Setelah mengikuti arahan yang diberikan Joseph, Carol sampai di dapur, dapur berukuran cukup kecil untuk rumah yang besar ini.
Carol mencari teh dan air. Setelah itu dia menghangatkan airnya.
"Garam! Dimana mereka menaruh toples garamnya," seru Carol sembari mengacak-acak semua toples yang ada di dapur Martin.
"Ini dia garamnya!"
Carol mengambil gelas, mengisinya dengan teh kemudian menyampurkan dua sendok garam ke dalamnya.
Carol nyengir, "Entah kenapa, kutau ini tidak baik, tapi hari ini rasanya aku ingin sekali mengerjai Joseph."
Dia mengaduknya dengan perasaan sambil membayangkan ekspresi wajah Joseph saat meminum teh buatannya.
"Carol! Apa kau sudah selesai?" Joseph mengagetkan Carol yang sedang melamun. Dia terlihat membawa sebuah pisau tajam dan gunting.
"S–sudah!"
"Baguslah! Ayo kita selesaikan tugas kita. Aku ingin segera rebahan," ajak Joseph.
Carol berjalan ke arah Joseph, mendekatinya. Dia memberikan secangkir teh kepada Joseph. "Ini! Minumlah."
"Apa ini?"
"Hanya secangkir teh. Aku tadi membuat dua, satu untukku dan satu untukmu. Aku tidak enak bila hanya membuat satu."
"Terimakasih untuk itu, Kau baik sekali.–"
Menyodorkan gelasnya Kepada Joseph. "Kalau begitu minumlah!"
"Tapi maaf, Carol. Aku tidak bisa meminumnya."
"Loh! Kenapa? Apa kau tidak suka teh buatanku."
"Aku belum tahu rasanya. Tapi aku punya alergi terhadap teh dan aku tidak suka teh, jadi maaf aku tidak bisa meminumnya. Untukmu semua saja."
"Yah! Gagal!" ucap Carol dalam hati. Dia merasa sedikit kecewa karena rencana jailnya gagal.
Melihat Carol terdiam Joseph merasa tidak enak hati. "Apa kau baik-baik saja, Carol?"
"Ya! Aku baik. Hanya sedikit kecewa karena kau tidak bisa meminum teh buatanku. Aku membuatnya dengan penuh perasaan." Carol cemberut.
"Usah kau kecewa. Nanti aku belikan es krim, mau?" ujar Joseph berusaha untuk membuat kekecewaan Carol hilang.
Carol mengangguk. "Mau."
"Rasa apa?"
"Coklat saja. Aku suka yang rasa coklat. Kau suka yang rasa apa?"
"Aku tidak suka es krim."
"Kalau begitu apa kau hanya akan membelikanku es krim, tidak untuk dirimu juga?"
"Iya, aku hanya akan membelikanmu."
"Yah! Kalau begitu mah tidak perlu repot-repot, nanti kau capek."
"Tidak capek, kok. Aku juga ingin sekalian membeli sesuatu.
"Baiklah, pergilah! Cepat kembali."
"Iya, Sayang," ucap Joseph sambil mencubit kedua pipi Carol.
Carol tersentak dengan tindakan Joseph yang tiba-tiba. Tangan dingin Joseph yang menyentuh kedua pipinya membuat Carol merasakan sensasi yang aneh. Sensasi yang tidak pernah ia rasakan saat bersama Martin. Ingin rasanya tangan laki-laki itu selalu membelai pipinya.
"Kenapa?" tanya Joseph.
Pipi Carol memerah tersipu. "Tidak apa-apa."
"Pipimu kenapa merah? Apa kau malu?" goda Joseph yang melihat Carol tersipu malu setelah ia cubit.
"Tidak!"
Joseph mencondongkan tubuhnya ke arah Carol.
"Lalu kenapa?" godanya lagi.
"E–em ... anu! Anu!" Carol gugup.
"Kenapa? kenapa? Dan kenapa kau gugup?"
"Sudahlah, kau cepat pergi!" Mendorong-dorong tubuh Joseph. Saat menyentuh lengan Joseph yang kekar, Carol merasakan sensasi seperti sengatan listrik di tubuhnya. Membuat hatinya berdebar kencang tak menentu, dan saat Joseph melangkah pergi, batin Carol seperti berteriak 'Jangan tinggalkan aku. Tetaplah di sini bersamaku'.
"Apa ini? Perasaan apa ini?" Carol bertanya-tanya kepada hatinya.
Melihat ada sebuah kursi di dekatnya, Carol duduk di sana. "Jadi! Siapa sebenarnya yang kusuka? Joseph atau Martin? Bolehkah aku memiliki keduanya ya Tuhan! Aku tidak dapat memilih," ujar Carol, dia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya karena bingung. Perasaannya pada Martin seakan-akan hilang entah kemana bila berada di dekat Joseph.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments