Serial ArtLand: MINORITY TALENT
Luciana baru saja keluar dari gang sempit, hendak menyeberang jalan raya yang membentang tepat di depan gang itu, ketika sebuah mobil mewah nyaris menabraknya. Luciana mengetatkan rahangnya, bersiap untuk memaki siapa pun saat itu yang sedang berada di belakang kemudi. Hari itu mood-nya betul-betul sedang buruk.
Tapi ketika Si Pengemudi mobil mewah itu memelankan mobilnya, menurunkan kaca dan berkata, "I'm sorry!"
Luciana mendadak kehilangan emosinya. Ia terbelalak menatap wajah Si Pengemudi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bukan karena permohonan maafnya, tapi karena raut wajah di belakang kemudi itu berhasil mempesona dirinya.
Sepintas wajah pria itu mengingatkan dirinya pada seorang Aktor Asia yang pernah menjadi idolanya semasa sekolah. Hanya saja pria di dalam mobil mewah itu kelihatan lebih tua. Wajahnya lembut, namun tatapannya tajam. Hidung mancung, rambut sebahu, semua ciri itu merupakan kriteria pria idaman Luciana sampai sekarang. Sulit baginya untuk tidak bersikap manis saat menghadapi sosok pria seperti itu. Jadi ia hanya tersenyum menanggapi permohonan maafnya.
Tapi ketika pria itu membalas senyumnya seraya mengamati gitar di tangan Luciana, seketika senyum gadis itu pun menghilang.
Aku hanya penyanyi jalanan, katanya dalam hati. Tak ada pria kaya yang bersedia memasang senyum kecuali cuma kasihan. Dengan langkah lebar, gadis itu akhirnya menyeberang di belakang mobil mewah tadi dan melupakan semuanya.
Si Pengemudi mobil mewah itu tidak segera mempercepat laju mobilnya, ia mengamati Luciana ketika gadis itu sudah menyeberang dan berjalan memasuki pusat kuliner, tak jauh dari tempatnya. Ia tersenyum tipis dan memarkir mobilnya di sekitar tempat itu juga.
Luciana menghela napas berat kemudian menyampirkan strap gitar di bahunya, merogoh saku celananya, mengeluarkan pick, kemudian memasuki salah satu tenda pedagang makanan dan bercuap-cuap sejenak sebelum akhirnya mulai bernyanyi.
Belum selesai satu lagu, beberapa pengunjung di dalamnya sudah mengacung-acungkan tangan dengan uang receh di tangannya, mengisyaratkan supaya ia menghampiri mereka untuk menerima uang itu. Luciana mendekati meja mereka dengan sikap enggan. Sebetulnya ia lebih suka diberi kesempatan untuk menyanyikan beberapa lagu dan didengarkan sampai selesai sebelum mereka memberinya uang.
Kebiasaan rata-rata pengamen memang lebih suka menerima uang secepatnya supaya mereka juga bisa pergi secepatnya tanpa harus repot-repot menyelesaikan satu lagu. Apalagi sampai lebih dari satu lagu. Dengan begitu, mereka tidak perlu membuang waktu untuk uang yang tidak seberapa.
Berbeda dengan Luciana. Luciana lebih berharap didengar dan diperhatikan sebelum semua orang memutuskan berapa banyak uang yang pantas dikeluarkan untuk diberikan kepadanya sebagai apresiasi. Meskipun pada akhirnya jumlah uang yang diterimanya sama saja.
Sikap memberi uang sebelum ia selesai bernyanyi baginya terasa seperti cara halus untuk mengusirnya. Tak jarang ia merasa tersinggung menghadapi sikap semacam itu. Karena sikap semacam itu lebih umum ditujukan untuk pengemis atau pemalak. Tapi sebagai penyanyi jalanan, ia tidak bisa memaksa siapa pun untuk memahami bahwa penyanyi jalanan berbeda dengan pengemis atau pemalak. Suka, tidak suka, pandangan masyarakat terhadap penyanyi jalanan tidak ada bedanya dengan pengemis mau pun preman.
Akui saja, katanya pada diri sendiri. Mengamen memang tidak ada bedanya dengan mengemis.
Meski demikian, Luciana selalu berusaha untuk tetap melanjutkan lagunya sampai selesai, baik mereka menyukainya atau pun tidak. Dengan begitu, ia berharap lama kelamaan orang lain bisa mengerti bahwa ia tidak datang untuk sekedar mengemis. Tapi juga menjual suara.
Dengan wajah masam, Luciana akhirnya keluar dari tenda itu setelah ia menyelesaikan hanya satu lagu.
Memasuki tenda berikutnya, Luciana kemudian dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih buruk.
Terutama, pria tampan dalam mobil mewah yang nyaris menabraknya, salah satu sosok yang paling tidak ia harapkan menyaksikan dirinya dalam keadaan yang paling menyedihkan, sedang duduk menikmati makan malamnya di salah satu meja dalam tenda itu.
Luciana bisa merasakan wajahnya mulai terbakar ketika pria itu mengangkat wajahnya dan mendapati dirinya dalam keadaan yang paling menyedihkan. Luciana berusaha menguatkan hati untuk tidak mengurungkan niatnya kemudian kabur dari tempat itu. "Selamat malam, semuanya." Luciana memaksakan senyum. "Ijinkan saya menemani acara makan malamnya," ia melanjutkan tanpa berani menatap wajah pria di meja makan yang sedang memperhatikan dirinya seraya tersenyum tipis.
Belum selesai ia menyanyikan satu lagu, seorang wanita dari salah satu meja makan berteriak padanya, "maaf!".
Luciana merunduk ke arah wanita itu tanpa memotong lagu yang sedang ia nyanyikan.
Lalu pria di meja terdekat menyodorkan uang receh kepadanya. Sekali lagi Luciana hanya merunduk karena lagunya belum selesai. Pria itu meletakkan uang itu di meja dan mengetuk-ngetuk meja itu mengisyaratkan bahwa Luciana boleh mengambilnya sendiri nanti. Luciana kembali merunduk.
Wanita tadi kembali berteriak, " maaf!"
Luciana agak tersedak mendengar wanita itu berteriak lebih keras. Tapi lagunya masih belum selesai. Dalam hati ia menyesal, sudah memilih lagu "Leaving On A Jet Plane".
Memasuki song terakhir, wanita itu sekali lagi berteriak. Kali ini dengan nada yang menghardik, "saya bilang maaf!"
Semua mata dalam tenda itu sontak menatapnya kemudian menatap Luciana secara bergantian.
Luciana mulai kehilangan konsentrasinya, tapi tetap berusaha menyelesaikan lagunya seraya menutup mata. Ia betul-betul merasa kehilangan muka diperlakukan seperti itu di depan seseorang yang ia harapkan tidak melihat dirinya tengah mengemis. Dan sekarang ia juga harus melihat dirinya tengah dilecehkan.
Sikap wanita ini betul-betul telah menyinggung harga dirinya. Selesai dengan lagunya, Luciana berjalan mendekati meja wanita itu. Rasa dipermalukan itu seketika meruntuhkan seluruh perasaan malu itu sendiri. Dengan tidak tahu malu, Luciana tersenyum sinis ke arah wanita itu, "saya juga minta maaf, Ma'am. Saya tadi lagi tanggung. Lagunya memang lumayan panjang. Saya menyanyi lama-lama bukan sedang mengemis-ngemis uang receh Anda. Tapi karena lagunya memang belum habis. Saya menyanyi memang untuk mencari uang. Dan itu artinya, menyanyi adalah pekerjaan saya. Jadi tugas saya adalah menyanyi." Luciana berhenti bicara beberapa saat, sebelum akhirnya melanjutkan, "tolong hormati profesi saya. Anda bukan satu-satunya pengunjung di sini. Kenapa cuma Anda yang tidak mau memberi saya kesempatan?" Luciana mengamati wanita itu dengan tatapan menuntut.
Semua mata dalam tenda itu terpaku ke arah meja wanita itu tanpa berkedip. Wajah wanita itu memerah. Ia menatap suaminya meminta pembelaan. Tapi suaminya bahkan tak berani menatap wajah Luciana.
Luciana mengedar pandang ke seluruh pengunjung dalam tenda. Kecuali pria tampan yang sejak awal sudah membuatnya gugup. "Saya mohon maaf," katanya pada semua orang. "Saya tadinya berniat untuk menghibur Anda semua, tapi berhubung di sini ada yang merasa terganggu, saya bernyanyi sampai di sini saja. Mohon maaf apabila kehadiran saya juga mengganggu Anda semua."
Pria tampan yang paling dihindari mata Luciana itu mengamati Luciana dengan kagum. Ia menautkan kedua tangannya, tepat di depan wajahnya, menutupi senyumnya yang merekah bangga.
Luciana menyampirkan strap gitarnya, kemudian berbalik dari meja wanita itu dan berpamitan. "Sorry," katanya kepada pemilik tenda seraya menepuk bahunya.
Si Pemilik tenda hanya tersenyum maklum, seraya mengacungkan jempolnya.
"Miss..." Tiba-tiba seorang gadis dari salah satu meja pengunjung berlari ke arah Luciana. Kemudian menjejalkan sejumlah uang ke dalam tangan Luciana.
Luciana memandangi wajah gadis itu, "I'm sorry, Dear, saya tidak bisa menerimanya." Tolak Luciana halus.
"Suaranya bagus," gadis itu bersikeras menolak uangnya dikembalikan. "Boleh saya minta nomor teleponnya?" Sepertinya kali ini gadis itu sengaja mengatakannya setengah berteriak.
Sikap gadis itu sontak membuat wanita tadi bangkit dari tempat duduknya, kemudian keluar dari tenda itu. Dengan gugup suaminya membayar semua tagihan di meja dan terburu-buru menyusul istrinya.
Luciana tertegun sesaat, ia mengedar pandang kemudian kembali menatap wajah gadis itu dengan sikap ragu.
"Saya punya coffee shop kecil-kecilan tak jauh dari tempat ini," ungkap gadis itu masih setengah berteriak, "kalau Anda tertarik untuk bergabung, saya ingin menawarkan kerjasama," gadis itu tampak berpikir keras, berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan maksudnya. Diliriknya wanita tadi sebelum akhirnya wanita dan suaminya itu menjauh dari tenda.
Luciana tersenyum, "baiklah," katanya. Kemudian ia menyebutkan nomor telepon selulernya, sementara gadis itu mencatatnya pada telepon selulernya. "Saya Luciana, by the way" ia menambahkan, kemudian mengulurkan tangan pada gadis itu.
"Saya Ester," balas gadis itu, menyambut hangat tangan Luciana.
"Ok, Ester. Terimakasih tawaran kerjasamanya." Luciana melambaikan tangannya sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan tenda itu.
"Terimakasih untuk nyanyian merdunya!" Ester berteriak riang ke arah Luciana.
Satu jam kemudian, Luciana mendengar telepon selulernya berdering. Itu mungkin Ester, ia menyimpulkan. Saat itu ia tengah menyeberang tepat di depan gang sempit, tempat di mana ia hampir saja tertabrak mobil mewah beberapa jam yang lalu. Untuk mencegah terulangnya insiden itu, Luciana akhirnya mengabaikan panggilan itu sampai ia benar-benar menepi.
Sesampainya di mulut gang, Luciana mengeluarkan telepon seluler dari tas pinggangnya kemudian memeriksanya. Panggilan telah berakhir. Tapi jelas panggilan itu berasal dari nomor baru. Kemudian Luciana menyimpan kontak itu atas nama Ester tanpa ragu. Sebelum kontak itu berhasil disimpan, panggilan masuk dari nomor yang sama mendominasi layar ponselnya.
"Hallo," sapa suara di seberang telepon.
Luciana tertegun. Bukan Ester, katanya dalam hati. "Ini siapa?"
Orang di line telepon tidak menjawab.
"Hallo," desak Luciana.
Hening!
Tak lama kemudian Luciana mendengar suara klakson mobil di belakangnya.
Luciana memutar tubuhnya dan tercengang. Telepon selulernya masih menempel pada telinganya ketika ia mendapati sosok di dalam mobil mewah itu juga tengah menempelkan telepon seluler di telinganya.
"Hallo," sapa pria di belakang kemudi seraya tersenyum tipis.
Suaranya sampai ke telinga Luciana melalui speaker pada telepon selulernya. Luciana makin terperangah tak percaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
nathan
penyandang cacat logika.
2024-06-27
0
nathan
lalu apakah suara dan kualitas musikmu layak untuk dijual ? coba pikirkan lagi kenapa orang orang malah merasa terganggu ?
2024-06-27
0
nathan
karena good looking , maka termaafkan.
2024-06-27
0