2. Kenyataan pahit

"Serius!!!" Carol kaget mendengar kabar dari Betty. Jantungnya yang sedang berdegup seakan-akan berhenti mendadak. Dia syok mendapat berita yang mengejutkan sepagi ini, saat cuaca sedang bagus-bagusnya, bahkan pelangi muncul pagi ini karena tadi gerimis sebentar.

"Apa kau serius, Bet? Tidak sedang bergurau kan?" tanya Carol memastikan.

"Iya, serius. Semua orang di sekolah ini sudah tahu, dan Brian sekarang malu, beritanya dia akan pindah sekolah segera." Gadis bertubuh gempal itu menjelaskan dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. Betty memang pemburu gosip, hampir semua gosip di sekolah ini Betty tahu. Tak ada gosip yang terlewat dari seorang Betty, jika ingin mencari gosip terbaru maka datanglah kepada Betty.

"Kok bisa laki-laki setampan dan sekeren dia suka laki-laki lagi. Aku kecewa, Bet." Tubuh Carol melemas. Dia sekarang berlutut. Carol merasa kecewa sekaligus sedih mengetahui bahwa Brian yang selama ini ia sukai adalah seorang gay. Padahal dia sudah tergila-gila pada Brian. Pantas saja Brian tidak memiliki pacar selama ini, dan Brian tidak memperdulikan perhatian yang Carol beri, ternyata dia tidak suka wanita.

Betty menenangkan Carol yang sudah seperti kerupuk yang terkena angin. "Sudah, sudah jangan sedih. Kamu pasti bisa menemukan laki-laki lain. Lupakan Brian, kamu bukan seleranya. Dia lebih suka batang. Daripada Brian lebih baik kamu mengejar Liam. Dia pintar, baik, tidak kalah tampak dan keren dengan Brian. Dia juga sangat sopan dan perhatian." Betty menyarankan sahabatnya ini untuk mulai mengejar anak kelas lain yang juga merupakan salah satu idola para gadis dan ibu-ibu.

Carol menggeleng, menolak saran dari Betty. “Aku tidak tertarik pada Liam. Walau tampan, tapi wajahnya membosankan. Selerahku seperti wajah Brian.”

“Susah kalau sedang bucin. Kotoran pun terasa seperti coklat.” Betty menyayangkan sikap sahabatnya, dia sangat keras kepala.

"Aku juga tidak menyangka saat melihatnya sendiri dengan kedua mataku yang tajam ini," sambung Betty.

"Memang apa yang kamu lihat?"

"Aku melihat Brian sedang bercumbu dengan seorang laki-laki di dekat kosan. Iyu ..., itu sangat menjijikan." Ekspresi Betty

menunjukkan rasa jijik saat menceritakan kejadian sore lalu yang ia lihat.

"Sudahlah, Lupakan dia, ok!"

"Akanku coba, Bet. Tapi itu sulit, terlebih Brian sering mampir di mimpiku, huaaa " ucap Carol lemas, dia sedikit menangis. Entahlah dia bisa atau tidak melupakan seorang Brian yang sangat ia sukai. Rasanya sulit melupakan orang yang kau sukai sejak lama.

"Baiklah, selamat mencoba. Aku pulang duluan." Betty menepuk-nepuk puncak kepala sahabatnya, setelah itu ia mengambil tas biru kecilnya. Tas yang sebenarnya tidak cocok dengan ukuran tubuh Betty, padahal Carol sudah menyarankan untuk mengganti tasnya karena sudah kekecilan, namun Betty tidak memperdulikan saran Carol. Di dalam kelas yang sepi, Betty meninggalkan Carol sendiri yang masih dalam posisi berlutut di depan papan tulis.

...

Di jalan Carol terus bergumam, melampiaskan kekesalannya terhadap Brian dengan menendangi batu krikil yang ia lewati. Sesekali batu yang ia tending mengenai pejalan kaki yang membuatnya dimarahi, tapi dia tetap melakukannya lagi.

Gadis berambut hitam lebat itu mengerang kesakitan saat kakinya yang ia gunakan menendangi batu tersandung batu besar.

"Uh, sial!" umpat Carol.

Orang-orang yang berjalan melewati Carol hanya melihat sekilas dan berlalu tanpa menolong. Suasana jalanan siang ini sangat ramai orang berlalu lalang, namun tidak ada seorangpun yang berbaik hati menolong, mereka disibukkan dengan kesibukannya masing-masing.

"Hei! Tidak adakah yang berbaik hati menolongku, bisakah hari ini menjadi lebih buruk lagi? Rasanya aku ingin mati dengan menenggelamkan diriku ke laut," protes Carol.

"Duh, sepertinya kakiku keseleo." Carol memegangi kakinya, dia berusaha tetap berdiri.

Seorang laki-laki menyodorkan tangannya kepada Carol yang terlihat seperti sedang kesulitan. "Mau aku bantu?" Laki-laki itu tersenyum pada Carol begitu Carol melihat wajahnya.

"Martin!" ucap Carol kaget, karena yang menolongnya adalah calon suaminya sendiri.

"Iya, Martin." Martin tersenyum, dengan balutan kemeja dan jas hitam yang ia pakai, Martin terlihat sangat tampan dan menawan.

Gadis-gadis di sekitar jalan memandanginya tanpa berkedip. Beberapa gadis bahkan sampai menabrak pejalan kaki lain. Martin memang tampan dan menawan, apalagi ditambah lesung pipi saat dia tersenyum, membuat Martin terlihat sangat manis, wajar banyak gadis mengejarnya. Tapi dia hanya tertarik dengan satu gadis, dan itu Carol. Sejak melihat Carol di pasar malam minggu lalu, Martin selalu memikirkannya. Seperti sudah takdir, ternyata ayah mereka berdua berteman, dan ternyata juga ayah Carol tidak bisa melunasi hutangnya kepada ayah Martin. Martin yang mengetahui hal itu tidak lupa untuk mengambil kesempatan akan kejadian tersebut. Segera Martin meminta ayahnya untuk menjodohkan dirinya dengan putri temannya, karena Martin tidak ingin kehilangan Carol.

"Mau apa kamu di sini? apa kamu mengikuti aku?" selidik Carol, dia curiga Martin telah mengikutinya sejak tadi.

"Sudah jangan banyak bicara, mari aku bantu." Martin membopong tubuh Carol, membawanya ke dalam mobil merah miliknya.

Dengan perlahan Martin menaruh Carol di tempat duduk. Setelah menaruh Carol, Martin bergegas masuk ke dalam mobilnya dan mulai menghidupkan mesin.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Yang mana?" tanya Martin yang masih fokus menatap jalanan.

"Kamu mengikutiku?"

Martin menjawab dengan singkat. "Tidak, hanya kebetulan saja. Mungkin kita benar-benar jodoh." Dia memegang tangan Carol dengan mata yang terus fokus menatap jalan.

"Kemana supirmu, Nona manis?"

"Supirku sudah dipecat. Aku jadi harus berjalan kaki, malangnya hidupku."

"Kasian sekali. Lain kali biar aku yang menjemputmu," ucap Martin dengan percaya diri.

"Tidak perlu," tolak Carol, lembut. Lebih tepatnya dia sedang malas bicara.

"Tidak peduli. Aku akan tetap menjemputmu, kau tanggungjawabku. Aku akan jadi suamimu segera," ucap Martin memaksa, terdengar sedikit keras kepala seperti Carol.

Carol pasrah karena sedang tidak ingin berdebat. Dia masih kecewa dengan kabar Brian.

Melihat jalanan yang biasa dia lalui, Martin menawarkan sesuatu kepada Carol. "Kamu mau mampir dulu ke kafe?" Martin tahu kafe terdekat yang menyajikan minuman enak, dan Carol pasti suka karena menurut info dari ayah Carol, Carol sering mampir ke kafe tersebut.

Carol asik memainkan rambutnya sendiri. "Teraktir?!"

Martin berfikir sejenak. "Baiklah, tapi lain kali kamu harus membayar," jawab Martin dengan senyuman nakal.

Carol mengabaikan Martin, dia masih asik memainkan rambutnya, sesekali ia mengecek ponselnya. Martin sedikit menghela nafas dengan kelakuan calon istrinya yang seperti sangat ogah berada di dekatnya.

Martin menepikan mobil miliknya. Dia membukakan pintu mobil untuk Carol dan mengajaknya masuk ke dalam kafe.

"Aw!" Carol tidak sengaja menabrak seseorang saat sedang berjalan dengan dibantu Martin.

Martin panik mendengar Carol seperti sedang kesakitan. "Kamu tidak apa-apa, sayang?"

"iya aku baik-baik saja, Martin. Berhentilah memanggilku dengan sebutan sayang,"protes Carol yang setiap saat dipanggil sayang oleh Martin. Dia agak jijik mendengar kata sayang yang keluar dari mulut Martin.

"Carol!"

"Brian!" Carol membeku melihat cowok di depannya yang tadi ia tabrak.

Beralih dari Carol, sekarang pandangan Brian tertuju pada Martin. Sepertinya Brian menyukai Martin, matanya berbinar-binar memandang Martin.

Melihat cara Brian memandang Martin, Carol protes dengan nada kesal. "Apa yang kau lihat!"

Brian gugup, baru kali ini Carol melihat Brian gugup. "E-em ..., tidak ada."

"Siapa laki-laki di sampingmu, Carol?" tanya Brian penasaran dengan laki-laki tampan yang sedang membantu Carol.

Brian merapikan rambutnya, Carol terdiam melihat Brian merapikan rambutnya, karena jujur itu terlihat sangat keren. Dengan bentuk wajah, rambut dan kulit putih bersih, Brian terlihat tampan. Namun sayang dia aneh, menyukai yang berbatang, padahal dia bisa mendapatkan cewek cantik manapun yang dia mau. Memikirkan perkataan Betty, Carol bergidik ngeri.

"Dia pacarku! Jangan berfikir macam-macam tentang dia," ancam Carol, matanya menatap tajam Brian. Baru kali ini Carol bersikap seperti itu pada Brian, biasanya dia sangat lemah lembut pada Brian. Mengabaikan rasa sakit di kakinya, Carol menarik lengan Martin, membawanya menjauh dari terkaman Brian.

Setelah menjauh dari Brian, di pojok kafe Carol berbicara dengan Martin, dia tampak serius.

"Jauhi Brian, jangan dekat-dekat dengan dia!" Carol memperingatkan Martin. Dia takut terjadi sesuatu kepada Martin. Dia tidak ingin Martin belok seperti Brian.

"Kenapa? Sepertinya dia orang baik?"

Carol memperhatikan sekitar sebelum berbicara. "Tolong jauhi dia, aku mohon!" ucapnya sedikit berbisik.

"Tidak, aku tidak akan menjauhi dia karena aku tidak tahu apa salah dia. Tidak baik menjauhi orang yang bahkan kita tidak tahu salahnya apa, tidak adil."

Carol dan Martin terlibat percekcokan yang sebenarnya tidak penting selama beberapa menit. Martin juga sebenarnya tanpa diminta Carol seperti itu, dia akan menjauhi Brian dengan sendirinya, karena Martin melihat sesuatu kurang beres dari Brian. Martin hanya ingin berbincang lama dengan Carol, karena Carol selama ini irit bicara.

"Dia gay, aku tidak ingin kehilangan kamu." Buru-buru Carol menutup mulutnya, entah kenapa dia mengatakan hal itu.

"Kenapa? Kenapa kau takut kehilanganku?" tanya Martin dengan nada menggoda.

Carol gugup. "E-em ..., kar-karena. Karena dia gay."

Martin tertawa melihat tingkah Carol yang gugup dan canggung.

"Kenapa kau tertawa?!" protes Carol, dia jengkel melihat Martin menertawakanya.

"Aku tidak suka ditertawakan," sambungnya.

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tertawa." Martin meraih pundak Carol dan merangkulnya. Dia ingin merangkul pinggang Carol, tapi Carol terlalu mungil dari dia, jadi dia merangkul pundaknya saja.

Begitu dirangkul, tidak beberapa lama Carol langsung menangkis tangan Martin dari pundaknya. Martin tidak menyerah, dia melakukan hal itu berulang kali sampai akhirnya Carol protes kepada Martin.

...

Kate datang membawa beberapa setel baju dan menaruhnya di atas kasur Carol. Ia membuka gorden jendela kamar Carol, membiarkan angin dan cahaya mentari masuk memenuhi isi kamar. Setelah itu dia membangunkan Carol yang sedang tertidur di atas meja belajarnya.

Kate menggoyang-goyang tubuh Carol. "Nak, bangun!"

Carol bergumam dalam tidurnya. "Martin, jangan pergi, tetap di sini, aku suka kamu." Dia bergumam sambil memegangi tangan ibunya, Kate. Carol menciumi tangan ibunya karena mengira itu Martin.

"AW, sakit!" gadis dengan piyama itu menjerit kesakitan saat telinganya dijewer keras oleh Kate.

"Nah, sadar juga!"

Carol protes dengan tindakan ibunya. "Ibu kenapa menjewer telingaku?! Sakit tahu!" protesnya sambil memegangi telinganya yang sudah memerah.

"Tidak perlu bermimpi. Martin sudah ada di sini. Cepat sana mandi dan ganti baju, temui dia sekarang," perintah Kate.

Melihat pakaian Kate yang tidak seperti biasanya, Carol bertanya penasaran. "Ibu, ada apa ini, kenapa ibu memakai pakaian bagus? Mau kondangan kemana? Kok aku tidak diajak, curang ah!" protesnya.

Kate menarik tangan Carol dengan lembut dan menyuruhnya masuk ke kamar mandi. "Sudah mandi dulu, nanti kau tahu." Dia mendorong-dorong putrinya ke kamar mandi karena putrinya itu menolak untuk mandi. Carol sedang malas mandi sekarang setelah dibuat patah hati oleh Brian.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!