calon suaminya sendiri.
"Iya, Martin." Martin tersenyum, dengan balutan kemeja dan jas hitam yang ia pakai, Martin terlihat sangat tampan dan menawan.
Gadis-gadis di sekitar jalan memandanginya tanpa berkedip. Beberapa gadis bahkan sampai menabrak pejalan kaki lain. Martin memang tampan dan menawan, apalagi ditambah lesung pipi saat dia tersenyum, membuat Martin terlihat sangat manis, wajar banyak gadis mengejarnya. Tapi dia hanya tertarik dengan satu gadis, dan itu Carol. Sejak melihat Carol di pasar malam minggu lalu, Martin selalu memikirkannya. Seperti sudah takdir, ternyata ayah mereka berdua berteman, dan ternyata juga ayah Carol tidak bisa melunasi hutangnya kepada ayah Martin. Martin yang mengetahui hal itu tidak lupa untuk mengambil kesempatan akan kejadian tersebut. Segera Martin meminta ayahnya untuk menjodohkan dirinya dengan putri temannya, karena Martin tidak ingin kehilangan Carol.
"Mau apa kamu di sini? apa kamu mengikuti aku?" selidik Carol, dia curiga Martin telah mengikutinya sejak tadi.
"Sudah jangan banyak bicara, mari aku bantu." Martin membopong tubuh Carol, membawanya ke dalam mobil merah miliknya.
Dengan perlahan Martin menaruh Carol di tempat duduk. Setelah menaruh Carol, Martin bergegas masuk ke dalam mobilnya dan mulai menghidupkan mesin.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Yang mana?" tanya Martin yang masih fokus menatap jalanan.
"Kamu mengikutiku?"
Martin menjawab dengan singkat. "Tidak, hanya kebetulan saja. Mungkin kita benar-benar jodoh." Dia memegang tangan Carol dengan mata yang terus fokus menatap jalan.
"Kemana supirmu, Nona manis?"
"Supirku sudah dipecat. Aku jadi harus berjalan kaki, malangnya hidupku."
"Kasian sekali. Lain kali biar aku yang menjemputmu," ucap Martin dengan percaya diri.
"Tidak perlu," tolak Carol, lembut. Lebih tepatnya dia sedang malas bicara.
"Tidak peduli. Aku akan tetap menjemputmu, kau tanggungjawabku. Aku akan jadi suamimu segera," ucap Martin memaksa, terdengar sedikit keras kepala seperti Carol.
Carol pasrah karena sedang tidak ingin berdebat. Dia masih kecewa dengan kabar Brian.
Melihat jalanan yang biasa dia lalui, Martin menawarkan sesuatu kepada Carol. "Kamu mau mampir dulu ke kafe?" Martin tahu kafe terdekat yang menyajikan minuman enak, dan Carol pasti suka karena menurut info dari ayah Carol, Carol sering mampir ke kafe tersebut.
Carol asik memainkan rambutnya sendiri. "Teraktir?!"
Martin berfikir sejenak. "Baiklah, tapi lain kali kamu harus membayar," jawab Martin dengan senyuman nakal.
Carol mengabaikan Martin, dia masih asik memainkan rambutnya, sesekali ia mengecek ponselnya. Martin sedikit menghela nafas dengan kelakuan calon istrinya yang seperti sangat ogah berada di dekatnya.
Martin menepikan mobil miliknya. Dia membukakan pintu mobil untuk Carol dan mengajaknya masuk ke dalam kafe.
"Aw!" Carol tidak sengaja menabrak seseorang saat sedang berjalan dengan dibantu Martin.
Martin panik mendengar Carol seperti sedang kesakitan. "Kamu tidak apa-apa, sayang?"
"iya aku baik-baik saja, Martin. Berhentilah memanggilku dengan sebutan sayang,"protes Carol yang setiap saat dipanggil sayang oleh Martin. Dia agak jijik mendengar kata sayang yang keluar dari mulut Martin.
"Carol!"
"Brian!" Carol membeku melihat cowok di depannya yang tadi ia tabrak.
Beralih dari Carol, sekarang pandangan Brian tertuju pada Martin. Sepertinya Brian menyukai Martin, matanya berbinar-binar memandang Martin.
Melihat cara Brian memandang Martin, Carol protes dengan nada kesal. "Apa yang kau lihat!"
Brian gugup, baru kali ini Carol melihat Brian gugup. "E-em ..., tidak ada."
"Siapa laki-laki di sampingmu, Carol?" tanya Brian penasaran dengan laki-laki tampan yang sedang membantu Carol.
Brian merapikan rambutnya, Carol terdiam melihat Brian merapikan rambutnya, karena jujur itu terlihat sangat keren. Dengan bentuk wajah, rambut dan kulit putih bersih, Brian terlihat tampan. Namun sayang dia aneh, menyukai yang berbatang, padahal dia bisa mendapatkan cewek cantik manapun yang dia mau. Memikirkan perkataan Betty, Carol bergidik ngeri.
"Dia pacarku! Jangan berfikir macam-macam tentang dia," ancam Carol, matanya menatap tajam Brian. Baru kali ini Carol bersikap seperti itu pada Brian, biasanya dia sangat lemah lembut pada Brian. Mengabaikan rasa sakit di kakinya, Carol menarik lengan Martin, membawanya menjauh dari terkaman Brian.
Setelah menjauh dari Brian, di pojok kafe Carol berbicara dengan Martin, dia tampak serius.
"Jauhi Brian, jangan dekat-dekat dengan dia!" Carol memperingatkan Martin. Dia takut terjadi sesuatu kepada Martin. Dia tidak ingin Martin belok seperti Brian.
"Kenapa? Sepertinya dia orang baik?"
Carol memperhatikan sekitar sebelum berbicara. "Tolong jauhi dia, aku mohon!" ucapnya sedikit berbisik.
"Tidak, aku tidak akan menjauhi dia karena aku tidak tahu apa salah dia. Tidak baik menjauhi orang yang bahkan kita tidak tahu salahnya apa, tidak adil."
Carol dan Martin terlibat percekcokan yang sebenarnya tidak penting selama beberapa menit. Martin juga sebenarnya tanpa diminta Carol seperti itu, dia akan menjauhi Brian dengan sendirinya, karena Martin melihat sesuatu kurang beres dari Brian. Martin hanya ingin berbincang lama dengan Carol, karena Carol selama ini irit bicara.
"Dia gay, aku tidak ingin kehilangan kamu." Buru-buru Carol menutup mulutnya, entah kenapa dia mengatakan hal itu.
"Kenapa? Kenapa kau takut kehilanganku?" tanya Martin dengan nada menggoda.
Carol gugup. "E-em ..., kar-karena. Karena dia gay."
Martin tertawa melihat tingkah Carol yang gugup dan canggung.
"Kenapa kau tertawa?!" protes Carol, dia jengkel melihat Martin menertawakanya.
"Aku tidak suka ditertawakan," sambungnya.
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tertawa." Martin meraih pundak Carol dan merangkulnya. Dia ingin merangkul pinggang Carol, tapi Carol terlalu mungil dari dia, jadi dia merangkul pundaknya saja.
Begitu dirangkul, tidak beberapa lama Carol langsung menangkis tangan Martin dari pundaknya. Martin tidak menyerah, dia melakukan hal itu berulang kali sampai akhirnya Carol protes kepada Martin.
...
Kate datang membawa beberapa setel baju dan menaruhnya di atas kasur Carol. Ia membuka gorden jendela kamar Carol, membiarkan angin dan cahaya mentari masuk memenuhi isi kamar. Setelah itu dia membangunkan Carol yang sedang tertidur di atas meja belajarnya.
Kate menggoyang-goyang tubuh Carol. "Nak, bangun!"
Carol bergumam dalam tidurnya. "Martin, jangan pergi, tetap di sini, aku suka kamu." Dia bergumam sambil memegangi tangan ibunya, Kate. Carol menciumi tangan ibunya karena mengira itu Martin.
"AW, sakit!" gadis dengan piyama itu menjerit kesakitan saat telinganya dijewer keras oleh Kate.
"Nah, sadar juga!"
Carol protes dengan tindakan ibunya. "Ibu kenapa menjewer telingaku?! Sakit tahu!" protesnya sambil memegangi telinganya yang sudah memerah.
"Tidak perlu bermimpi. Martin sudah ada di sini. Cepat sana mandi dan ganti baju, temui dia sekarang," perintah Kate.
Melihat pakaian Kate yang tidak seperti biasanya, Carol bertanya penasaran. "Ibu, ada apa ini, kenapa ibu memakai pakaian bagus? Mau kondangan kemana? Kok aku tidak diajak, curang ah!" protesnya.
Kate menarik tangan Carol dengan lembut dan menyuruhnya masuk ke kamar mandi. "Sudah mandi dulu, nanti kau tahu." Dia mendorong-dorong putrinya ke kamar mandi karena putrinya itu menolak untuk mandi. Carol sedang malas mandi sekarang setelah dibuat patah hati oleh Brian.
Carol berjalan bak seorang model menuju ruang tamu. Begitu sampai di sana, semua pasang mata tertuju pada Carol. Dengan balutan baju berwarna biru yang dia pakai, Carol terlihat seksi dan menawan sehingga pandangan Martin hanya fokus pada dia. Martin sama sekali tidak berkedip sampai Carol yang sekarang sudah duduk di sampingnya mencubit dirinya.
Begitu Carol duduk. Tom, ayah Carol langsung berdiri dan berbicara dengan suara lantang agar semua orang di ruangan itu dapat mendengar yang ia ucapkan.
"Jadi hari ini kita akan menetapkan perjodohan Martin dengan Carol. Dua bulan setelah hari ini mereka akan bertunangan, dan mereka akan melangsungkan pernikahan setelah Carol lulus sekolah. Setelah pernikahan, Martin bebas membawa Carol kemanapun. Tapi dia tidak boleh menyakiti Carol." Tanpa basa-basi Tom menjelaskan maksud dan tujuan pertemuan ini diadakan, hadirin mendengarkannya dengan seksama.
Tom melirik pada Martin yang terlihat masih mengagumi keindahan ciptaan Tuhan. "Bagaimana, Nak? Apa kamu setuju pernikahan kalian diadakan setelah Carol lulus?"
Martin mengangguk, dia menyarankan sedikit saran kepada Tom. “Kalau bisa sih secepatnya,” ucapnya karena tidak sabar menikahi Carol yang terlihat sangat cantik.
Tom dan orang tua Martin tertawa mendengar ucapan Martin yang terdengar sangat tidak sabar untuk menikahi Carol.
Carol menyela. "Keberatan!" ucap Carol seperti sedang dalam sebuah sidang, tangannya mengacung dengan tegak. Semua orang yang berada di ruang tamu itu menatap Carol, apalagi Marry, dia menatap Carol dengan pandangan yang sinis.
Marry adalah saudara jauh Martin, dia baru kembali dari luar negri beberapa hari yang lalu. Sejak diumumkan perjodohan antara Carol dan Martin, Marry langsung tidak menyukai Carol. Entah apa yang merasuki gadis berambut pirang itu, dia nampak sangat membenci Carol, padahal Carol tidak salah apa-apa pada dia.
"Keberatan ditolak!" Ayah Carol langsung menolak keberatan putrinya tanpa mendengarkan apa yang Carol ingin sampaikan terlebih dahulu. Dia tahu Carol akan menolak dan berusaha membatalkan perjodohan ini. Tapi ini terpaksa, kalau perjodohan ini tidak terlaksana maka dia dan keluarganya akan menjadi gelandangan. Tom berhutang pada ayah Martin, dia tidak akan mengingkari janji yang telah dia buat.
"Ini tidak adil, ayah menanyai Martin, tapi tidak denganku." Carol protes, dia merasa tidak diberi keadilan berpendapat.
Ibu Carol menyela, dia mengatakan yang tadi ia dengar saat ia membangunkan Carol yang sedang tidur. Ucapan ibu Carol sukses membuat anaknya menjadi malu di hadapan semua orang, termasuk Martin.
Martin menarik Carol agar duduk kembali. Dia mendekat kepada Carol dan berbisik. "Tenang, Nona manis. Aku yang akan memberimu keadilan. Tolong seperti itu selalu, mimpikan aku dan sebut namaku."
"Diam kau!!!" bentak Carol.
Tom menarik dan menampar pipi Carol. Dia terlihat sangat marah, wajahnya memerah.
"Beraninya kamu membentak calon suamimu! Harusnya aku tidak memanjakanmu sejak dulu!"
Mendengar nada bicara Tom, Carol bergidik ngeri dan menangis. Martin menarik Carol mendekat pada dirinya. Dia membiarkan Carol menangis dalam dekapannya.
Carol tidak sadar memeluk Martin, dia sekarang sangat dekat dengan Martin sehingga dia dapat mencium aroma parfum yang Martin pakai. Aromanya sangat harum dan menenangkan, cocok dengan karakter Martin yang tahu kapan dia harus bersikap dewasa.
Martin mencoba menenangkan Carol dan Tom tanpa melepas pelukan Carol. "Tenang, Om. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Martin tidak masalah Carol bersikap seperti itu. Itu menjadi keunikan tersendiri, Martin menyukainya karena itu. Martin akan mendidik Carol setelah kami menikah. Carol juga masih sangat muda, wajar emosinya terkadang tidak stabil dan kurang ajar."
Marry yang melihat Carol dalam pelukan Martin, dia terlihat sangat marah. Wajahnya menunjukan ekspresi tidak suka, lebih tepatnya cemburu. Tidak seharusnya Marry menunjukkan kecemburuannya. Dia dan Martin saudara, saudara tidak seharusnya mencintai. Tapi apakah benar Marry cemburu? Atau dia hanya tidak suka terhadap Carol.
Tom tersentuh mendengar dan menyaksikan sikap Martin. Dia sangat bersyukur mendapatkan calon menantu seperti Martin yang sangat sopan dan baik. Hanya saja Tom malu terhadap perbuatan putrinya yang sangat kurang ajar padahal Martin sudah sangat baik. Meski baru berusia 20 tahun, Martin sudah bisa bersikap sangat dewasa, berbeda dengan putrinya yang masih kekanak-kanakan.
...
"Cal, Carol!" Betty menggoyang-goyang tubuh Carol yang sedang tertidur pulas di kelasnya. Dia kelelahan setelah praktek lari tadi. Carol sempat pingsan saat sedang lari. Dia dibawa ke UKS oleh teman-temannya. Carol sangat membenci pelajaran olahraga, karena menurut dia pelajaran olahraga sangat melelahkan. Tapi dia menyukai guru pelajaran olahraga, karena guru pelajaran olahraganya sangat baik, begitupun saat ujian kelas. Tidak heran banyak murid yang menyukai guru olahraga.
"Em ..., Apasih, Bet?!" jawab Carol setengah sadar. Kepalanya masih terasa sedikit pusing.
Wajah Betty menunjukkan dia sedang memikirkan sesuatu yang serius. "Apa benar kamu akan menikah?"
"AH!" Mendengar pertanyaan Betty, Carol langsung terbangun dengan kaget. Dia bingung bagaimana Betty bisa mengetahui tentang perjodohannya padahal dia sudah merahasiakannya dari siapapun.
"Beneran kamu mau menikah?" Betty mengulangi pertanyaannya. Entah mengapa dia terlihat begitu antusias.
Carol mengangguk kecil.
"Wah, kok bisa?! Kebobolan kah?" tanya Betty dengan pertanyaan yang sangat membagongkan.
“Mulutmu!” Carol mencomot mulut Betty yang suka berbicara ceplas-ceplos. Betty protes dengan tingkah Carol yang seenaknya mencomot bibir seksinya.
"Em ..., Bet! Kamu tahu berita ini darimana?"
"Dari temen mamaku, dia tetangga kamu. Dia mendengar saat kalian sedang berdebat tentang pernikahan. Dia juga tahu kamu ditampar ayahmu. Wah berita hebat nih, seorang Carolina ditampar ayahnya," jelas Betty.
Carol memegang tangan Betty, memohon pada Betty. "Tolong jangan bilang-bilang yang lain ya, please! Aku bisa malu."
Betty berfikir sejenak. "Baiklah baiklah, karena kamu teman dekatku, akan akan menjaga berita ini. Aku janji!" Betty menaruh tangannya di dada, tanda keseriusan janjinya. Sebenarnya berat bagi Betty untuk tetap diam menutup mulutnya sementara ada gosip terbaru. Namun demi teman dekatnya, dia akan mencoba untuk tetap diam.
Beruntung anak-anak lain juga sedang berganti baju setelah pelajaran olahraga dan ada yang ke kantin. Jadi mereka semua tidak mengetahui Betty yang sedang membicarakan tentang pernikahan Carol.
Bel masuk berbunyi tanda Jam istirahat berakhir, semua murid masuk ke kelas masing-masing. Bu Nining candrawati terlihat sedang berjalan dengan seorang anak laki-laki, sepertinya dia pindahan karena seragam yang dia pakai terlihat sangat berbeda dari seragam sekolah ini.
Bu Nining dan anak itu masuk ke dalam kelas Carol. Semua siswi yang ada di kelas Carol langsung heboh setelah melihat anak itu. Mereka terpesona dengan tampang anak baru itu. Wajahnya seperti tersimpan banyak misteri, dia pucat tapi tampan, rahangnya juga terlihat tegas. Dengan postur tubuh sedang dan badan tegap, membuat dia terlihat sempurna seperti layaknya tokoh dalam anime. Ia memperkenalkan dirinya sendiri sebagai Joseph Adriano. Yaitu seorang murid pindahan dari sekolah yang terletak entah dimana, karena nama sekolah itu sangat asing di telinga siapapun. Dia menatap Carol selama memperkenalkan dirinya. Dia seperti mengincar Carol. Matanya yang berwarna coklat kemerahan itu enggan berpaling dari Carol. Carol yang menyadari hal tersebut merasa sedikit terganggu oleh tindakan Joseph.
Bu Nining mempersilahkan Joseph duduk di bangku kosong, dan sayangnya bangku yang kosong hanya bangku di samping Carol karena Carol duduk di kursi paling depan. Sementara sahabat Carol sendiri, yaitu Betty. Dia berada di bangku belakang Carol karena dia tidak mau duduk di paling depan dengan alasan agar tidak dipanggil guru duluan. Semenjak Joseph berdiri hingga sekarang duduk di samping Carol, ia terus memandangi Carol dengan tatapan yang mencurigakan, penuh tanda tanya bagi Carol.
Betty yang duduk di belakang Joseph memanggil-manggil namanya sambil berbisik. Joseph sama sekali tidak menanggapi panggilan Betty, dia terus menatap Carol. Dia mengabaikan Betty dan anak-anak lain yang sepertinya sedang berusaha mencari perhatiannya. Carol yang tidak cari perhatian atau caper, malah di pandangi Joseph sejak tadi. Entah apa yang Joseph pandang dari dirinya. Padahal ratu kecantikan sekolah sejak tadi berusaha mendapat perhatiannya. Tidak ada yang akan menolak ratu kecantikan itu, selain Brian tentunya. Berbondong-bondong cowok berusaha agar dapat berkencan dengan ratu kecantikan pemegang rekor tiga kali itu, tak ada yang bisa mengalahkannya dalam kontes kecantikan.
Bu Nining pamit undur diri setelah mengantarkan dan memperkenalkan Joseph, karena memang hari ini bukan jadwal pelajarannya. Ia hanya mengantarkan murid pindahan itu.
“Kenapa sih? Ada masalah apa? Ada yang aneh?” tanya Carol yang risih sejak tadi dipandangi oleh Joseph.
Joseph mengabaikannya, dia memalingkan wajahnya setelah menyadari Carol sudah mulai terganggu.
“Dih aneh, ditanya malah buang muka.”
Semua murid mendadak diam saat guru yang terbilang killer memasuki ruangan. Guru mata pelajaran matematika itu seperti biasa, dia memasuki ruangan dengan membawa sebuah buku dan penggaris yang cukup panjang dan besar. Carol bergidik ngeri, apalagi baru minggu lalu dia terkena marah oleh guru ini karena lupa mengerjakan pekerjaan rumah. Dia diberikan peringatan oleh gurunya itu agar tidak lalai mengerjakan tugas-tugasnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!