Martin mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mencoba menelpon seseorang.
"Marry! Aku ingin berbicara denganmu sekarang. Dimana kamu? Aku akan ke sana, cepat katakana padaku. Kita selesaikan masalah ini secepatnya." Martin berbicara dengan tergesa-gesa. Dia ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Mungkin dia akan meminta Marry untuk menggugurkan kandungannya.
"Aku di hotel tempat kita bersenang-senang waktu itu," ucap Marry dengan suara yang terdengar lemah tidak seperti biasanya.
Mendengar suara Marry yang terdengar lemah, Martin agak sedikit khawatir karena bagaimanapun juga dia adalah orang yang pernah bersenang-senang dengannya. "Kamu kenapa, Marry? Apa kau sakit, Marry? Mau kubawakan sesuatu?"
"Tidak apa-apa, Martin. Aku hanya sedikit lemas. Aku hanya ingin kau, Martin."
"Baiklah. Aku akan ke sana sekarang. Jaga dirimu baik-baik di sana." Martin menutup telpon dan mengambil kunci mobilnya yang berada di atas laci. Tanpa sengaja tangan Martin menyenggol pot bunga yang berada di sebelah kunci mobil.
Mendengar suara benda pecah, Carol yang saat itu lewat di luar kamar Martin untuk mengambil minum dari dapur, dia bergegas masuk ke kamar Martin karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap Martin. Kamar Martin tidak dikunci, karena tidak dikunci Carol dapat langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Martin! Kamu kenapa? Apa semua baik-baik saja? Tidak ada yang luka kan?"
"Eh, Carol! Semua baik-baik saja, tenang saja. Hanya pot pecah, aku tidak sengaja menyenggolnya tadi. Kenapa kamu kemari? Ada yang bisa aku bantu?" Martin berusaha tetap tenang di hadapan Carolagar dia tidak curiga kepadanya.
"Aku ingin mengambil minum, tadi saat ada suara benda jatuh aku langsung masuk ke sini. Aku khawatir kamu kenapa-napa."
"Apa kamu takut kehilanganku, Sayang?" goda Martin. Dia berusaha bersikap seperti biasanya ditengah rasa frustasi yang melanda.
"Pertanyaan macam apa ini." Carol tersipu dan berbalik saat Martin mendekatkan wajah ke arahnya.
Martin menarik tubuh Carol mendekat padanya. Pandangan mata mereka bertemu. Carol menunduk malu karena ditatap seperti itu oleh Martin.
"Kamu mau kemana?" tanya Carol yang melihat Martin membawa kunci mobil disalah satu tangannya.
Martin melepaskan Carol. "Em ..., Aku ada urusan penting sebentar, masalah kerjaan. Kamu tunggu di sini saja, aku akan segera kembali. Aku janji! Nanti aku bawakan makanan saat pulang nanti." Dia berlari, meninggalkan Carol di kamarnya seorang diri.
"Urusan penting apa sih sampai dia lari-larian seperti itu." Carol merasa ada yang aneh dengan sikap Martin.
"Sepertinya Martin menyembunyikan sesuatu dariku. Aku harus mencari tau." Jiwa kekepoan Carol muncul.
"Ekhem!" Seseorang berdehem dari belakang Carol yang sekarang sedang berdiri di dekat jendela kamar Martin.
Mendengar suara, Carol gemetar, bergidik ketakutan. "S-s-siapa itu? Siapa yang di belakangku? Bukankah tadi hanya ada aku dan Martin. Martin sudah keluar, jadi harusnya tinggal aku seorang," serunya dalam hati. Dia tidak berani untuk menatap ke belakang.
"Ja-jangan jangan itu hantu!" terkanya.
Carol memberanikan diri, dia berbalik sambil menutup mata. "Pergi dari sini, jangan ganggu aku!" teriak Carol menggerak-gerakan salah satu tangannya untuk mengusir hantu itu.
"Aku bukan hantu. Buka matamu dulu!" perintahnya.
Carol terdiam, dia seperti mengenali suara itu. Carol akhirnya membuka mata. Matanya terbelalak melihat seseorang yang ia kenal sedang duduk santai di kursi rotan di dalam kamar Martin ini. Sementara dia ketakutan. Dia pikir itu makhluk astral, orang itu malah sedang santai sambil meminum segelas jus berwarna merah yang tampak sangat menyegarkan.
"Sedang apa kamu di sini, Joseph?" tanya Carol memicingkan matanya.
"Aku sedang refreshing. Kenapa?" Seperti biasa, Joseph bersikap dan menjawab seperti es, tatapannya dingin sedingin kulkas dua pintu.
"Kenapa kamu di kamar, Martin? Dan datang dari mana kamu? Bukannya tadi kamu tidak ada di sini. Kamu mau maling ya?" Carol bingung, Joseph tiba-tiba muncul begitu saja.
"Kalau bertanya satu-satu, jangan sekaligus," ucapnya setelah mendengar banyak pertanyaan dari Carol.
"Suka-suka aku lah. Sekarang jawab pertanyaanku!" perintahnya.
"Ini kamarku. Pacarmu yang salah kamar. Aku tadi di kamar mandi saat pacarmu memecahkan pot itu. Sudah puas?" Joseph berdiri dari kursi, mendekat ke tempat tidur. Dia melepaskan alas kaki dan menaiki tempat tidurnya, kemudian dia menarik selimut lalu pergi tidur membiarkan Carol kebingungan seorang diri.
Carol yang bingung, dia memilih meninggalkan kamar Joseph dan kembali ke dalam kamarnya sendiri. Dia akan meminta penjelasan dari Martin nanti saat dia pulang.
Saat sampai di depan pintu, Joseph memanggil nama Carol.
"Carol!"
Carol berbalik. "Apa?" jawabnya ketus.
"Jangan lupa tutup pintunya kalau keluar," sambung Joseph, dia meraih bantal guling yang berada di sampingnya dan ia kembali memejamkan matanya.
Carol menggerutu. "Dasar orang aneh! Rasanya ingin kucekik dia sampai mati," omelnya.
Bruk!
Pintu kamar ditutup oleh Carol, lebih tepatnya dibanting dengan sekuat tenaga. Beruntung desainnya masih kokoh karena masih baru dan terbuat dari kayu yang sangat kuat. Kalau tidak, mungkin akan rusak begitu dibanting.
Joseph sedikit kaget dengan kelakuan Carol, dia berdecak. "Ck ... ck ... ck .... Dasar Carol!" Dia tersenyum kecil kemudian menutup matanya dan tidur.
...
Martin berjalan tergesa-gesa di dalam koridor hotel, para pelayan hotel yang sedang mengepel lantai itu memandangi Martin. Dia menghiraukan tatapan mereka. Begitu pintu lift terbuka, Martin masuk dan langsung menekan tombol lift untuk naik ke lantai atas.
Suasana lantai atas sepi seperti kemarin saat ia berpesta dengan Marry, selama mata Martin memandang, Martin tidak dapat menemukan seorangpun. Desain hotel yang bertema kuno ini membuat suasana menjadi agak mencekam, ditambah penerangan yang redup. Hotel ini lebih cocok menjadi rumah hantu daripada hotel. Namun tidak diragukan lagi, hotel ini saangat cocok untuk kegiatan maksiat yang ia lakukan dengan Marry selama beberapa kali sebelum akhirnya benih Martin menjadi seorang bayi yang sekarang dikandung Marry.
Entah kenapa Marry memilih hotel ini daripada hotel yang lain. Mungkin karena sepi dan jauh, sangat jauh dari pemukiman penduduk. Aneh rasanya, sebuah hotel di dekat hutan belantara. Martin memencet bel kamar hotel tempat dia dan Marry bersenang-senang. Kamar nomor B309. Setelah menunggu lama di depan pintu, muncul sesosok wanita dengan pakaian putih selutut yang kusut dan rambut pendek yang terlihat acak-acakan.
Martin menggoyang-goyang tubuh Marry. "Kamu kenapa Marry? Kenapa kamu terlihat seperti ini? Kamu kelihatan kacau sekali hari ini. Tidak seperti biasanya yang modis."
Wajah dan tubuh Marry nampak lemas, letih dan lesuh. Tatapan matanya juga terlihat kosong, jika di sini ada hantu mungkin Marry dengan mudah akan dirasuki. Tidak ada semangat hidup dari pancaran mata Marry yang berwarna biru. Matanya biru karena ayahnya adalah seorang bule.
"Katakan sesuatu, aku mohon!" pintah Martin. "Apa kau baik-baik saja?" sambungnya.
Marry menangis tersedu-sedu, terisak dan roboh di hadapan Martin. Dia berlutut pada Martin dan menangkupkan kedua tangannya.
"Tolong! Tolong jangan tinggalkan aku, Martin. Aku tidak sanggup menghadapi dunia seorang diri. Apa kata ayahku nanti. Aku akan dibuang olehnya. Aku tidak berguna!" Marry memohon pada Martin dengan sungguh-sungguh, matanya berkaca-kaca.
Martin membangunkan Marry, dia mengusap air mata Marry yang sekarang telah membasahi pipinya. "Jangan seperti ini, Marry. Kamu temanku, kamu saudaraku. Kamu wanita kuat, aku yakin kamu bisa menghadapi ini, bahkan seorang diri."
Wanita dengan tinggi 168 cm itu meraih tangan Martin dan menggenggamnya dengan erat. “Apa maksudmu? Kau akan membiarkan aku bertanggungjawab seorang diri?” Dia mulai menangis lagi begitu Martin mengatakan kalimat yang menyiratkan bahwa dia tidak akan bertanggungjawab terhadap kehamilannya. "Tolong jangan tinggalkan aku sendiri!" mohon Marry.
Dengan berat hati, Martin terpaksa harus mengatakannya. "Aku ingin bertanggungjawab, t-" Belum selesai dengan ucapannya, Marry memotong pembicaraan Martin. Matanya berbinar-binar. "Sungguh kau ingin bertanggungjawab dan menikahiku?!" seru Marry.
"Tunggu, Marry. Dengarkan aku terlebih dahulu. Aku belum selesai bicara. Aku sebenarnya ingin bertanggungjawab, tapi aku tidak bisa. Aku mencintai Carol, bukan kau. Gugurkan saja anak ini. Lagian dia masih belum bernyawa," ucapnya dengan berat hati.
Hati Marry hancur, hancur berkeping-keping mendengar ucapan kejam Martin. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong.
"PERGI KAU!!!" Marry mengamuk, dia benar-benar marah. Dia melemparkan semua barang yang berada di dekatnya ke arah Martin.
Martin menjauh dan menghindar, kalau tidak dia akan terkena lemparan Marry.
"PERGI, BAJINGAN!!! KAU KEJAM! KAU INGIN MEMBUNUH ANAKMU SENDIRI YANG BAHKAN BELUM TERLAHIR DI DUNIA INI," maki Marry dengan nada tinggi hingga mungkin tetangga hotelnya bisa mendengar pertengkaran mereka dari dalam kamarnya sendiri.
Martin berusaha menenangkan Marry, tapi dia tidak berani mendekat karena Marry pasti akan melemparkan barang yang berada di dekat dia agar Martin tidak bisa mendekatinya dan terluka. "Tenang, Marry. Tenang! Aku mohon mengertilah. Aku mencintai Carol. Aku tidak ingin reputasiku tercemar. Tolong bunuh saja anak itu. Lenyapkan dia! Aku tidak menginginkannya. Kalau kau mau, urus saja dia seorang diri. Aku hanya ingin hidup dengan Carol. Hanya Carol yang kuinginkan."
Bukannya malah menenangkan. Ucapan Martin malah membuat Marry sakit hati dan tambah marah padanya.
"KAU YANG HARUS MENGERTI, TUAN TERHORMAT." Marry menghampiri Martin. Dia menarik dan mendorong Martin keluar dari kamar hotelnya.
Sebelum menutup pintu, Marry memperingatkan Martin. "KAU AKAN MENYESAL, MARTIN! PASTI KAU AKAN MENYESALI PERKATAANMU TADI. AKU BERSUMPAH UNTUK ITU!"
Bruk!
Pintu kamar Marry dibanting dengan keras dan dikunci. Sekarang pintunya tertutup, tertutup untuk Martin. Martin menggedor-gedor kamar Marry. Dia takut Marry melakukan hal nekat dalam kemarahan.
"Tolong buka, Marry! Mar, tolong buka!" teriak Martin.
"PERGI DARI SINI, KAU! AKU TIDAK INGIN MELIHAT WAJAHMU!" teriak Marry dari dalam kamar hotel. Marry menjerit dan menangis meneriaki nama Martin.
Martin terus menggedor-gedor pintu, berharap Marry mau membukanya lagi
Beberapa menit berlalu. Marry tidak juga membukakan pintu untuk Martin. Martin menyerah, dia akan pergi dari hotel.
"Aku harus kembali ke vila, atau Carol akan curiga denganku karena pergi terlalu lama." Martin melangkah menjauh dari kamar Marry, dia kembali ke mobilnya dan menghidupkan mesin mobilnya. Dia pergi, meninggalkan Marry seorang diri di dalam kamar hotel dengan kemarahan.
"Aku harap Marry tidak bunuh diri," seru Martin sembari mengemudikan mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments